Dalam sebuah Lokakarya Inisiasi Koperasi Buruh yang diselenggarakan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang Bekasi, 13-14 September 2017 lalu, saya memperoleh gambaran bagaimana ekonomi buruh berlangsung.

Bagi pekerja tetap, gaji yang diterima sampai Rp 6 juta setelah ditambah lembur (over time). Gaji itu dibelanjakan untuk bayar kos senilai Rp 600.000.

Kemudian angsur kendaraan sampai 1 juta rupiah. Kebutuhan dapur/ makan mencapai Rp 1,7 juta. Rokok, bensin, pulsa, listrik, air dan sampah bisa mencapai Rp 1,2 juta. Belum ditambah dengan jajan anak, susu, kebutuhan sekolah mencapai Rp 600.000 tiap bulan. Unsur lainnya seperti cicilan utang (perlengkapan rumah/ elektronik/ dll) bisa mencapai Rp 1 juta. Kebutuhan lain-lain seperti arisan, asuransi, kondangan mencapai Rp 600.000 rupiah.

Total pengeluaran bulanannya dapat mencapai Rp 6,7 juta, yang artinya defisit. Dari beberapa sampel perserta, tingkat defisit rumah tangga buruh bisa mencapai Rp 1 juta.

Tingkat defisit biasanya tergantung pada jenis tempat tinggal (biaya kos atau cicilan rumah), cicilan alat elektronik, jenis kendaraan yang dimiliki dan gaya hidup.

Sebagai perbandingan, dalam website Numbeo.com, situs penyedia basis data gaji rata-rata pekerja seluruh dunia, untuk wilayah ASEAN kita bisa mengelompokkannya menjadi tiga.

Kelompok pertama, negara Singapura dengan gaji rata-rata perbulan setelah pajak mencapai Rp 42 juta disusul Brunei Rp 20 juta, kemudian Malaysia Rp 10,8 juta.

Di kelompok kedua, ada Thailand dengan gaji rata-rata setelah pajak Rp 5,7 juta, kemudian Indonesia di angka Rp 5 juta, Vietnam Rp 4,4 juta dan Filipina Rp 4 juta.

Di kelompok ketiga ada Laos Rp 2,8 juta dan Kamboja Rp 2,7 juta yang angkanya masih di kisaran dua juta rupiah.

Lewat website itu, kita bisa mengetahui detail pengeluaran biaya hidup (living cost) rata-rata pekerja di berbagai negara.

Khusus konteks Indonesia, data yang diperbaharui per September 2017 itu mengonfirmasi dua hal: rata-rata gaji dan biaya hidup bulanan di angka Rp 5 juta.

Ekonomi yang defisit

Lewat lokakarya itu, ditemukan fakta menarik bahwa buruh yang bergaji Rp 5 juta dan Rp 6 juta rupiah sama-sama alami defisit.

Untuk menutupnya mereka mengandalkan beberapa akses lembaga keuangan seperti pinjam rekan kerja, koperasi karyawan, BPR dan bahkan rentenir.

Ironisnya, kadang kartu ATM buruh yang bersangkutan digunakan sebagai jaminan untuk tutup lobang dan gali lobang.

Fakta lain adalah bahwa sebagian besar buruh tak miliki simpanan atau tabungan. Mereka beranggapan toh untuk mengangsur hutang saja kerepotan, apalagi harus menyisihkannya untuk ditabung.

Sehingga, praktis, aset yang mereka punya hanya kendaraan, perlengkapan rumah atau alat elektronik dan bila ada, rumah. Sayangnya, sebagian besar masih tinggal dikontrakkan atau indekos.

Defisit ekonomi buruh itu disebabkan tingkat upah yang cenderung tergerus oleh inflasi dan sebagiannya adalah gaya hidup. Artinya perjuangan buruh menuntut kenaikan upah akan terkoreksi kembali dengan naiknya berbagai biaya kebutuhan hidup.

Sedangkan gaya hidup tak bisa dinafikan juga menyumbang angka defisit yang cukup besar. Misalnya saja aspirasi untuk memiliki mobil atau motor, ponsel terkini dan juga kebutuhan waktu senggang (leisure time).

Soal gaya hidup, Kompas.com pernah merilis berita tentang buruh yang mengendarai Ninja Kawasaki saat demonstrasi May Day tahun 2013.

Berita itu sontak menjadi bahan pergunjingan kelas menengah di Indonesia. Mayoritas melihatnya secara negatif.

Women Research Institute dalam laman resminya www.wri.or.id memberikan ulasan kritis mengapa gaya hidup buruh cenderung konsumtif.

