Batik Trusmi – Ragam dan keindahan budaya Indonesia seringkali mengundang decak kagum, tak terkecuali bagi seorang Sally Giovanni. Kecintaan terhadap budaya Indonesia dan dunia bisnis mendorongnya untuk dirikan bisnis Batik Trusmi.
Keinginan Sally untuk mengenalkan batik kepada masyarakat Indonesia dan dunia, mengantarkan Batik Trusmi menjadi salah satu brand batik tersukses di Indonesia. Melalui artikel ini, Sally akan berbagi cerita tentang proses perjalanannya mendirikan bisnis batik. Mari kita simak kisah inspiratifnya.
Mengawali Bisnis dengan Jualan Kain Kafan
Banyak kisah unik yang kita dengar dari para pengusaha tentang bagaimana mereka merintis bisnis, tak terkecuali yang dialami Sally Giovanni. Wanita kelahiran 18 September 1988 itu memulai bisnis pertama kali di usia 17 tahun. Uniknya, modal awal merintis usaha berasal dari uang yang ia terima dari amplop pernikahan. Setelah mendapat dukungan dari suami dan mertuanya, Sally menggunakan uang tersebut untuk merintis sebuah bisnis.
Setelah amati kondisi sekitar, Sally terdorong untuk berjualan kain kafan. “Kain kafan kan pasti dibutuhkan setiap orang, jadi saya berpikir bahwa ini bisnis yang bagus,” tuturnya. Untuk kenalkan bisnisnya kepada pembeli, Sally menawarkan kain kafan secara door to door ke teman, kerabat, dan tetangga terdekat.
Sayangnya, bisnis ini tak berjalan mulus lantaran tak banyak orang yang tertarik beli kain kafan. Walaupun diperlukan oleh semua orang, kain kafan hanya digunakan ketika ada anggota keluarga yang meninggal saja.
Sally sempat merasa kecewa karena bisnisnya gagal. Namun, berkat dukungan dari keluarganya, Sally kembali mendapatkan semangat untuk kembali bangkit. Dari pengalaman itu, ia menyadari bahwa bisnisnya gagal karena kurang riset pasar.
“Saya jadi tahu bahwa riset itu penting kalau mau mulai bisnis. Jadi jangan sampai kita jualan tanpa memastikan produknya itu ada demand (permintaan) dari pasar,” ungkapnya.
Baca Juga: 5 Tren Kepemimpinan Ala Forbes di Tahun 2024, Apa Saja?
Banting Setir ke Bisnis Batik
Gagal bisnis kain kafan, Sally dan suami banting stir bisnis ke batik. Kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Setelah amati bahwa di sekitar Cirebon, kota asalnya, terdapat banyak pengrajin batik dan produk ini punya pasar yang menjanjikan, Sally dan suami memutuskan untuk memulai bisnis ini.
Untuk kelola bisnis lebih profesional lagi, ia sempatkan diri untuk ikuti seminar bisnis di Balikpapan dan lakukan riset tentang batik. Sally belajar proses pembuatan dan jenis-jenis batik dari para pengrajin. Ia jatuh cinta pada cerita dan filosofi di balik kain tradisional khas Indonesia ini. Ia semakin tertarik setelah melihat proses produksi batik yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
“Rata-rata ada 4-5 orang pengrajin yang dilibatkan dalam proses pembuatan batik. Ada yang bertugas menggambar desain, melukis batik, menggunting pola, menjahit, dan finishing,” katanya.
Perjalanan merintis bisnis batik ini pun tak mulus. Ia pernah hadapi cibiran dari orang sekitar karena dipandang masih terlalu muda jalani bisnis. Saat berjualan batik pertama kali pun, produknya tak langsung laku karena tak sesuai permintaan pasar. Lagi-lagi ia diingatkan untuk belajar lakukan riset dan perencanaan matang.
