Mari kita tengok data nasional yang dipublikasi Kementerian Koperasi dan UKM lewat website-nya. Tahun 2015 anggota koperasi rata-rata sebanyak 178 orang/ koperasi. Tak beda jauh dengan lima tahun sebelumnya yakni 163 orang per koperasi (2011) dan 196 orang per koperasi (2006).
Dalam rentang lima tahunan itu, volume usaha koperasi secara nasional pun hanya dalam kisaran Rp 1 miliar. Angka itu diambil dari total volume koperasi nasional dibagi rata dengan jumlah seluruh BH koperasi di Indonesia. Hasilnya hanya pada kisaran Rp 443 juta (2006), Rp 510 juta (2011), dan Rp 1,25 miliar (2015).
Dari jumlah anggota ataupun volume usaha, koperasi Indonesia dalam 15 tahun terakhir masuk kategori skala kecil. Kita bisa acu UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai basis kategorisasi. Usaha kecil yakni usaha perseorangan atau badan dengan volume usaha Rp 300 juta sampai Rp 2,5 miliar per tahun. Disusul kemudian usaha menengah 2,5 miliar sampai 50 miliar rupiah per tahun.
Bagaimana bila data nasional itu bias? Saya ajukan salah satu kabupaten di Jawa Tengah, misalnya Purbalingga tahun 2015. Jumlah anggota tahun itu mencapai 52.328 orang dengan 260 buah koperasi, artinya rata-rata 201 anggota per koperasi dengan rata-rata volume usaha mencapai Rp 902 juta per koperasi. Skalanya sama, kecil. Dengan begitu kekhawatiran koperasi Indonesia terjebak sindrom SMEST menjadi beralasan.
Skala dan waktu
International Cooperative Alliance (ICA) menggariskan keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka bagi siapa pun. Prinsip keterbukaan anggota (open membership) itu merupakan syarat membangun koperasi yang besar. Dengan keanggotaan yang non-diskriminatif (jenis kelamin, SARA, afiliasi politik, ormas, ideologi) akan membuat koperasi mempunyai economies scale hasil konsolidasi dari pasar yang terbuka.
Relasi keterbukaan anggota dengan skala ini dapat dikonfirmasi dengan contoh koperasi kredit, di mana skala koperasi primernya berkembang dari kecil menjadi menengah sampai besar dalam tempo 15-20 tahun.
Berbanding terbalik dengan itu, misalnya, koperasi pegawai yang skalanya berhenti di kecil atau menengah meskipun sudah berdiri lebih dari 15 tahun. Yang membuat dua entitas itu berbeda meski waktu hidup (lifetime) hampir sama adalah karena yang pertama terbuka dan yang kedua tertutup.
Sebagai sebuah perusahaan koperasi mengikuti tahap perkembangan tertentu. Mulai dari mikro yang idealnya terpenuhi maksimal 3 tahun, kecil maksimal 5-7 tahun, dan tahap menengah 3-5 tahun.
Bila bersetia dengan perkembangan itu, koperasi akan capai skala besar dan titik efisiensi optimalnya pada rentang 15-20 tahun. Faktanya, di lapangan banyak koperasi yang tak kunjung naik kelas, sudah 10 tahun namun skalanya tetap kecil.