Dengan meminjam teori Homi K. Bhabha, gaya hidup buruh yang seperti itu dapat dipahami sebagai upaya mimikri atau peniruan.

Mimikri itu dilakukan oleh seorang individu yang lebih rendah status sosial-ekonominya merujuk pada gaya hidup kelompok yang lebih tinggi statusnya.

Buruh melakukan mimikri secara tak sadar sebagai bagian dari pengaburan kelas sosialnya. Hasilnya, mereka merasa lebih nyaman dan aman.

Baik karena kebutuhan hidup yang makin naik ataupun gaya hidup, ekonomi buruh yang defisit itu harus dicari solusinya. Lantas bagaimana koperasi dapat berperan di dalamnya?

Memoderasi biaya hidup

Saat ini serikat-serikat buruh di berbagai kota seperti Karawang, Bekasi, Bogor dan lainnya sedang berikhtiar membangun koperasi konsumen.

Keberhasilan NTUC Fairprice Singapore telah menginspirasi mereka. Fairprice merupakan koperasi terbesar di Singapura yang menguasai 65 persen pangsa pasar sektor ritel di sana.

Dengan 100 supermarket dan lebih dari 50 gerai swalayan, mereka dapat memoderasi biaya hidup masyarakat.

Kisah sukses Fairprice tak bisa dipisahkan dari gerakan buruh di sana. Pada 1973 Singapore Industrial Labour Organisation dan Pioneer Industries Employees Union merger menjadi Singapore Employees Co-operative.

Kemudian pada 1983, alih-alih berkompetisi dengan NTUC Welcome yang berdiri lebih dulu, mereka memilih merger dan berubahlah nama menjadi NTCU Fairprice Co-operative.

Kisah sukses itu juga diamplifikasi Menteri Koperasi AAGN Puspayoga pada peringatan May Day di Karawang 2017 lalu dengan launching Tomikomart.

Menteri Koperasi menyampaikan agar serikat-serikat buruh di tanah air bisa mencontoh capaian sukses NTUC Fairprice Singapore.

Swalayan koperasi yang dimiliki buruh seperti 20 gerai Tomikomart di Karawang berfungsi memoderasi biaya hidup sehari-hari. Modusnya adalah dengan lakukan efisiensi kolektif hasil dari proses joint buying atau belanja kolektif buruh.

Selain memperoleh harga yang lebih kompetitif, koperasi konsumen seperti itu juga bisa memberikan Sisa Hasil Usaha (SHU) di akhir tahun. Tentu saja seturut dengan skala dan tingkat produktivitas yang dihasilkan.

Dalam pola itu, serikat buruh dapat lakukan empat strategi. Pertama adalah dengan membangun koperasi konsumen di tiap pabrik yang belum memiliki koperasi.

Kedua bagi pabrik yang sudah memiliki koperasi, mereka didorong untuk mendirikan toko atau swalayan.

Ketiga dengan mendirikan satu primer koperasi konsumen untuk seluruh buruh tanpa bedakan asal pabrik.

Keempat dengan mendirikan sekunder koperasi konsumen yang mengintegrasikan primer-primer di berbagai pabrik. Empat pilihan strategi itu dapat dipilih secara kontekstual sesuai dengan kondisi yang ada.

Secara umum semua strategi itu perlu mempertimbangkan pendirian layanan usaha (toko atau swalayan dan lainnya) agar mudah diakses buruh.

Sehingga, misalnya saja, sebuah toko atau swalayan tak harus berada di dalam pabrik bila tidak memungkinkan. Justru sebaliknya, bisa dibangun di basis-basis permukiman dimana sebagian besar buruh tinggal.

Dengan cara begitu, tingkat partisipasi anggota dapat maksimal. World Bank dalam penelitiannya tahun 2015 telah memetakan daya jangkau layanan koperasi maksimal 5 km.

Pada jarak 0-1 km daya jangkau mencapai 43 persen, 1-5 km daya jangkaunya menurun di angka 38 persen dan di atas 5 km daya jangkaunya hanya 19 persen. Prinsipnya, makin dekat koperasi, makin aktif anggota bertransaksi.

Merencanakan siklus hidup

Selain membangun layanan konsumsi untuk memoderasi biaya hidup, koperasi juga perlu mengembangkan layanan simpan-pinjam. Layanan simpan-pinjam itu harus dipahami dengan cara berbeda: simpan-pinjam bukan sekedar uang.

Sebaliknya layanan simpan-pinjam koperasi merupakan wahana bagi buruh untuk merencanakan tahap kehidupannya. Dalam cara pandang seperti ini, koperasi nampak jelas bedanya dengan lembaga keuangan lain.

