Pagi belum sepenuhnya terang ketika Suparmi membuka warung kecilnya di pinggir jalan desa. Sejak pandemi melanda dua tahun silam, perempuan 47 tahun ini tak lagi mengandalkan uang tunai. Di atas meja kayu lapuk, berdampingan dengan timbangan dan aneka jajanan, tergantung kertas kecil bertuliskan “Bisa Bayar Pakai QRIS.”
“Aku diajarin anakku. Sekarang yang belanja tinggal scan,” ujarnya sembari merapikan botol-botol minuman. Suparmi bukan satu-satunya pelaku usaha mikro yang mulai akrab dengan teknologi. Di tengah gelombang digitalisasi, semakin banyak pelaku usaha kecil yang mulai mengubah cara berdagangnya.
Perubahan ini tak lepas dari derasnya arus transformasi digital yang menyapu Indonesia dan dunia. Data dari UNCTAD pada 2016 menyebutkan bahwa ekonomi digital telah menyumbang lebih dari 15 persen terhadap PDB global.
Di Indonesia, 77 persen penduduk telah terhubung dengan internet, dan mayoritas dari mereka aktif di media sosial. Kombinasi inilah yang kemudian membentuk lanskap baru dunia usaha, termasuk bagi pelaku UMKM di era digital. Namun, perjalanan menuju digital tak selalu mudah.
Ketika Dunia Berubah, UMKM Tak Boleh Diam
Banyak Sahabat Wirausaha yang bertanya-tanya: apakah UMKM bisa benar-benar tumbuh di dunia yang serba digital ini? Jawabannya: bisa, namun tidak tanpa syarat.
Hingga kini, Indonesia memiliki lebih dari 64 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah. Kontribusinya terhadap PDB nasional mencapai hampir 60 persen, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan menjadi tulang punggung ekonomi. Tapi hanya sekitar 20 persen saja yang benar-benar memanfaatkan teknologi digital dalam aktivitas bisnisnya.
Kesenjangan ini bukan tanpa sebab. Literasi digital masih menjadi tantangan terbesar, disusul keterbatasan infrastruktur internet di daerah, hingga kekhawatiran terhadap keamanan data. Belum lagi perkara adaptasi budaya dan biaya operasional untuk masuk ke ranah digital, yang bagi sebagian UMKM terasa seperti mendaki gunung tanpa alat.
Namun, justru dari celah tantangan itulah peluang muncul.
Dengan biaya yang relatif terjangkau, UMKM kini bisa memasarkan produknya ke seluruh Indonesia—bahkan ke luar negeri—hanya lewat layar ponsel. Platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak telah menjadi lapak digital bagi jutaan pelaku usaha. Sementara media sosial seperti Instagram dan TikTok menjadi panggung bagi para pengusaha lokal untuk menampilkan cerita dan keunikan produknya.
UMKM di era digital menjadi lebih dari sekadar istilah. Ia menjelma menjadi sebuah keharusan.
Baca Juga: Contoh UMKM yang Sukses di Berbagai Bidang, Inspirasi dari Tanah Air
Digitalisasi yang Nyata, Bukan Sekadar Istilah
Di Cirebon, ada seorang pengusaha keripik pisang bernama Rian. Awalnya ia hanya menjual dagangannya di pasar-pasar lokal. Namun sejak ia mencoba membuat akun TikTok dan mengunggah video tentang proses pembuatan keripiknya, pesanan datang dari berbagai kota. Bahkan, satu video yang sempat viral membuat tokonya kebanjiran pesanan selama berminggu-minggu.
Rian kemudian melengkapi usahanya dengan pembayaran QRIS dan mengelola pelanggan melalui WhatsApp Business. Ia juga mulai mencatat transaksi menggunakan aplikasi kasir sederhana. “Dulu cuma jualan, sekarang aku juga ngerti data penjualan,” katanya.
Kisah seperti Rian adalah contoh nyata bagaimana UMKM di era digital bukanlah wacana kosong. Mereka adalah para pejuang ekonomi yang memilih untuk bertransformasi.
Pemerintah pun tak tinggal diam. Lewat program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia dan target 30 juta UMKM go digital, dukungan terus digencarkan. Lembaga seperti Kominfo dan Kementerian Koperasi menggandeng perusahaan teknologi untuk memberikan pelatihan, bantuan infrastruktur, bahkan pembiayaan berbasis fintech.
