Di Bandung awal 2010-an, Yukka Harlanda merasa frustrasi. Sebagai pria bertubuh tinggi dengan ukuran kaki 46, ia kesulitan menemukan sepatu yang pas dan tetap stylish. Setiap kali berbelanja, pilihannya selalu terbatas: kalau bukan merek luar negeri yang mahal, ya model lokal yang monoton.
Dari rasa frustasi itu lahirlah ide sederhana: mengapa tidak membuat sepatu sendiri? Yukka lalu menggandeng sahabatnya, Putera Dwi Kurnia, untuk mewujudkan gagasan ini. Dengan modal awal hanya Rp7 juta, mereka memesan 30 pasang sepatu dari pengrajin lokal Bandung.
Sepatu itu dipasarkan dari mulut ke mulut, lewat teman dan jejaring kampus. Tak disangka, responnya luar biasa. Permintaan melonjak, dan produksi mereka meningkat hingga ribuan pasang hanya dalam hitungan bulan.
Dari garasi kecil dan kamar asrama, berdirilah Brodo, sebuah brand sepatu pria lokal yang belakangan jadi salah satu pionir industri direct-to-consumer (D2C) di Indonesia.
Tak Sekedar Jualan Sepatu
Brodo lahir bukan hanya untuk mengisi celah pasar, tapi juga membawa filosofi baru: sepatu lokal harus bisa bersaing dengan produk global. Yukka dan Putera percaya bahwa Indonesia memiliki bahan baku kulit yang melimpah, tenaga kerja terampil, dan warisan craftsmanship yang kaya. Semua itu tinggal dikemas dalam merek yang kuat.
Sejak awal, Brodo menempatkan identitas brand di atas sekadar produk. Filosofinya sederhana: “form follows function”—sepatu harus fungsional tapi juga tetap memiliki desain yang apik. Mereka menyasar segmen pria muda, urban, dan percaya diri yang menginginkan gaya hidup modern tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.
Tak lama setelah dirintis, Brodo meraih pengakuan sebagai merek sepatu pria lokal dengan positioning yang kuat. Mereka tidak hanya menjual sepatu, tetapi juga menjual cerita—tentang anak muda Indonesia yang ingin menciptakan sesuatu dari masalah pribadi, dan menjadikannya solusi untuk banyak orang.
Website Sebagai Channel Penjualan
Meski awalnya mengandalkan media sosial dan forum daring seperti Facebook serta Kaskus, Brodo sadar bahwa bisnis membutuhkan kanal resmi. Pada 2012, mereka meluncurkan website www.bro.do, yang menjadi tonggak penting dalam perjalanan bisnis mereka.
Sumber foto: bro.do
Website tersebut bukan hanya berfungsi sebagai etalase produk, tetapi juga sebagai pusat identitas digital. Desainnya dibuat profesional, dengan foto produk berkualitas tinggi, deskripsi lengkap, dan sistem belanja yang mudah digunakan. Konsumen bisa menemukan katalog sepatu, membaca kisah di balik produk, hingga mendapatkan tips perawatan.
Keputusan ini terbukti tepat. Data internal Brodo menunjukkan bahwa website menjadi kanal penjualan terbesar. Pada 2018, 53,1% dari total pendapatan mereka berasal dari website, melampaui penjualan di marketplace maupun toko offline. Angka ini setara dengan puluhan ribu transaksi dan pendapatan miliaran rupiah dalam setahun. Website, singkatnya, menjadi jantung bisnis Brodo.
1. Etalase Digital yang Lengkap
Website Brodo menampilkan seluruh lini produk: dari sepatu kasual, sneakers, hingga koleksi formal. Tidak berhenti di sana, mereka juga memperluas kategori ke pakaian dan aksesoris. Setiap produk dilengkapi narasi visual dan teks yang rapi, sehingga konsumen merasa yakin akan kualitasnya.
2. Membangun Kredibilitas dan Kepercayaan
Di era digital, kepercayaan adalah segalanya. Brodo menggunakan website sebagai sarana untuk menunjukkan profesionalitas. Di dalamnya tersedia informasi garansi, kebijakan retur, hingga alamat toko fisik. Konsumen merasa lebih aman bertransaksi di platform resmi dibanding lewat kanal tidak jelas.
Gabung jadi Member ukmindonesia.id buat update terus info seputar UMKM dan peluang usaha!
