Pada 2012, logo koperasi yang akrab kita lihat, yakni pohon beringin hasil kongres Tasikmalaya 1947, diubah oleh Menteri Koperasi.
Dalam Permen No. 02/Per/M.KUKM/IV/2012, tujuan perubahan itu untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat pada koperasi. Logo besutan Menteri Syarif Hasan itu berupa bunga teratai dengan warna dominan hijau.
Selepas tiga tahun, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menganulir penggunaan bunga teratai versi pemerintah. Surat bernomor SKEP/03/Dekopin-E/I/2015 menyatakan bahwa melalui Munas Dekopin 2014 gerakan koperasi kembali kepada logo pohon beringin.
Maju mundur perubahan logo itu memberi sinyal: gerakan koperasi gamang mendefinisikan diri. Satu sisi ada aspirasi tentang perubahan yang harus dilakukan agar adaptif dengan zaman. Di sisi lain, ada romantisisme sejarah koperasi yang harus dipertahankan.
David Airey, brand designer dunia menyebutkan, "A logoless company is a faceless man". Paralel dengan itu, logo yang buruk bak wajah yang tak sedap dipandang.
Lalu bagaimana menampilkan wajah koperasi Indonesia di zaman milineal agar sedap dipandang: beringin, teratai atau lainnya?
Masalah mental
Pengalaman "bunga teratai" kembali ke "pohon beringin" menggambarkan perubahan logo koperasi bukan sekadar persoalan teknis. Namun, sebaliknya termuat masalah mentalitas orang koperasi melihat dirinya: dulu, kini dan yang akan datang.
Ada keinginan untuk berubah namun juga ada keengganan, atau lebih tepatnya, ketakutan. Jadilah seperti poco-poco, maju-mundur.
Persoalan mental itu bisa dilihat dari beberapa anasir. Pertama, gerakan koperasi masih cenderung berorientasi pada masa lalu daripada masa depan. Misalnya saja UUD 1945 pascareformasi tak lagi menempatkan koperasi sebagai soko guru ekonomi. Alhasil berbagai fasilitas atau insentif dicabut oleh negara.
Bandingkan dengan era Orde Baru dan Orde Lama di mana koperasi jadi primadona. Alih-alih meratapi, harusnya hal itu menjadi momentum koperasi lepas dari hegemoni negara dan kembangkan mental berdikari sebagai gerakan masyarakat sipil yang genuine.
Kedua, gerakan koperasi cenderung berorientasi ke dalam (inward looking) dan melupakan yang di luar (outward).
Gejala inward looking itu seperti lambannya koperasi menyerap perkembangan teknologi digital, media sosial, Android based yang begitu luar biasa. Juga bisa dilihat dari model bisnis koperasi yang konservatif di mana 80 persen hingga 90 persen di antaranya merupakan koperasi simpan pinjam.
Sebagai perbandingan, di negeri lain berkembang aneka rupa koperasi, antara lain baby-child care, sekolah, kesehatan, salon, bengkel, hingga perumahan. Gerakan koperasi tanah air alpa belajar best practice koperasi yang beraneka jenis itu.
Ketiga, praktik yang tak tuntas koperasi sebagai perusahaan sosial. Satu sisi koperasi nampak sebagai paguyuban samben yang dikelola apa adanya dengan corporate culture rendah. Sisi lain koperasi muncul sebagai korporasi yang profit oriented.
Sebagai perusahaan sosial, koperasi melampaui dua model konvensional itu. Ia adalah perusahaan modern yang demokratis sekaligus etis.
Itulah tiga mental gerakan koperasi yang harus ditransformasi dalam spirit koperasi perubahan. Yang pertama, songsong masa depan dengan tangkas (agility strategic). Kedua, serap dan kolaborasikan energi di luar sebagai daya ungkit (leverage power).
Yang ketiga, mengaksentuasikan diri sebagai perusahan modern, demokratis dan etis (corporate culture).
