Pada agenda suksesi kepemimpinan Banyumas ini, saat ini momen yang pas untuk tautkan gerakan dari bawah dengan dukungan kebijakan pemimpin yang baru. Harapannya agar muncul terobosan dalam tata kelola daerah yang lebih demokratis: layanan publik dan tak ketinggalan, ekonomi masyarakatnya. Mengembangkan agenda itu di Banyumas bukanlah hal yang ahistoris. Pasalnya, kita punya jangkar historis yang cukup.

Pada mulanya adalah Raden Aria Wiriaatmadja yang menggagas Bank Priyayi sebagai alternatif dari rentenir. Praktik itu muncul pada tahun 1896 yang lalu. Kemudian embrio itu disempurnakan oleh Asisten Residen de Wolff van Westerrode menjadi cikal bakal koperasi pertama di Indonesia. Yang menarik adalah, gagasan genuine itu lahir di tanah Banyumas. Tak lahir di Solo, Surabaya atau bahkan Batavia, tempo dulu. Namun, di Purwokerto.

Pokok gagasannya adalah mengejawantahkan–apa yang oleh para pendiri republik ini–disebut sebagai demokrasi ekonomi. Wujud konkret kelembagaannya saat itu berupa koperasi. Dalam tonggak itu, Banyumas atau Purwokerto mempunyai berkah kesejarahan (historical blessing) yang tak dipunyai kota/kabupaten lain. Tentu saja, berkah itu bisa dikembangkan menjadi praktik bagus (best practice) untuk direplikasi di kota/kabupaten lain di Indonesia.

Kota Koperasi

Tepatnya dua tahun lalu agenda Purwokerto Kota Koperasi telah diamplifikasi lewat media ini juga. Sampai sekarang, gerakan koperasi Banyumas masih bersetia dan berikhtiar mewujudkannya. Memang butuh nafas panjang dan dengan banyak detail langkah lainnya. Dengan mengambil ancangan lima tahun, mimpi Purwokerto Kota Koperasi (www.purwokertokotakoperasi.id) ditargetkan tercapai pada tahun 2022 mendatang.

Indikator capaian itu seperti ketika jumlah anggota koperasi meningkat. Yakni paling tidak bila 70 persen warga Banyumas menjadi anggota dan pemilik koperasi yang bagus. Ya, koperasi yang bagus, bukan koperasi yang berpraktik sesat. Indikator lainnya kualitas koperasi di Banyumas membaik. Salah satu parameternya adalah layanan usahanya lebih prima serta cukupan modal internalnya tinggi.

Sebagai gambaran, modal sendiri koperasi di Banyumas sangat rendah, hanya di angka 9,25 persen (2017). Sebagai pembanding Kabupaten Purbalingga 46,7 persen, Cilacap 45,6 persen dan Banjarnegara di angka 48,3 persen pada tahun yang sama. Berbanding terbalik, volume modal koperasi di Banyumas tertinggi dibanding seluruh koperasi di Jawa Tengah, angkanya mencapai Rp 6 triliun. Disusul oleh Kota Pekalongan di angka Rp 4,9 triliun dan Kota Semarang Rp 4,6 triliun.

Artinya, agenda kota koperasi harus menjawab dua hal sekaligus: Pertama adalah perbaiki kondisi koperasi menjadi lebih baik. Kedua adalah gerakan koperasi berikan kontribusi nyata untuk Banyumas. Soal kontribusi kepada Banyumas ini parameter yang bisa kita gunakan seperti sumbangsih pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan serapan tenaga kerja. Dari dua parameter itu, nampaknya jomplang. Parameter yang dipakai saat ini masih cenderung bisa internal, yakni Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada anggota.

Padahal, parameter Sisa Hasil Usaha boleh dibilang parameter mikro organisasi. Yakni hanya menjawab kebutuhan anggota koperasi semata. Kita butuh juga membangun target meso serta makro. Nah, kontribusi dan serapan tenaga kerja bisa kita letakkan di bagian makro organisasi. Bila makro tercapai, pasti yang mikro pun tercapai. Saya pikir Dewan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Banyumas dan Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan UKM perlu duduk bersama untuk sepakati indikator-indikator tersebut.

Tiga Agenda Strategis

Ada tiga agenda yang menurut saya perlu dibicarakan oleh Dekopinda dan Pemerintah Daerah. Pertama adalah perlunya kita lakukan konsolidasi pasar bersama koperasi di Banyumas. Saat ini definisi pasar koperasi analog dengan anggota tiap koperasi. Pasar Koperasi A adalah anggotanya saja. Begitupun pasar Koperasi B terbatas pada anggotanya semata. Alhasil, secara umum skala ekonomi koperasi Banyumas tidak beranjak signifikan.