Orbit Koperasi
Ada dua orbit koperasi, saya sebut "Orbit Tetap Kelas" dan "Orbit Naik Kelas". Koperasi "Tetap Kelas" biasanya mempunyai orbit yang dimulai dari anggota berjumlah terbatas karena sedikit layanan menjadi tak efisien. Mereka biasanya bermain di pasaran tertutup, alhasil omzet (turn over) tak akan pernah naik secara signifikan. Analoginya seperti memancing di kolam ikan. Pasti mendapatkan ikan, tetapi jumlah maksimalnya sebanyak ikan di kolam itu. Omzet yang cenderung ajek membuat mental kewirakoperasian mereka tak berkembang. Jadilah pengurus mengendalikan koperasi secara sambil lalu atau sambilan. Pengurus itu bisa jadi tak menerima honor bulanan, namun tahunan.Bila koperasi macam ini punya karyawan, mereka pasti digaji rendah. Hasilnya dapat dipastikan, layanan buruk yang membuat anggota tak puas. Ujungnya, anggota tetap saja, bahkan bisa menyusut karena mengundurkan diri.Di sisi lain, koperasi yang "Naik Kelas" memiliki orbit anggota terbuka dan bisa terus bertambah. Layanan menjadi lebih efisien karena mencapai economies scale-nya. Hasilnya omzet tinggi dan pengurus mengendalikannya secara profesional. Para manajer dan karyawan digaji bagus yang membuat kualitas kerja juga naik. Alhasil, layanan menjadi prima. Efeknya anggota merasa puas dan kembali menggunakan layanan koperasi. Anggota dengan sendirinya menjadi pemasar koperasi dan rekomendasikan koperasi ke orang lain. Ujungnya, anggota koperasi bertambah dan bertambah lagi. Siklus orbital itu berjalan terus-menerus sebagai rangkaian aksi-reaksi yang melingkar.Memutus orbit "Tetap Kelas"
Sebagian praktisi dan peneliti menyinyalir "Koperasi Tetap Kelas" terbentuk karena rendahnya pasokan SDM bermutu. Solusinya dengan berbagai program pendidikan dan pelatihan (diklat) mulai kecakapan dasar sampai tingkat lanjut.
Namun, bukankah "Koperasi Tetap Kelas" itu juga sudah berkali-kali mengikuti berbagai diklat yang diadakan Dinas Koperasi? Skenario itu belum juga bisa memberi solusi.
Skenario lain dicoba. Pengurus mengundang para manajer untuk mengelola koperasi secara profesional. Yang jadi masalah, untuk bisa menghadirkan manajer profesional, koperasi harus bisa membayar mereka dengan standar tinggi. Sayangnya, koperasi tak cukup punya amunisi. Lagi-lagi, belum memutus lingkaran setan.
Sebenarnya, masalah mendasar "Koperasi Tetap Kelas" terletak pada economies scale yang tidak tercukupi. Efek dominonya panjang, antara lain sumber daya terbatas, manajemen yang tidak efektif, budaya perusahaan yang tak terbentuk, sistem kerja yang tak memadai, dan daya kepemimpinan yang rendah. Maka, upaya untuk memutus orbit "Koperasi Tetap Kelas" adalah dengan menaikkan skalanya, yakni melalui restrukturisasi perusahaan.
Merger antarkoperasi
Perusahaan non-koperasi sangat fasih menggunakan strategi restrukturisasi, yang paling sering dipakai adalah merger dan akuisisi.
Data bisa menggambar dengan baik merger perusahaan sebagai strategi favorit mereka. Dalam rentang 2013-2017, ada 290 perusahaan melakukan merger (KPPU, 2017). Rata-rata ada sekitar 58 perusahaan per tahun yang meleburkan diri.
Apa yang ingin mereka kejar? Biasanya untuk mengonsolidasi pasar. Ada juga dalam rangka mengembangkan dan meluaskan usahanya. Efeknya, mereka akan memperoleh angka efisiensi yang optimal berbanding dengan ukuran perusahaan (McKinsey, 2013).
Perusahaan yang melakukan merger dengan sendirinya memperoleh daya ungkit hasil implan sistem perusahaan induk. Tentu saja itu memangkas berbagai biaya investasi yang harusnya dikeluarkan bila tanpa merger.
Meski koperasi secara legal memiliki fasilitas yang sama, seperti diatur UU No. 25 Tahun 1992 dan Permenkop No. 10 Tahun 2015, namun sedikit koperasi yang menggunakan opsi itu. Sebagai perusahaan, merger antarkoperasi bisa menjadi solusi sebagaimana perusahaan non-koperasi melakukannya.