QRIS, Fintech, dan Jalan Baru untuk UMKM
Di balik layar kaca ponsel, sistem pembayaran digital menjadi darah baru bagi perdagangan kecil. QRIS, sistem pembayaran kode QR nasional, kini menjadi alat transaksi favorit bagi UMKM di pasar, warung kopi, hingga toko kelontong. Hingga pertengahan 2024, lebih dari 32 juta merchant telah menggunakan QRIS, dan 92 persennya adalah UMKM.
Bahkan, di beberapa pasar tradisional di Yogyakarta dan Solo, transaksi tanpa uang tunai menjadi hal biasa. Para pedagang cukup menunjukkan QR code, dan pelanggan tinggal memindai. Praktis, cepat, dan aman.
Tak hanya soal pembayaran, teknologi finansial juga membuka pintu pembiayaan yang lebih luas. Jika dulu pelaku usaha harus antri berjam-jam di bank, kini mereka bisa mengajukan pinjaman dari aplikasi peer-to-peer lending dengan proses yang jauh lebih sederhana. Beberapa platform bahkan menawarkan layanan pembukuan digital yang memudahkan UMKM mencatat pemasukan dan pengeluaran.
UMKM di era digital bukan lagi harus besar untuk menjadi sukses. Cukup cerdas dalam memilih dan menggunakan alat, dan konsisten dalam membangun kepercayaan.
Gabung jadi Member ukmindonesia.id buat update terus info seputar UMKM dan peluang usaha!
Bertumbuh Lewat Cerita
Sahabat Wirausaha, dunia digital menyukai cerita. Pelanggan ingin tahu siapa kamu, dari mana produkmu berasal, dan mengapa mereka harus memilih kamu dibanding merek besar. Di sinilah kekuatan storytelling mengambil peran penting.
UMKM yang mampu menceritakan nilai dan proses usahanya dengan jujur akan lebih mudah membangun hubungan dengan pelanggan. Di media sosial, kisah tentang perjuangan, keunikan lokal, dan proses produksi menjadi konten yang disukai. Tak perlu kamera mahal, cukup dengan narasi yang tulus dan visual yang jujur.
Di Jakarta, seorang pengrajin lilin aromaterapi berhasil menembus pasar mancanegara hanya dengan mengandalkan Instagram. Ia mengunggah video proses pembuatan lilin, memperkenalkan wangi-wangian lokal, dan berbagi testimoni pelanggan. Sekarang, ia rutin menerima pesanan dari Singapura dan Australia.
Begitulah UMKM di era digital tumbuh: dari kisah, dari kedekatan, dan dari keberanian untuk mencoba hal baru.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Tentu saja, jalan ini tak selalu mulus. Masih banyak pelaku UMKM yang tertinggal karena keterbatasan akses atau usia yang tidak terbiasa dengan teknologi. Di sisi lain, masih ada persoalan regulasi, persaingan dengan produk luar, hingga ancaman penipuan digital.
Namun, semua ini bisa diatasi dengan pendekatan kolaboratif. Pemerintah perlu lebih agresif dalam memperluas pelatihan digital ke daerah-daerah. Platform teknologi perlu mempermudah onboarding bagi UMKM pemula. Sementara komunitas bisnis bisa menjadi ruang belajar dan bertukar pengalaman.
Karena UMKM di era digital bukan sekadar tentang transaksi online, tetapi tentang membangun ekosistem yang saling menguatkan.
Baca Juga: 7 Strategi Pemasaran Digital untuk UMKM di Tahun 2026
Penutup: Siapkah Kamu?
Sahabat Wirausaha, dunia sedang berubah. Dunia usaha tidak lagi bertumpu pada lokasi fisik, tetapi pada kecepatan adaptasi. Di era ini, keberhasilan tidak lagi ditentukan oleh seberapa besar modalmu, tetapi seberapa cepat kamu belajar dan berinovasi.
UMKM di era digital adalah peluang besar. Tapi seperti semua peluang, ia menuntut keberanian untuk melangkah, keuletan untuk belajar, dan ketulusan untuk terus melayani pelanggan.
Jangan tunggu besar untuk memulai digitalisasi. Mulailah dari yang kecil, dari yang bisa kamu lakukan hari ini.
Dan mungkin, seperti Suparmi dan Rian, kamu akan menemukan bahwa layar ponselmu bisa membuka dunia baru yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya.
Jika tulisan ini bermanfaat , silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.