Maklumat International Cooperative Alliance (ICA) 1 Juli 2017 kemarin bagus untuk kita resonansikan. Dalam rilisnya, ICA menyatakan "Co-operative ensure no one is left behind" sebagai tema Hari Koperasi Internasional ke-95. Koperasi wajib memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang.
Tentu saja siapa yang sering tertinggal adalah kelompok-kelompok miskin, marginal, dan minoritas. Koperasi, katanya, harus hadir di tengah-tengah mereka.
Sebagai sebuah perusahaan, visi koperasi merupakan model perusahaan masa depan. Yakni, perusahaan yang menempatkan modus demokrasi sebagai fundamen tata kebijakannya dan berorientasi pada keadilan akses serta distribusi kekayaan.
Menurut ICA, dalam rilis itu, koperasi sebagai perusahaan berbasis orang (people-centered) tak perlu gemar memupuk modal. Jauh lebih penting adalah memastikan kekayaan koperasi dapat diakses anggotanya. Imbasnya, kesejahteraan anggota meningkat.
Dengan skema seperti itu, koperasi hadir sebagai jawaban atas ketimpangan yang melanda dunia dewasa ini.
Thomas Piketty (2013) dalam bukunya Capital in the Twenty First Century, menyatakan, konsentrasi kekayaan membuat ketimpangan menjadi akut. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, terangnya.
Kondisi serupa juga dialami Indonesia. Ketimpangan masih menganga dari 0,402 (2015) turun tipis menjadi 0,394 (2016) dalam Rasio Gini.
Cukup beralasan bila di Tanah Air perayaan Hari Koperasi Nasional ke-70, 12 Juli lalu, mengambil tema "Koperasi Kuat Menjamin Pemerataan Ekonomi Mewujudkan Keadilan Sosial".
Pemerataan ekonomi dan keadilan sosial menjadi gravitasi agenda bersama dengan titik toloknya, koperasi yang kuat. Sehingga sebelum sampai pada ujung keadilan sosial, syarat yang harus ada adalah bagaimana kita bisa membuat koperasi menjadi kuat.
Koperasi kuat
Kompas (9/7/2017) dalam headline-nya tempo lalu mengisahkan beberapa koperasi besar, salah satunya CU Lantang Tipo di Pontianak. Data per Juni 2017 menyebut anggotanya mencapai 182.000 orang dengan 50 kantor cabang dan aset mencapai Rp 2,6 triliun.
Sebenarnya banyak credit union (CU) di Indonesia yang memiliki capaian serupa. Bila kita pakai CU sebagai benchmark, kita perlu tahu apa yang membuat CU kuat di tengah kompetisi sektor keuangan yang digerojok pemain baru dari dalam dan luar negeri.
Sudah kaprah diketahui moto gerakan CU di Indonesia, "Dimulai dengan pendidikan, berkembang melalui pendidikan dan dikontrol oleh pendidikan."
Pendidikan merupakan faktor kunci yang membuat CU besar dan kuat. Hal itu mengindikasikan CU bekerja sebagai model dan dengan modus berbasis orang. Karena yang dikelola orang, maka pendidikan menjadi syarat wajib agar efektif.
Contoh lain juga diterapkan CU Tyas Manunggal, Bantul. Menyadari pentingnya pendidikan bagi anggota, mereka mengalokasikan dana pendidikan sebesar 300 juta pada 2016 lalu untuk 2.500 anggotanya. Pendidikan yang berjalan efektif hasilkan kesadaran anggota yang bagus, indikatornya: perasaan handarbeni (memiliki) pada koperasinya.
CU Tyas Manunggal hanya memiliki 15 orang karyawan dengan satu kantor layanan. Namun, capaian itu didukung oleh 45 kader anggota, 3 laki-laki, dan sisanya perempuan.
Meski Tyas Manunggal memberikan insentif tertentu kepada mereka, kepeloporan kader itu muncul dari kesadaran handarbeni tadi.