Mari kita bayangkan bila ada sekitar 20 koperasi skala kecil lakukan merger dengan satu koperasi menengah. Andaikan masing-masing koperasi skala kecil itu beranggota 200 orang, maka totalnya menjadi 4.000 anggota. Ditambah kemudian dengan 1.000 anggota koperasi menengah, jadilah 5.000 anggota.
Dengan merger itu, 4.000 anggota koperasi kecil akan menerima layanan lebih prima daripada sebelumnya. Biaya layanan akan lebih murah, manfaat sosio-ekonomi bisa lebih luas dan lain sebagainya.
Bagi koperasi, mereka akan langsung terintegrasi dalam sistem kerja koperasi menengah yang cenderung sudah stabil. Hasil akhirnya mereka menjadi perusahaan koperasi kelas menengah-besar. Dalam cara baca bisnis, jumlah anggota yang besar itu merupakan pasar yang terkonsolidasi.
Ada contoh bagus yang dilakukan 12 koperasi syariah di Pekalongan pada 2016 lalu. Mereka melakukan merger dan namanya berubah menjadi Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS) BTM Pekalongan. Hasil akhirnya cukup memuaskan, total anggota sekarang mencapai 167.000 orang dengan total aset mencapai Rp 173 miliar.
Kisah sukses itu memang butuh proses panjang, yakni meyakinkan anggota tiap koperasi dengan merger akan membuat manfaat berkoperasi menjadi lebih besar.
Lantas, mengapa sebagian koperasi lain masih emoh merger? Ada kekhawatiran pasca-merger struktur koperasi lama kehilangan peran, khususnya para pengurus.
Sebenarnya mereka tetap bisa berperan aktif dengan alih fungsi sebagai pengurus kelompok anggota di area wilayah kantor cabang beroperasi, misalnya.
Adapun karyawan atau manajemen tentu saja dapat diintegrasikan langsung dalam struktur tata kelola baru yang mempunyai cabang di mana-mana. Dengan cara begitu, semua orang bisa tetap berperan.
Mati atau idap SMEST
Berbagai upaya telah ditempuh Dekopinda/Dekopin serta Dinkop/Kemenkop untuk menaik-kelaskan koperasi dan hasilnya kurang memuaskan. Sehingga, merger perlu digalakkan sebagai agenda yang mendesak. Best practice dan success story merger perlu diperbanyak sehingga koperasi lain tak takut dan alergi mencobanya.
Dalam pembinaan ke depan, Dekopinda dan/atau Dinkop perlu membuat rentang waktu koperasi naik kelas. Bila sampai tahun ke lima koperasi belum tuntas capai skala kecil, maka harus sudah mulai diikutkan lokakarya restrukturisasi.
Sama pula bila sampai tahun ke-7 koperasi belum capai skala menengah, maka mind set-nya harus di-coaching untuk menyiapkan opsi merger. Semua itu bisa dilakukan bila kita punya baseline data yang bagus.
Dengan cara begitu, koperasi Indonesia akan bebas dari SMEST syndrome. Indikator akhirnya adalah sebagai berikut.- Jumlah perusahaan koperasi berkurang secara proporsional berbanding terbalik dengan anggota yang bertambah dan terus bertambah;
- Koperasi skala menengah dan besar tumbuh subur dan terbuka kemungkinan di antara mereka saling merger menjadi sebuah konglomerasi koperasi. Dan akhirnya kita bisa teriakkan, "Bye bye SMEST!"
Sumber:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melepaskan Koperasi dari "SMEST Syndrome"", https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/06/20/124634426/melepaskan.koperasi.dari.smest.syndrome.?page=4. 20 Juni 2017
Foto: Ilustrasi (FIRDAUS PUTRA)
Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)
Editor: Bambang Priyo Jatmiko