“Perencanaan dan tindakan itu harus beriringan, tak bisa bertindak tanpa perencanaan. Saya jadi sadar kalau riset itu penting sebelum kita memulai bisnis dan mengeluarkan produk,” ungkapnya. Sejak saat itu, ia sering memperhatikan tren pakaian yang disukai orang-orang dan menanyakan model pakaian seperti apa yang disukai. Riset ini membantunya untuk menentukan model seperti apa yang paling pas untuk dijual.
Di awal bisnis batik, Sally memutuskan berjualan dengan sistem konsinyasi atau titip jual karena belum cukup modal untuk buka showroom sendiri. Ia menitipkan batik yang diambil dari perajin Cirebon ke beberapa toko yang ada di Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Bali.
Ketika sudah berhasil kumpulkan modal, ia dan suami beranikan diri membuka showroom berukuran 4x4 di rumahnya. Ia pasang billboard besar bertuliskan Batik Trusmi, Termurah dan Terlengkap! Ketika ada pembeli datang ke rumahnya, walaupun produknya habis, Sally akan jemput kain dari pengrajin untuk buktikan ke konsumen komitmen dari slogannya.
Baca Juga: 6 Brand Batik UMKM di Indonesia, Sukses hingga Laris di Luar Negeri
Inovasi, Kolaborasi, dan Adaptasi
Saat ini Batik Trusmi sudah berkembang jadi usaha beromzet ratusan juta per hari dan tergolong usaha skala besar. Tak hanya di Cirebon, Batik Trusmi kini sudah melebarkan sayap ke berbagai kota besar seperti Bandung, Surabaya, Medan, dan Bali. Jika dulunya ia memulai bisnis berdua dengan suami, kini bisnisnya sudah pekerjakan 450 karyawan.
Tak hanya itu, keduanya juga kembangkan bisnis lain di bidang pariwisata dan properti di bawah naungan Trusmi Group. Selain tetap monitoring bisnis utama yaitu Batik Trusmi, keduanya saling berbagi peran kelola bisnis lainnya. Sally kelola D’Kranjang Bali yang bergerak di bidang pariwisata, sedangkan sang suami fokus kelola Trusmi Land yang bergerak di bidang properti.
Dalam mengembangkan Batik Trusmi, Sally membeberkan rahasia sukses bisnisnya, yaitu dengan terapkan inovasi, kolaborasi, dan adaptasi. Sally mengakui bahwa proses inovasi itu sangat penting dilakukan bagi bisnis karena dunia selalu alami perubahan.
“Mindset orang-orang terhadap batik itu hanya untuk acara formal dan orang dewasa. Saya ingin para milenial juga enjoy pakai batik,” katanya.
Karena itu, untuk menyasar target market milenial, Batik Trusmi melakukan berbagai inovasi, salah satunya membuat koleksi Denim Line yang memadukan bahan denim dan batik. Menurutnya kain denim atau jins itu tak pernah usang, rata-rata orang suka dan pakai jins. Didukung oleh tim desainer, Denim Line lahirkan 20 koleksi yang terdiri dari blouse, celana, hingga outer.
Selain produk, Sally juga terapkan inovasi pada proses layanan. Menurutnya, pelayanan yang baik sangat penting dalam berikan kenyamanan bagi pelanggan. Ia pernah dapat masukan dari teman-teman yang datang ke toko kalau para pelayan kurang bersahabat menyambut tamu. Lantas, Sally membuatkan SOP bagi karyawan saat menyambut pelanggan yang datang ke toko.
Selain itu, ia juga terapkan berbagai inovasi di bidang-bidang lainnya misalnya produksi dan marketing. Sally sering amati tren model yang sedang happening dan warna yang tren lalu mengadaptasinya jadi model baju batik. Mencari inspirasi dari brand lain sah-sah saja dilakukan, baginya yang tidak boleh dilakukan adalah menjiplak mentah-mentah karya orang lain karena sama saja tak menghargai kreatornya.
