Memberdayakan Penyandang Disabilitas - Sahabat Wirausaha, Indonesia dalam hal ini negara sudah seharusnya memang mampu memenuhi seluruh kebutuhan sosial masyarakatnya. Hanya saja ada anggota masyarakat yang mengalami keterbatasan dan akhirnya mengalami berbagai risiko sosial ekonomi, keterbatasan akses informasi, pendidikan, kesehatan, hingga lapangan kerja yakni para penyandang disabilitas.
Kelompok difabel ini bahkan cukup besar yakni mencapai 22,97 juta jiwa (8,5% dari total penduduk Indonesia), seperti dilansir website resmi Kemenko PMK. Dalam perkembangannya, masyarakat difabel seolah menolak untuk terpuruk dan terus menembus keterbatasan mereka untuk menjadi produktif. Semangat membara seperti itulah yang selalu bergelora dari Omah Difabel di Dusun Setran, Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Kenalan Dengan Omah Difabel
Penyandang disabilitas di Omah Difabel foto: LINKSOS
Harapan agar penyandang disabilitas bisa senantiasa hidup layak tanpa bantuan sosial, serta tak semata jadi target belas kasihan adalah hal utama yang diperjuangkan oleh Kertaningtyas. Pria yang kerap disapa Ken Kerta itu bisa dibilang terus mendorong tanpa henti agar hak-hak difabel terpenuhi, sehingga mereka bisa hidup berdampingan dengan warga lainnya.
Upaya itu bermula pada tahun 2014 saat Ken mendirikan LINKSOS (Lingkar Sosial Indonesia). Beranggotakan aktor-aktor sosial, organisasi LINKSOS memiliki tujuan mulia yakni membantu masyarakat marjinal serta mengalami disfungsi sosial. Tak heran kalau di awal terbentuknya, para OYPMK (Orang yang Pernah Menderita Kusta) di Dusun Sumberglagah, Mojokerto adalah yang pertama kali bergabung.
Bersentuhan langsung dengan para OYPMK, Ken menyadari bahwa mereka akhirnya menjadi penyandang disabilitas karena kusta yang pernah diderita. Perlahan dirinya pun mulai berkenalan dengan para difabel di sekitaran Malang Raya yang memiliki persoalan sama dengan OYPMK, yakni diskriminasi serta self stigma dari lingkungan. Kelompok ini harus mengalami sulitnya mencari pasangan, pekerjaan, bahkan sekadar beribadah karena disabilitas yang dialami.
Kepada Radius, Ken mengungkapkan momen saat dirinya sadar kalau para difabel ini berhak hidup layak seperti masyarakat pada umumnya.
“Waktu itu saya bertemu dengan seorang difabel yang bisa menjahit dan membuat kaki palsu, dia punya mesin jahit dan alat kompresor di rumahnya. Tapi malah milih jadi tukang parkir karena keterbatasan modal. Saya akhirnya sadar kalau penyandang disabilitas itu punya pengetahuan dan keterampilan, tapi tidak pernah memiliki kesempatan atau jaringan,” ungkap Ken.
Keresahan itu akhirnya membuat Ken tergerak lebih jauh dengan membuat pokja (kelompok kerja) LINKSOS yang diberi nama Pokja Difabel pada tahun 2015. Menerapkan sistem sharing job, sharing jaringan, dan sharing modal, tidak butuh waktu lama bagi Pokja Difabel untuk membuat penyandang disabilitas tertarik untuk bergabung.
Hingga akhirnya empat tahun berselang, semakin banyak rekan-rekan difabel yang bergabung. Ken kemudian memutuskan untuk mengubah nama Pokja Difabel menjadi Omah (bahasa Jawa: rumah) Difabel, supaya para penyandang disabilitas yang bergabung lebih merasa nyaman seperti di rumah sendiri.
“Hingga tahun 2021, Omah Difabel sudah memiliki 15 orang pengurus baik dari penyandang disabilitas atau teman-teman non difabel. Untuk masyarakat dampingan, Omah Difabel tercatat menaungi ratusan disabilitas di Malang Raya dan khusus OYPMK di Pasuruan,” lanjut Ken bangga.
Tantangan, Pertumbuhan, dan Jejaring Omah Difabel
Hampir sembilan tahun berdampingan langsung dengan para penyandang disabilitas, membuat Ken sadar kalau Omah Difabel yang dulu bernama Pokja Difabel, memiliki cukup banyak sekali tantangan. Berbagai tantangan ini bahkan membuat kelompok ini sampai kehilangan anggotanya dan melakukan perubahan strategi wirausaha.