Hasilnya, kader-kader anggota menjadi pelopor aktif di lingkungan sekitarnya untuk berkoperasi lewat CU. Selain itu juga berperan dalam merawat kelompok anggota melalui kunjungan sapa, collecting simpanan-angsuran, dan peran-peran kepeloporan lainnya.
Dengan anggota yang terdidik dan handarbeni, anggota bisa ikut mengawasi jalannya tata kelola koperasinya. Mereka dididik bagaimana cara membaca neraca, cara menghitung besaran jasa dan angsuran, serta agar aktif menyampaikan kritik dan saran dalam rapat anggota.
Ujungnya, seperti CU Tyas, seluruh indikator PEARLS terlampaui. Dengan rendah hati pengurusnya bilang, "Saat kami sibuk memikirkan orang, ternyata dengan sendirinya berbagai indikator keuangan ikut naik."
Spiritualitas koperasi
Pendidikan merupakan sarana mencapai kondisi atau tahap pemahaman tertentu. Adapun isinya adalah pengetahuan teknis serta nilai spiritual tertentu.
Di luar tradisi CU, tak sedikit koperasi lain berkembang secara stagnan. Yang membedakan keduanya adalah nilai spiritualitasnya. CU mengajarkan bagaimana berkoperasi merupakan bentuk pelayanan kemanusiaan bagi kelompok marginal. Spirit itu membuat orang-orangnya memiliki determinasi serta militansi tinggi.
Dengan menjangkarkannya pada misi pelayanan bagi kelompok marginal membuat CU terbuka bagi semua orang, lebih-lebih pada kelompok yang left behind.
Model kelembagaan ini yang boleh jadi berbeda dengan koperasi-koperasi lain yang cenderung beroperasi di kelompok tertentu saja. Hasilnya alih-alih mewujudkan pemerataan, koperasi semacam itu justru menjadi modus konsentrasi kekayaan segelintir atau kelompok orang.
Maklumat ICA agar koperasi memastikan kelompok-kelompok marginal terlayani dengan baik bisa menjadi jangkar spiritualitas baru di tengah kondisi sosio-ekonomi yang penuh turbulensi.
Maklumat itu semacam pengingat (reminding) dan memanggil ulang (recalling), agar koperasi kembali pada jati dirinya. Wujud konkretnya adalah bertambahnya statistik anggota koperasi khususnya dari kelompok marginal. Itulah sejatinya kinerja sosial koperasi sebagai sebuah perusahaan kolektif.
Aksi no one left behind
Bertemu di tapal batas no one left behind, seluruh koperasi harus melakukan aksi yang sama. Koperasi-koperasi mapan, seperti KSP, KPRI, Kopkar dan lainnya, perlu merestrukturisasi kelembagaannya agar terbuka bagi semua orang.
Masih banyak orang yang belum menerima layanan koperasi yang mana hal itu bisa dibaca sebagai perluasan "segmen pasar" baru. Di sisi lain, bisa dibaca sebagai upaya mempertinggi kinerja sosialnya.
Hasilnya, koperasi-koperasi itu akan memperoleh skala dari sisi permintaan dan penawaran. Demikian pula dari sisi sosial dan ekonomi.
Tentu saja, anggota-anggotanya perlu dididik dan disadarkan tentang misi sosial koperasi yang par excellence. Sehingga, penambahan anggota tidak dibaca secara negatif sebagai bertambahnya angka pembagi kue sisa hasil usaha, tetapi sebaliknya.
Dalam tahun-tahun mendatang, spirit itu harusnya bisa membuat statistik anggota koperasi meningkat. Sekat dan kepentingan sempit kelompokisme bisa berkurang dan secara umum koperasi menampilkan dirinya sebagai organisasi ekonomi sosial yang humanis. Tentu tidak mudah, namun bisa diupayakan.
Sumber:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Aksi "No One Left Behind" Koperasi", http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/13/160858526/aksi-no-one-left-behind-koperasi?page=3. 13 Juli 2017
Foto: (KOMPAS/DAHLIA IRAWATI)
Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)
Editor: Laksono Hari Wiwoho