Meremajakan logo
Spirit koperasi perubahan itu menunjuk semangat zaman informasi ke zaman kreatif. Alhasil logo "pohon beringin" yang lahir dan besar di zaman agraris ke industrial tak lagi mampu gambarkan suasana kebatinan era kreatif ini. Bagaimanapun logo "Pohon Beringin" dan bahkan "Bunga Teratai" secara obyektif juga gagal menjadi sebuah logo yang bagus.
David E. Carter, pakar branding dunia, memberi parameter logo yang bagus: unik atau khas, mudah dibaca, sederhana, mudah diingat, mudah diasosiakan dengan perusahaan dan mudah diaplikasikan di berbagai material cetak/ digital.
Dengan enam parameter dasar itu, "Pohon Beringin" hanya mencukupi pada sisi: unik dan kemudahannya untuk diasosiakan. Namun sayangnya tak mencukupi pada beberapa parameter fundamendal lainnya.
Bandingkan misalnya upaya yang ditempuh BUMN papan atas, yakni Pertamina untuk meremajakan logonya. Awalnya logo Pertamina berupa ikon "Kuda Laut" diubah menjadi tiga bidang warna: biru, hijau dan merah dengan model menyerupai huruf "P".
Dalam upayanya lakukan rebranding itu Pertamina menganggarkan Rp 3 miliar. Hasilnya, logo Pertamina menjadi berkelas setara dengan International Oil Company (IOC) negara lain.
Kita juga bisa belajar dari International Cooperative Alliance (ICA) yang lakukan peremajaan logo pada awal 2013.
Dengan menggelar sayembara yang diikuti 30 perusahaan branding dunia, ICA memenangkan logo besutan Calvert Worker Coop. Dalam laku kreatifnya, Calvert mengawali dengan riset di 86 negara dengan partisipan lebih dari 1000 aktivis koperasi di dunia. Jadilah ikon "COOP" dengan warna resmi ungu itu menjadi identitas trans-nasional gerakan koperasi dunia.
Berbagai detail logo: bentuk, ikon, warna, ornamen pelengkap dan lainnya tentu merupakan ekstraksi dari tujuan serta nilai-nilai perusahaan tersebut. Sehingga peremajaan logo tak perlu dikhawatirkan akan hancurkan khazanah historisitas koperasi Indonesia.
Sebaliknya, peremajaan logo merupakan sinyal dan pesan yang disampaikan kepada khalayak ramai tentang eksistensi dan keberdayaan Koperasi Indonesia di era milineal.
Monumen 100 tahun
Gerakan koperasi tanah air punya momentum bagus untuk satukan tekad songsong perubahan lewat Konggres Koperasi Ketiga di Makassar, Juli 2017 mendatang. Konggres yang bertema "Menyongsong Koperasi Indonesia 2045" dapat hasilkan sebuah monumen 100 tahun koperasi, yakni sebuah logo baru.
Teknisnya mudah saja, kongres amanatkan Dekopin/ Pokja untuk selenggarakan sayembara logo koperasi. Tujuannya bukan sekedar untuk hemat anggaran, namun menyerap sebanyak-banyaknya partisipasi komunitas kreatif yang ada di Indonesia.
Senyampang dengan itu proses sayembara menjadi sebuah laku sosialisasi-promosi gerakan koperasi pada khalayak luas.
Pada ujungnya tentu kita semua berharap logo Koperasi Indonesia akan tampil seseksi ikon "Wonderful Indonesia", sesederhana ikon "COOP" atau sepenuh warna Pertamina. Karena sejatinya logo yang baik akan menjadi sumber imajinasi, inspirasi serta menggerakkan masyarakat. Minimalnya sebuah gerak bibir: Saya suka, Saya suka!
Sumber:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perlunya Meremajakan Logo Koperasi Indonesia", https://ekonomi.kompas.com/read/2017/06/03/100000026/perlunya.meremajakan.logo.koperasi.indonesia. 3 Juni 2017
Foto: (AFP PHOTO/DANIEL LEAL-OLIVAS)
Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)
Editor: Bambang Priyo Jatmiko