Apa saja? Berikut beberapa tantangan yang dialami sepanjang perjalanan Omah Difabel:
1. Pemikiran Modal Selalu Uang
Berkaca dari kasus seorang difabel yang memilih jadi tukang parkir alih-alih menggeluti kemampuannya sebagai penjahit dan pembuat kaki palsu, membuat Ken sadar. Dirinya memperoleh kesimpulan bahwa di banyak benak penyandang disabilitas, modal dalam berbisnis masihlah terpaku pada uang atau dana bantuan. Sehingga saat modal uang itu tidak ada, mereka enggan berwirausaha.
Hal ini pula yang membuat Pokja Difabel perlahan kehilangan anggotanya sejak dibentuk pada 2015 silam, seperti dilansir Liputan6.
“Penyebab utama mereka mundur adalah karena ternyata di Pokja Difabel ini tidak ada bantuan sosial. Kami paham dan ini jadi tantangan utama, karena paradigma karitatif sebagian penyandang disabilitas adalah menempatkan diri mereka sebagai kelompok yang harus memperoleh bantuan sosial. Kami memang membuat kebijakan tidak membiasakan nyangoni (memberi bantuan uang),” lanjut Ken.
Baca Juga: Mau Dapat Modal dari Investor? Kenali Apa Itu Pitch Deck dan Cara Menyusunnya Untuk UMKM
2. Rendahnya Literasi Wirausaha
Penyandang disabilitas di Omah Difabel foto: LINKSOS
Selain masih kuatnya anggapan kalau penyandang disabilitas harus selalu mendapat bantuan sosial, Ken tak menampik kalau rendahnya literasi wirausaha juga jadi tantangan utama Omah Difabel. Tak heran saat dirinya mengenalkan model wirausaha Pokja Difabel adalah sharing job, jaringan dan modal, tak sedikit para difabel yang kebingungan karena mereka berpikir langsung mendapat pekerjaan.
Dalam penjelasannya, sharing job bermakna saat ada wirausaha yang mendapat orderan job melimpah, bisa berbagi pekerjaan dengan para difabel di Pokja Difabel. Sedangkan untuk sharing modal, melibatkan kerjasama di bidang permodalan untuk kegiatan wirausaha baik dalam bentuk dagangan atau uang. Terakhir sharing jaringan, meliputi praktik berbagi peluang bisnis.
Lantaran literasi wirausaha penyandang disabilitas belum cukup baik, model kerja yang ditawarkan Pokja Difabel kala itu butuh waktu untuk bisa diterapkan dan beradaptasi pada pemikiran para difabel. Belum lagi dengan keterbatasan ekonomi yang dialami penyandang disabilitas karena keterbatasan literasi wirausaha itu, menjadikan perjuangan Ken semakin berat.
3. Stigma Kemampuan Disabilitas
Tantangan terakhir yang sudah sejak lama menaungi penyandang disabilitas adalah stigma negatif atas kemampuan mereka, dari masyarakat lain. Seperti yang kita tahu, para difabel ini memiliki keterbatasan fisik sehingga membuat mereka dipandang tidak seproduktif masyarakat non difabel. Padahal menurut Ken, mereka justru memiliki potensi menjadi kelompok produktif.
“Sebagian besar penyandang disabilitas di Omah Difabel ini merupakan lulusan BLK (Balai Latihan Kerja) dari program pelatihan Dinsos (Dinas Sosial). Sehingga sebetulnya mereka juga bisa menjadi tenaga kerja produktif sesuai dengan kemampuannya masing-masing,” papar Ken.
Perlahan dengan upaya bertahun-tahun, apa yang diperjuangan Ken mulai memperlihatkan perkembangan bagi Omah Difabel. Sebagai kelompok berbasis swadaya masyarakat, Omah Difabel akhirnya tumbuh menjadi komunitas pemberdayaan ekonomi yang sudah mandiri. Daya tarik Omah Difabel ini pun memperluas sendiri jaringannya sehingga diajak menjadi mitra wirausaha oleh beberapa pihak.
Hingga awal November 2023, Omah Difabel sudah menjalin kerjasama wirausaha dengan hotel, perusahaan swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), sekolah tari, perguruan tinggi, komunitas-komunitas milenial, hingga badan zakat (Baznas, BMH Malang, NU Care LazisNU, YDSF), serta sektor-sektor lain. Di mana bentuk kerjasama itu meliputi pelatihan permodalan, pemasaran, keterampilan, hingga pendampingan wirausaha.
Baca Juga: Mengenal Sobat Istimewa: Program Khusus Pertamina Bagi Wirausaha Difabel
Program-Program Pemberdayaan Usaha di Omah Difabel
Demi mendukung pemberdayaan wirausaha penyandang disabilitas, kegiatan produksi dan pemasaran Omah Difabel dipusatkan pada bengpro (bengkel produksi dan pemasaran) di Setran, Bedali. Di dalam bengpro itu sendiri, ada beberapa kegiatan produksi yang dilakukan seperti menghasilkan batik, keset, telor asin, kopi bubuk, hingga kegiatan menjahit.
