Bila kita pinjam istilah Prof Rhenald Kasali, hari ini kita bergerak dari model owning economy ke arah sharing economy.

Model pertama mengisyaratkan pemilikan usaha secara perorangan, karenanya semua hal harus diselenggarakan secara mandiri. Berbagai investasi ditanggung sendiri dan bila untung juga dinikmati sendiri.

Model kedua, sharing economy, bekerja dengan mengolaborasikan aset-aset yang menganggur (idle asset) dari banyak orang.

Dengan pola dasar seperti itu, model kedua juga sering disebut collaborative economy. Hari ini model kedua berkembang di banyak sektor, mulai dari ritel, transportasi, jasa rental dan lainnya.

Model kedua, kata Prof Rhenald, lebih efisien daripada yang pertama. Dengan model bisnis nonkonvensional ditambah teknologi berbasis platform, model kedua membuat banyak pihak yang terhubung bisa menikmati kue ekonomi lebih bagus.

Prof Rhenald menyebut model itu seperti ekonomi gotong royong yang dikembangkan Moh Hatta, misalnya pada tulisan beliau berjudul "Ini Beda antara Sharing dengan Sharing Economy". Benarkah begitu?

Platform sebagai meja

Mari kita bayangkan sharing economy platform sebagai sebuah meja. Sebagai contoh, sebutlah Uber, Grab, dan Go-Jek yang sediakan hamparan bagi para pihak yang beraktivitas di atasnya: pengemudi, pengguna dan pelaku usaha kecil menengah (UKM).

Meja platform berperan sebagai daya dukung dari aktivitas bisnis yang mempertemukan supply dan demand. Sederhananya kita sebut sebagai market place.

Atas fasilitasi itu, pemilik meja peroleh pendapatan dengan pola fee based income. Artinya, makin banyak pihak yang berada dan beraktivitas di atas meja, makin besar fee yang diperoleh pemilik meja. Pola yang seperti itu kemudian dibaca oleh Dr Revrisond Baswir sebagai brokerage economy.

Dalam berbagai tulisan, sayangnya Prof Rhenald hanya mencukupkan analisisnya pada apa-apa yang berada di atas meja: model bisnis, pihak-pihak yang terhubung, teknologi yang dipakai, pola big data analytic dan seterusnya.

Sebaliknya, tidak pernah menyoal siapa pemilik meja dan apa-apa yang berada di bawah meja. Sebutlah bahwa meja nyatanya hanya dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang tertentu.

Adapun apa yang berada di bawahnya adalah para venture capitalist yang menggerojok modal sampai triliunan rupiah.

Bila demikian, menyamakan sharing economy berbasis platform dengan ekonomi gotong royongnya Moh Hatta tentu tak bisa diterima.

Model ekonomi gotong royong Hatta kaprahnya kita sebut sebagai koperasi atau co-op. Ciri utamanya terletak pada sisi demokratisnya, di mana meja dibuat oleh dari dan untuk kepentingan semua orang.

Francesca Bria, penasihat European Commission on Future Internet and Smart Cities Policy, berbeda pandangan dari Prof Rhenald. Ia secara tajam menyoal siapa pemilik meja, dari mana modal untuk membuat meja serta kemana nilai lebihnya.

Dalam portal Platform.coop, perempuan itu menulis, "We must articulate an alternative to platform capitalism. It is a matter of democracy."

Berbeda dari Prof. Rhenald, Bria menukik tajam bagaimana platform yang ada saat ini kapitalistik dan karenanya tak demokratis.

Alternatif yang Bria dan kawan-kawannya tawarkan adalah dengan membuat meja yang dapat dimiliki semua orang. Sebuah platform cooperativism sebagai alternatif terhadap platform capitalism.

Saat ini ada sedikitnya 217 co-op platform di seluruh dunia. Sebagai alternatif dari Uber, misalnya mereka buat LibreTaxi, alternatif dari AirBnB mereka bangun FairBnB, dalam crowdfunding mereka inisiasi Seedbloom dan banyak ragam lainnya yang semuanya berbasis co-op.

Cooperative economy

Sharing economy telah mengajarkan masyarakat bagaimana berbagi sumber daya hasilkan ekonomi yang lebih efisien. Dengan teknologi yang ada saat ini, pola sharing menjadi lebih mudah.

