Nur Salam, yang biasa disapa Salam, adalah founder dan CEO Kainnesia sejak 2017 silam. Alumni Universitas Gadjah Mada ini sama sekali tak mengira bahwa jurusan Geografi yang diambilnya justru mengantarkan pada sebuah episode kehidupan menjadi pengusaha sukses di bidang kain tenun.

Asal muasal ide Kainnesia muncul setelah Salam sering berpetualang ke berbagai daerah di Indonesia untuk memenuhi tugas kuliah. Dimulai dari menjelajahi Lombok, hingga Sumatera dan juga Kalimantan. Beruntungnya, petualangan Salam di berbagai pulau Nusantara tak hanya sekedar datang kemudian pulang. Ia berkesempatan bertemu dengan para penenun di berbagai daerah dan berdialog dengan mereka.

Baca Juga: Menentukan Unique Selling Proposition

Di antara sekian banyaknya topik dialog tersebut, terselip curahan hati para penduduk tentang nasib kain tenun. Sebelum Salam datang, penjualan kain tenun sebagian besar bergantung pada jumlah wisatawan yang datang. Jika musim wisata sedang puncak-puncaknya, maka penjualan kain tenun melonjak. Namun, jika sedikit wisatawan yang datang, sulit bagi para penenun untuk meraih keuntungan. Dengan kata lain, ada gap (celah) antara produksi kain tenun dengan permintaan pasar. Ditambah lagi, kain tenun sebagai warisan budaya belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Lalu, bagaimana Kainnesia memasarkan produknya? Simak kisah lengkapnya berikut ini.


Bertumbuh dengan Digital Marketing

“Kebetulan banget saya waktu itu lagi belajar digital marketing sehingga saya mengenalkannya (kain tenun) lewat media sosial, lewat Instagram dan lewat (situs) online.” ungkap Salam. Berbekal ilmu dalam bidang digital marketing, ia yang semula menawarkan produknya secara mulut ke mulut, kemudian mencoba peruntungan menggunakan teknologi digital. Salam mulai dengan membuat akun Instagram, WhatsApp, serta situs internet khusus untuk Kainnesia. Tak disangka, ia mendapatkan respon pelanggan yang antusias.

Baca Juga: 5 Jenis Aplikasi Digital Untuk Bisnis Naik Kelas

Salam kemudian melanjutkan strategi pemasarannya dengan memasang iklan di Instagram. Saat itu Instagram memang merupakan salah satu sosial media paling populer di kalangan milenial. Kain tenun dalam bentuk selimut pun dikenakan untuk berfoto ria di berbagai tempat eksotis seperti pantai, gunung, dan tebing. Tak hanya itu, banyak pasangan muda juga menjadikan kain tenun sebagai busana dalam potret kebahagiaan momen pre-wedding.

Pertumbuhan Kainnesia semenjak menerapkan digital marketing pun terus meningkat positif. Salam yang semula mengelola promosi berbagai akun sosial media seorang diri, kini sudah memiliki tim khusus untuk menangani hal tersebut.


Tantangan Memperkenalkan Tenun

Meski Kainnesia sudah menginjak usia 5 tahun, Salam dan tim terus mengenalkan tenun kepada Temannesia─sapaan akrab pelanggan Kainnesia. Hal ini agar mereka yang sudah pernah membeli kain tenun, mau melakukan order ulang (repeat order) atau bahkan menarik calon pembeli baru. Namun, pengenalan kain tenun kepada masyarakat umum menurut Salam tidaklah mudah. Tidak banyak orang yang memiliki pemahaman dan ketertarikan yang mendalam dengan kain tenun.

Baca Juga: Membangun Brand Positioning Agar Bisnis Berkembang

Berkaitan dengan hal ini, Salam berbagi kisah pengalamannya. Ia pernah bertemu dengan seorang bapak pada sebuah pameran yang dilaksanakan di sebuah daerah di Indonesia. Bapak tersebut mendatangi stand Kainnesia dan mengaku ingin membeli kain tenun.

“Waktu kami tawarkan kain tenun yang seharga 500 ribu, bapak ini malah balik bertanya, ‘Ada lagi gak yang lebih bagus (dan mahal) dari itu?’ Kemudian kami naikkan menjadi 1 juta. Tapi bapak itu masih bertanya hal yang sama. Kami kemudian mengeluarkan kain yang harganya 3 juta. Bapak masih mau minta yang lebih (mahal) lagi. Lalu ditawarkan tenun yang harga 5 juta, 10 juta, 20 juta, sampai akhirnya 30 juta. Baru disitulah beliau berhenti. Malah jadi beli (kain tenun) dua (buah). Dari situ saya berpikir, ‘wah berarti daya beli bapak ini sampai 30 juta’”, ungkap Salam.