Seiring berjalannya waktu dengan terus meningkatnya kegiatan wirausaha, jumlah difabel yang bergabung dari 15 orang akhirnya menjadi 327 orang. Masyarakat dampingan Omah Difabel ini tersebar dari Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, dan Sidoarjo, seperti dilansir Media Indonesia.
Jika dijabarkan lebih lanjut, berikut beberapa program pemberdayaan usaha yang mampu memberikan penghasilan bagi anggota Omah Difabel:
1. Produksi Masker dan Hazmat
Ken Kerta menyerahkan masker filter produksi Omah Difabel foto: LINKSOS
Jika banyak bisnis yang terpaksa gulung tikar saat pandemi Covid-19, Omah Difabel justru membuktikan kalau mereka justru semakin produktif. Pesanan masker dari RSJ Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Kabupaten Malang justru datang kepada para penyandang disabilitas ini. Bahkan dari informasi Ken, pihak RSJ sampai memberikan bantuan pinjaman modal awal Rp1 juta terlebih dulu.
Menariknya karena orderan masker filter tiga lapis ini datang saat wabah corona dan kebijakan pembatasan sosial, semua pekerjaan dilakukan dengan sistem WFH (Work From Home). Dalam pola kerja ini, akan ada koordinator yang ditunjuk untuk berkoordinasi dengan manajer produksi dalam mendistribusikan bahan baku untuk dijahit dan hasil masker yang sudah jadi dari rumah-rumah pekerja.
“Ada sekitar 20 penjahit di Omah Difabel dengan 50% di antaranya adalah penyandang disabilitas, sedangkan sisanya kami ajak serta warga sekitar yang non difabel. Namun karena permintaan APD (Alat Pelindung Diri) lainnya semakin tinggi, kami bermitra dengan orangtua ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) juga,” jelas Ken seperti dilansir Urbanasia.
Baca Juga: Penting Tapi Sering Diabaikan, Inilah 8 Alasan Pentingnya Quality Control Dalam Proses Produksi
Demi menanggulangi krisis selama pandemi, produk APD yang dihasilkan Omah Difabel dijual dengan harga wajar yakni Rp40 ribu untuk satu kotak berisi lima masker filter dan hazmat seharga Rp165 ribu per unit. Masker filter tiga lapis bahkan dibuat dengan standar kesehatan tinggi yakni dua kain katun pelindung dan satu filter berbahan non-woven.
Sedangkan untuk hazmat-nya, terbuat dari kain parasut yang ringan dipakai dan tidak tembus air untuk mencegah percikan cairan tubuh. Dalam seluruh proses produksinya, Ken menjelaskan kalau Omah Difabel menerapkan standar bio security baik kebersihan diri pekerja, kebersihan alat kerja dan material, dan kebersihan lingkungan yang semuanya dikonsultasikan dengan ahli medis dan Dinkes.
Setidaknya ada ribuan lembar masker dan hazmat produksi Omah Difabel yang dibeli oleh konsumen di wilayah Malang, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Pontianak, Lampung, dan Tarakan, seperti dilansir website resmi RSJ Lawang. Bahkan lewat kerjasama dengan Dinsos Kabupaten Malang, Omah Difabel mampu memenuhi orderan 15 ribu masker filter kain.
2. Produksi Kopi Herbal
Keberadaan Omah Difabel memang akhirnya menjadikan Bedali sebagai desa inklusif karena mampu memberdayakan penyandang disabilitas. Hal ini rupanya menarik perhatian Unikama (Universitas Kanjuruhan Malang) lewat proposal PHP2D yang diadakan Kemdikbud, dalam memproduksi kopi herbal.
“Sebetulnya Omah Difabel ini sudah menjalankan banyak kegiatan usaha, salah satunya kopi bubuk tapi dengan kemasan yang biasa saja. Karena itu kami mengajak rekan-rekan melakukan inovasi dan diferensiasi produk kopi dalam bentuk kopi herbal, ada jahe merah dalam produk ini yang berdampak positif ke imunitas tubuh,” jelas Shodiq Auludin selaku Ketua Tim PHBD, seperti dilansir website resmi Unikama.
Tak cuma sekadar menghasilkan produk kopi herbal yang inovatif, kerjasama dengan Unikama ini ke depannya diharapkan turut meningkatkan SDM para difabel dalam hal ilmu pemasaran produk dan teknik pengolahan biji kopi. Untuk kopi herbal jahe merah dijual dengan harga Rp25 ribu - Rp30 ribu per kemasan.