Namun, model sharing economy yang ada hari ini belum sepenuhnya demokratis. Platform hanya dimiliki orang tertentu, karenanya pihak-pihak yang terhubung tak selamanya berjalan simetris, yang saya ulas di kolom sebelumnya, “Kotak Pandora Sharing Economy”.

Model sharing economy perlu didorong maju sampai sepenuhnya sumberdaya itu terbagi (shared). Sebagai contoh, bayangkan bila Gojek bertransformasi menjadi Multistakeholder Worker Co-op atau Koperasi Pekerja Multi Pihak.

Sekedar ilustrasi dengan pola yang ada saat ini, kepemilikan Gojek bisa dibagi kepada pengemudi dan pengguna. Dengan kecanggihan platform, jutaan pengguna Gojek dapat dengan mudah turut menjadi pemilik platform itu. Tinggal pencet ini dan itu, jadilah pemilik!

Artinya, Nadiem Makarim tak perlu lagi repot-repot cari modal ke para venture capitalist. Masyarakat, dalam arti pengemudi dan pengguna yang banyak itu, bisa patungan memodalinya. Karena pertemukan langsung supply dan demand dalam satu atap sebagai worker-owner dan user-owner, harga layanan dapat mereka tetapkan secara berkeadilan. Ujungnya, fair price bagi semua pihak.

Dengan model itu, strategi predatory price di mana harga layanan sangat murah hasil subsidi modal venture capital bisa dihilangkan. Persaingan usaha tetap berjalan dengan sehat tanpa drama David vs Goliath.

Masing-masing pemilik, worker-owner dan user-owner dapat berembug soal harga yang paling adil atas layanan. Berbagai biaya produksi layanan dihitung bersama tanpa harus korbankan pengemudi dan menangkan konsumen. Mulai dari asuransi, perawatan kendaraan, biaya komunikasi dan lain sebagainya. Sampai ujungnya, fee yang diperoleh atas platform dikembalikan kepada semua pemilik.

Agar sampai pada evolusi puncaknya, dimulai dari owning economy ke sharing economy dan berujung pada cooperative economy, kita perlu tanamkan azas demokrasi di dalamnya.

Bila kita suka demokrasi dalam ruang politik, eloknya kita juga menerima modus demokrasi bekerja di ruang ekonomi. Dimana sumberdaya dimiliki dan dikendalikan oleh, dari dan untuk semua pihak. Sebelumnya saya ulas pendek dalam kolom “Menyempurnakan Sharing Economy”.

Redistributif dan berkelanjutan

Joseph Stiglitz dalam International Cooperative Summit di Quebec tahun 2016 lalu menyatakan cooperative economy dapat berperan efektif sebagai instrumen trickle-down effect.

Stiglitz melihat korporasi swasta tak dapat diharapkan lakukan redistribusi kue ekonomi. Hasilnya ketimpangan terjadi di seluruh belahan bumi seperti temuan Thomas Piketty tahun 2013 silam.

Platform yang bersendi para venture capitalist tentu saja tak mampu lakukan redistribusi juga. Sebaliknya makin melebarkan jurang ketimpangan.Selain redistributif, cooperative economy juga berkelanjutan (sustain).

Claudia Sanchez Bajo dalam Capital and The Debt Trap (2011) menemukan bahwa perusahaan koperasi (co-op) cenderung bertahan lebih lama dibanding swasta. Setelah tiga tahun beroperasi daya tahan koperasi rata-rata mencapai 75 persen, sedangkan swasta hanya 48 persen.

Tentu saja daya tahan itu makin jomplang bila kita bandingkan dengan start up business, termasuk yang berbasis platform, yang tingkat kegagalannya sampai 90 persen.

Masa depan akan dipenuhi ketidakpastian dan turbulensi. Analis McKinsey Global Institute (2016) memberi peringatan, 50 tahun terakhir ini kita menikmati masa pertumbuhan yang mengagumkan. Namun 50 tahun mendatang, "The era of easy growth is over".

Dalam ramalan masa depan yang seperti itu, cooperative economy lebih menjanjikan karena terbukti berdaya tahan. Yang demikian itu, old but gold, Prof!



Sumber:

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dari "Sharing Economy" ke "Cooperative Economy"", https://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/23/070203126/dari-sharing-economy-ke-cooperative-economy. 23 Oktober 2017

Foto: Ilustrasi (Oik Yusuf/ Kompas.com)

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Editor: Bambang Priyo Jatmiko