3. Data-Driven Marketing
Website memungkinkan Brodo mengumpulkan data transaksi, memantau pola belanja, dan membaca preferensi konsumen. Informasi ini menjadi dasar strategi pemasaran digital mereka, mulai dari kampanye media sosial hingga email marketing. Dengan data tersebut, mereka bisa lebih tepat sasaran dalam mengembangkan produk dan promosi.
4. Konten yang Humanis
Selain katalog, Brodo menambahkan blog berisi tips fashion, panduan merawat sepatu, dan kisah di balik desain. Strategi ini bukan hanya untuk menarik traffic dari mesin pencari, tetapi juga membangun loyalitas. Konsumen merasa terhubung karena Brodo tidak sekadar “menjual”, melainkan berbagi cerita.
5. Manajemen Krisis Lewat Website
Brodo pernah mengalami masalah ketika pesanan pre-order menumpuk di bulan Ramadan, sementara produksi tertunda. Website menjadi medium komunikasi resmi untuk menenangkan konsumen, memberikan update, dan mengatur ekspektasi. Transparansi ini membantu mereka menjaga reputasi di tengah badai.
Menjangkau Pasar Luar Negeri
Setelah menancapkan kukuh pijakan di dalam negeri, Brodo mulai melirik pasar internasional. Website menjadi pintu masuk utama. Dengan tampilan yang profesional dan opsi bahasa Inggris, Brodo memperluas jangkauan ke konsumen mancanegara.
Pesanan pertama dari luar negeri datang dari Singapura dan Malaysia, disusul pembeli individu dari Eropa. Mereka menemukan Brodo lewat pencarian di Google atau tautan media sosial yang mengarah ke website resmi. Fitur pembayaran internasional dan informasi pengiriman global membuat konsumen asing merasa nyaman.
Bagi Yukka, ini adalah bukti nyata bahwa produk lokal bisa bersaing di kancah global asalkan didukung branding dan storytelling yang kuat. Ia kerap menekankan bahwa sepatu Brodo bukan sekadar alas kaki, tapi representasi craftsmanship Indonesia. Website menjadi jembatan yang mempertemukan cerita itu dengan konsumen luar negeri.
Baca Juga: Bisnis Produk Digital Tanpa Modal? Ini 8 Strategi Rahasia yang Jarang Dibahas!
Tantangan dan Resiliensi Digital
Perjalanan Brodo tidak selalu mulus. Kompetisi dengan brand internasional dan banjir produk impor murah adalah tantangan besar. Namun, dengan strategi D2C dan website yang kuat, Brodo bisa menjaga margin keuntungan sekaligus membangun hubungan langsung dengan konsumen.
Selain itu, Brodo juga bereksperimen dengan kolaborasi. Mereka pernah menggandeng pengrajin lokal dari Sumba untuk membuat koleksi edisi khusus, dan memamerkannya di website. Kolaborasi ini tidak hanya menambah nilai produk, tetapi juga menunjukkan komitmen mereka terhadap pelestarian budaya lokal.
Jejak Digital yang Menjadi Legasi
Kini, Brodo bukan sekadar merek sepatu. Ia adalah simbol inovasi dan adaptasi digital UMKM Indonesia. Dari prolog sederhana—masalah sepatu ukuran besar—Brodo tumbuh menjadi brand nasional dengan pengaruh global. Semua itu dimungkinkan oleh keberanian mereka mengandalkan website sebagai kanal utama bisnis.
Website bukan hanya saluran penjualan, tetapi juga ruang bercerita, membangun kepercayaan, mengatur krisis, hingga membuka pasar luar negeri. Brodo telah menunjukkan bahwa UMKM lokal pun bisa mendunia dengan strategi digital yang tepat.
Dari Bandung, langkah Brodo kini bergema ke mancanegara. Dan semuanya dimulai dari satu alamat sederhana: www.bro.do.
Referensi
- Brodo Official Website – https://bro.do
- “Perjalanan Yukka Harlanda Membangun Brodo dari Modal Rp7 Juta Menjadi Brand Besar,” Bintang Bisnis, 2025
- “Brodo: Brand Sepatu dengan Konsep Direct-to-Consumer Pertama di Indonesia,” Shoes and Care
- Data penjualan Brodo melalui website, Open Library Telkom University.
- Sumber foto: inilah.com