Dengan platform teknologi finansial yang ada saat ini, konsolidasi pasar bersama itu menjadi mudah dilakukan. Bayangkan anggota Koperasi A mengambil tabungannya di Koperasi B. Anggota Koperasi B belanja di anggota Koperasi C. Anggota Koperasi A, angsur pinjaman di kantor Koperasi D. Dan seterusnya. Efeknya adalah layanan prima koperasi bisa terwujud tanpa bergantung pada jarak rumah dengan kantor koperasi. Kuncinya, platform teknologi finansial. Dan teknologi itu sudah tersedia. Dengan makin menjamurnya ponsel pintar serta jaringan internet, hal itu menjadi masuk akal.

Konsolidasi pasar bersama koperasi akan tingkatkan skala ekonomi koperasi secara umum. Sebabnya, berbagai kebutuhan anggota dapat dilayani oleh koperasi melalui koperasi lain. Interkoneksi layanan antar koperasi itu bisa dikenakan biaya (fee). Bagi kedua koperasi itu menjadi pendapatan berupa fee based income. Skema itulah yang dipakai industri perbankan saat ini.

Agenda kedua adalah koperasi-koperasi besar di Banyumas perlu lakukan pemekaran kelembagaan (spin off). Koperasi karyawan atau KPRI atau bahkan KUD yang sudah establish puluhan tahun bisa lakukan pemekaran ke sektor lain. Misalnya unit simpan pinjam dimekarkan menjadi satu Koperasi Simpan Pinjam (KSP) mandiri. Sebaliknya, KSP besar dapat mekarkan diri dengan mendirikan koperasi jenis lainnya, sektor riil atau jasa.

Bila pemekaran itu dilakukan, dampak strategisnya adalah layanan ke anggota lebih prima karena masing-masing usaha diselenggarakan secara terpisah, fokus dan profesional. Yang kedua adalah pengembangan basis anggota dapat terus terjadi. Hal ini bisa menjadi jawaban bagi koperasi-koperasi fungsional seperti Koperasi Karyawan, Koperasi Pegawai Negeri, Koperasi Guru dan lain sebagainya.

Pemekaran ini juga bisa mendorong lahir dan tumbuhnya model-model koperasi baru. Misalnya koperasi pangan, koperasi produksi, koperasi konstruksi, koperasi asuransi dan model lainnya. Dengan membuka koperasi baru, apalagi bila berbentuk koperasi pekerja, maka akan terjadi serapan tenaga kerja yang signifikan. Contohnya koperasi jasa kebersihan, koperasi pertukangan dan seterusnya.

Agenda ketiga adalah gerakan koperasi harus organis dengan kondisi yang ada saat ini. Sebagai contoh bagaimana koperasi merespons adanya Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes. Ada dua respons gerakan koperasi terkait BUMDes, pertama merespons dengan sentimentil yang berujung kompetisi. Kedua merespons secara adaptif yang berujung pada kolaborasi.

Tentu saja, apa yang saya usulkan adalah gerakan koperasi harus berkolaborasi dengan BUMDes. Bila kedua model itu sama-sama bekerja dalam kredo bisnis sosial, maka kita harus berjabat tangan. Toh, ujung keduanya bermuara pada diktum yang sama, demokrasi ekonomi. Kolaborasi antara koperasi dengan BUMDes itu akan tingkatkan daya ungkit pembangunan di Banyumas.

Dekopinda, Dinas Koperasi, Bappeda, dan Forum Bumdes Banyumas perlu duduk bersama untuk bicarakan agenda kolaborasi tersebut. Misalnya saja menggagas sebuah mimpi bersama membangun jaringan ritel koperasi dan BUMDes terpadu. Dalam kalkukasi bisnis kita harus taruh variabel skala ekonomi, maka bila seluruh koperasi dan BUMDes bersatu, skala itu sudah cukup untuk membangun Distribution Center (DC) yang dimiliki bersama. Ruang dan titik temu itu harus dibuat untuk memulai ikhtiar kolaboratif.

Pemimpin Baru

Praktik yang ada saat ini harus dilihat Bupati terpilih sebagai modalitas bagus untuk membuat terobosan. Paling tidak sebuah agenda pembangunan ekonomi yang berpusat pada masyarakat luas. Diktum itu kita kenali sebagai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Saat ini ada dua kelembagaan yang sudah tersedia: koperasi dan BUMDes.

Sebagai seorang konduktor daerah, Bupati perlu lakukan orkestrasi berbagai pihak sehingga kolaborasi menjadi mungkin. Pada gilirannya yang memperoleh manfaat adalah masyarakat atau warga Banyumas. Di saat bersamaan PDRB dan serapan tenaga kerja akan meningkat. Efeknya, secara linier harusnya angka kemiskinan dan pengangguran di Banyumas menurun.

Menyatukan urusan tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil menengah dalam satu dinas itu sudah tepat. Tinggal ketiga urusan itu harus diracik dengan pas sehingga padu. Di situlah peran bupati sebagai seorang koki ditunggu tangan dinginnya. Sekali lagi, kita tak berangkat dari ruang kosong, saat ini sudah banyak modalitas. Kepemimpinan yang baik akan akselerasi capaiannya.


Sumber:

https://satelitpost.com

Artikel sudah diterbitkan sebelumnya di Harian Satelit Post, 26 Juni 2018.

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)