Berbeda dengan cerita bapak tersebut, kebanyakan generasi muda nampaknya belum dapat menghargai tenun sebagaimana mestinya. Hal ini Salam maklumi karena selain daya beli yang cenderung rendah, awal mula mereka memutuskan membeli kain tenun adalah untuk mengikuti tren untuk foto-foto instagramable. Alih-alih melihat ini sebagai hambatan, Salam justru melihatnya sebagai peluang. “Tugas kami selanjutnya adalah mengenalkan kepada mereka bahwa tenun memiliki motif dan cerita tersendiri yang akhirnya bisa membuat mereka bangga mengenakannya,” tutur Salam.

Baca Juga: Bangun Customer Engagement Lewat Gimmick Promosi di Media Sosial


Edukasi Sleeping Market menjadi Potential Market

Ketika ditanya tentang cara meyakinkan agar masyarakat awam khususnya anak muda agar berminat dengan kain tenun, Salam kembali menjabarkan pengalamannya. “Teman-teman yang belinya secara online rata-rata butuh waktu 3-5 hari sampai akhirnya memutuskan untuk beli. Dengan yang awalnya kita edukasi dengan konten di Instagram. Bahasanya (dalam marketing) kita bangun dulu awareness-nya. Dari yang enggak tahu ke tahu dulu,” ujarnya.

Tak cukup hanya postingan di feed Instagram, tim Kainnesia terus melakukan edukasi di berbagai lini. Setiap harinya, Kainnesia memanfaatkan fitur LIVE Instagram (IG) dan melakukan siaran untuk menjelaskan detail produknya. Mulai dari ukuran dan bahan kainnya, durasi dan proses pembuatannya, hingga filosofi dan maknanya. Para audiens yang mulai tertarik biasanya akan berkomentar selama tanya-jawab di LIVE. Diantara para penonton yang hadir, tak sedikit yang berlanjut untuk chat ke admin Kainnesia.

Salam menambahkan, “Ketika mereka ngechat, di sana kita edukasi lagi. Setelah itu, biasanya mereka memutuskan pengen nyoba dulu dengan produk yang paling minimal. Misalkan selendang dulu deh dengan daya belinya (seharga) yang 70 puluh ribuan dulu. Dengan harga segitu, dapat selendang yang ukurannya sekitar 40 sentimeter dan panjangnya sekitar 1,8 meter. Terus meningkat ke (produk) outer-nya. Karena ada outer yang kita bikin affordable dengan range hanya sekitar 160-an ribu. Kalau mereka cocok, mereka bisa beli yang lebih mahal lagi. Jadi, (prosesnya) perlahan sih.” ujar Salam.

Baca Juga: Cantiknya Pernak-Pernik Aksesoris Khas Indonesia

Edukasi yang membutuhkan kesabaran waktu yang tidak sebentar itu rupanya membuahkan hasil. Salam dan tim mampu mengubah target pasar yang semula tidak sadar akan tenun (sleeping market) menjadi target pasar potensial (potential market). Jumlah repeat order dari para Temannesia setelah edukasi berlapis tersebut bisa meningkat berkali lipat. Sebab, pembelian selanjutnya tak hanya dari perorangan. Namun juga dari perusahaan atau institusi yang ingin dibuatkan seragam. Berkat hal ini, Kainnesia yang semula hanya menyasar B2C kini juga mulai merambah ke B2B.


Visi Luar Biasa Untuk Branding Tenun Indonesia

Bercerita tentang visi Kainnnesia kedepannya, Salam pun mengaku terinspirasi dari Eiger, sebuah brand outdoor lifestyle lokal yang kini berhasil melahirkan berbagai macam produk yang dekat dengan masyarakat. “Saya melihat brand Eiger. Awalnya, mereka menjual tas carrier berdasarkan kebutuhan para pendaki yang kesulitan dengan banyaknya barang bawaan. Seiring berjalannya waktu, ternyata mereka menciptakan produk turunan lainnya dengan tema bervariasi, seperti riding (bersepeda) hingga camping (berkemah). Kainnesia pun ingin seperti itu sebenarnya. Sekarang kami ingin menyasar ke market fashion dulu dan kedepannya ingin diciptakan produk dengan fokus lain, misalkan dekorasi.” ungkapnya dengan antusias.

Baca Juga: Tips Membuat Foto Konten yang Menarik untuk Produk Fashion

Untuk mewujudkan hal ini, Salam bersama tim marketing yang terdiri dari content creator, videographer, serta social media specialist menyiapkan berbagai strategi yang ada. Salah satunya melalui branding yang apik dengan tagline #BanggaBerbudaya. Melalui setiap kanal online yang Kainnesia punya, baik caption konten hingga lewat pesan verbal, Salam dan timnya ingin menyampaikan pesan sama. Pesan bahwa budaya tenun merupakan identitas bangsa yang patut dijaga dan membuat masyarakat Indonesia bangga. Sebagaimana bangganya para nenek moyang mengenakan tenun dalam berbagai momen kehidupan mereka.

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.

Referensi : Wawancara langsung dengan Nur Salam (owner Kainnesia) dan LIVE IG @salamnesia & @sekolahpebisnis