3. Produksi Konveksi - Keset
Menggunakan kerja kelompok berbekal keahlian setiap difabel, sistem ini diharapkan bisa saling melengkapi. Seperti contohnya difabel penjahit, akan dibagi menjadi kelompok mahir banyak job, mahir sepi job, dan baru belajar demi keterciptaan sharing job. Di mana para senior yang sudah mahir bisa membagi orderan ke kelompok lain dan yang paling junior, membantu dalam hal pemasaran.
Kegiatan penyandang disabilitas Omah Difabel foto: LINKSOS
Lewat sistem ini, tak dipungkiri kalau penyandang disabilitas di Omah Difabel semakin mandiri dan menghasilkan produk turunan menjahit seperti dompet dan tas dari kain perca, baju seragam karyawan pabrik, hingga keset. Untuk produk keset jika bahannya dari Omah Difabel, akan dibeli Rp5 ribu per biji, sedangkan kalau bahannya dari para difabel sendiri, dibeli Rp10 ribu per biji dengan seluruh harga jualnya Rp15 ribu per biji.
Ada dua difabel yang merasakan betul berkah produksi keset ini. Pertama adalah Ezra Juniawan selaku Koordinator Sekolah Alam Omah Difabel dan Yudha sebagai Tim Pemasaran Omah Difabel. Ezra yang bergabung LINKSOS sejak Agustus 2019 sekarang yang dari awalnya haya bisa memproduksi dua keset per hari, kini mampu mencapai delapan keset per hari.
Baca Juga: Tips Kembangkan Bisnis Konveksi di Era Digital, Pilihan Ide Usaha yang Menjanjikan!
Begitu juga dengan Yudha Nurjayalana yang mengalami disabilitas sebagai OYPMK, kini mampu menghasilkan 5-10 keset per hari. Cukup menggembirakan karena Yudha terpaksa kehilangan pekerjaan sebagai OYPMK dan kini turut menopang ekonomi keluarga berkat Omah Difabel, membantu sang istri yang berjualan di Pasar Lawang.
Tak mau ketinggalan ada juga Theresia Ina selaku Tim Konveksi Omah Difabel, kini dirinya sudah mempunyai lima mitra difabel tuli dan disabilitas fisik. Tak main-main, Tim Konveksi Omah Difabel pernah menerima orderan jahit gaun pengantin, jas, terpal, korset, hingga sepatu.
4. Produksi Kain Batik
Batik Netra produksi penyandang disabilitas Omah Difabel foto: LINKSOS
Program pemberdayaan usaha terakhir yang masih berjalan aktif hingga sekarang di Omah Difabel adalah memproduksi kain batik. Program pemberdayaan usaha ini hadir berkat serangkaian proses pelatihan dan produksi yang dilakukan rutin setiap dua minggu sekali.
Menurut Sri Ekowati selaku Koordinator Produksi Batik LINKSOS, salah satu produk batik unggulan Omah Difabel adalah batik Cap Ciprat (Capci). Dipilihnya batik Capci ini karena memang cenderung mudah dikerjakan oleh para difabel, berkat proses teknisnya cukup mudah dan bisa dikerjakan di rumah masing-masing.
Memadukan teknik ciprat dan cap, corak pada batik Capci memang mengkuti kemauan kawan-kawan difabel. Meskipun begitu kini batik Capci dikenal memiliki motif Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Motif Semeru ini dipilih bukan karena kegagahannya saja, tapi juga dianggap sebagai perlambang aktivitas para difabel yang peduli lingkungan.
Sebelum mengenalkan batik Capci, anggota Omah Difabel rupanya sudah memproduksi batik beberapa tahun silam bernama batik Netra. Batik tersebut menggunakan model ikat atau jumput karena memang diproduksi oleh para tuna netra. Di mana dalam prosesnya, kain-kain yang sudah diikat dengan pola tertentu dicelupkan pada cairan warna (dibantu oleh non difabel).
Kain batik Netra dijual dengan harga mulai dari Rp85 ribu - Rp350 ribu, tergantung kualitas kain, tingkat kesulitan produksi, dan kerumitan pola batik, seperti dilansir website resmi LINKSOS.
Tentu melihat pencapaian Omah Difabel, membuktikan bahwa para penyandang disabilitas mampu berdaya dan mandiri asalkan diberi kesempatan yang sama. Sahabat Wirausaha pun bisa menjadikan studi kasus ini sebagai inspirasi untuk terus bersemangat mengelola usaha, melakukan inovasi, dan meningkatkan kualitas diri demi mencapai kesejahteraan finansial lebih baik.
Jika tulisan ini bermanfaat , silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.