Baca Juga: Kainnesia, Perjuangan Memperkenalkan Tenun Ke Penjuru Indonesia
Kolaborasi, Adaptasi, dan Personal Branding Jadi Kunci Pendongkrak Brand
Sally juga fokus melakukan ekspansi pasar dengan strategi kolaborasi. Ia kerap mengajak brand-brand lain untuk co-branding atau membuat produk bersama, salah satunya Ayu Dyah Andari, Zeta Scarves, dan Vanilla Hijab.
“Kalau brand kita mau dikenal lebih banyak orang, lakukan co-branding dengan brand lain yang segmen pasarnya mirip dengan segmen pasar kita. Kolaborasi ini bisa saling menguntungkan kedua brand, karena segmen pasar brand tersebut bisa kenal dengan produk kita, begitu pun sebaliknya,” Jelas Sally.
Selain kolaborasi, bisnis juga perlu beradaptasi menyesuaikan perubahan yang terjadi. Sally berpendapat zaman terus alami perubahan. Kalau dulu penggunaan internet belum sebanyak sekarang sehingga bisnisnya fokus ke toko offline. Namun, sekarang hampir semua orang gunakan internet sehingga bisnis harus lakukan penjualan lewat toko online supaya bisa menjangkau lebih banyak calon pembeli. Mengadaptasi hal-hal baru ini penting agar bisnis bertahan hadapi perubahan.
Melanglang Buana Lewat New York Fashion Week
Salah satu kebanggaan bagi Batik Trusmi adalah ketika dapat kesempatan mengikuti ajang New York Fashion Week di tahun 2023. Batik Trusmi mendapatkan kesempatan untuk melenggang di kontes internasional yang dihadiri para desainer mancanegara.
Pengalaman itu berkesan sekali bagi Sally. Proses seleksi yang ketat mengharuskan dirinya menyiapkan banyak hal. Ia sempat dihinggapi keraguan batiknya bisa diterima oleh konsumen yang hadir karena kontes itu diselenggarakan pada musim gugur, sedangkan kebanyakan produk batiknya bernuansa cerah musim panas. Alhasil, Sally lakukan modifikasi pada pola, warna, dan cuttingan batik sehingga lebih sesuai dengan kondisi musim dan selera pasar di sana.
“Tak hanya uang, tapi kita harus penuhi ketentuan lainnya seperti harus punya portofolio, ambil photoshoot, dan melakukan photo campaign, dan buka pop-up store,” terang Sally. Dirinya sempat tiga kali hadiri gelaran itu sejak 2016 untuk mengamati jalannya kontes demi mempersiapkan diri.
Selama membuka pop-up store di New York Fashion Week, produk Batik Trusmi langsung diborong pembeli. Tak sampai 3 jam, produknya ludes dibeli konsumen dari berbagai negara dan terjual senilai ratusan juta rupiah.
Mencapai keberhasilan di usia muda menjadikan Sally inspirasi bagi banyak UMKM wanita yang menjalani bisnis serupa. Menurutnya, penting bagi UMKM untuk memperkuat pondasi bisnis di awal. “Batik Trusmi membangun pondasi bisnisnya selama 10 tahun. Kuncinya harus fokus. Jangan mudah tergoda dengan tawaran-tawaran yang datang kalau nggak sejalan dengan visi bisnis kita,” pesannya.
Sempat disuguhi tawaran kerjasama menggiurkan di bidang bisnis lain yang potensi keuntungannya menggiurkan, Sally dan suami memutuskan untuk fokus jalani bisnis batik mereka lantaran pondasinya saat itu belum kuat. Kini, setelah Batik Trusmi tegak berdiri, barulah ia dan suami coba menggarap peluang bisnis lainnya seperti bisnis oleh-oleh dan properti.
Nah, itulah perjalanan inspiratif Sally Giovanni membangun Batik Trusmi. Semoga menginspirasi!
Jika tulisan ini bermanfaat , silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.