Koperasi benar-benar muncul sebagai perhimpunan orang (people based association) sebagaimana jati dirinya yang dimaklumatkan secara internasional (ICIS, 1995).

Melalui serangkaian pendidikan melek keuangan (financial literacy), buruh didorong rutin menabung untuk persiapkan tahap-tahap kehidupannya. Misalnya, bagi yang telah memiliki anak, mereka harus memiliki Simpanan Pendidikan untuk anak-anak mereka.

Mereka juga harus memiliki Simpanan Darurat untuk persiapkan berbagai hal yang tak diduga. Oleh karenanya, layanan ini harus utuh antara layanan simpanan dan pinjaman. Sehingga yang ada selama ini dimana layanan cenderung fokus pada pinjaman dan alpa kembangkan simpanan, harus dikoreksi.

Besar-kecilnya gaji menjadi tidak revelan bila buruh diperkenalkan dengan rumus yang baru. Rumus lama berbunyi pendapatan dikurangi konsumsi sama dengan tabungan. Itulah yang membuat buruh tak memiliki simpanan atau tabungan.

Bagaimana menabung bila setiap bulan defisit. Rumus baru yang harus dibudayakan adalah pendapatan dikurangi tabungan sama dengan konsumsi. Dengan cara begitu tabungan adalah dana yang dialokasikan secara khusus tiap bulan sebelum habis dikonsumsi.

Dengan mengembangkan budaya seperti itu, gejala gaya hidup konsumtif buruh dapat dirubah.

Serikat atau koperasi-koperasi buruh dapat belajar praktik teladan dari gerakan Koperasi Kredit (Credit Union) bagaimana pendidikan pengelolaan rumah tangga efektif dilakukan di anggota-anggotanya.

Hasilnya adalah angsuran utang anggota menjadi lancar, aset bertambah, serta volume usaha anggotanya meningkat.

Menggenapi upaya itu, koperasi perlu mengembangkan berbagai pendidikan keterampilan. Pendidikan itu bisa ditujukan pada keluarga anggotanya.

Misalnya saja, istri buruh dapat dilatih untuk memulai usaha kecil di rumahnya, baik online maupun offline.

Dengan cara begitu, ada pendapatan lain-lain yang bisa menggenapi defisit yang selama ini terjadi.

Contoh riilnya seperti yang dilakukan Koperasi Buruh PT NSK Bekasi, dimana istri-istri buruh membuat aneka kudapan, dibawa saat suami berangkat kerja dan dijual di kafetaria koperasi.

Sedang bagi si buruh, pendidikan bertujuan untuk membekali kecakapan wirausaha jelang masa pensiun.

Dengan database yang bagus, koperasi dapat identifikasi buruh yang 3-5 tahun lagi akan pensiun. Merekalah anggota-anggota yang dididik untuk menyiapkan diri berwirausaha dengan modal dari uang pesangon perusahaan.

Namun perlu juga dipahami, wirausaha adalah soal mentalitas. Butuh keberanian untuk mengambil resiko atas naik-turunnya usaha.

Dalam kasus yang seperti itu, koperasi dapat fasilitasi skema investasi anggota yang mutual bagi kedua belah pihak. Tentu saja dengan menyaratkan di dalam Anggaran Dasar mengatur keanggotaan koperasi termasuk pensiunan buruh.

Itulah mengapa kemudian prinsip koperasi yang pertama menyebut keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka bagi semua orang. Karena sesungguhnya cara baca awal koperasi adalah perhimpunan orang.

Dimana mereka berhimpun untuk penuhi kebutuhan ekonomi-sosial-budaya melalui perusahaan kolektif yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis.

Dalam konteks seperti itu, koperasi akan berperan dalam inklusi sosial yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat (baca: pensiunan) dan bukan hanya buruh yang masih aktif saja.

Ekonomi itu muasalnya dari oikos (rumah tangga) dan nomos (pengelolaan) yang makna harfiahnya adalah pengelolaan rumah tangga.

Karenanya, ekonomi buruh adalah bagaimana upaya buruh mengelola perilaku konsumsi, postur keuangan serta perencanaan kebutuhan rumah tangga agar dapat dipenuhi tepat pada waktunya. Di titik itulah koperasi dapat berperan sebagai fasilitator yang baik.


Sumber:

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Memerankan Koperasi dalam Ekonomi Buruh", https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/20/090000226/memerankan-koperasi-dalam-ekonomi-buruh. 20 September 2017

Foto: ilustrasi demo buruh (WARTA KOTA/ ANGGA BHAGYA NUGRAHA)

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Editor: Aprillia Ika