Apa Itu Churn Rate – Bayangkan kamu punya 100 pelanggan setia bulan ini. Tapi bulan depan, hanya 60 yang kembali. Sisanya? Menghilang tanpa jejak. Padahal kamu merasa sudah memberikan produk terbaik, pelayanan maksimal, dan promo menarik.
Kalau situasi ini terdengar familiar, besar kemungkinan kamu sedang menghadapi sesuatu yang bernama Churn Rate tinggi. Ini adalah penyakit senyap dalam bisnis yang pelan-pelan bisa menggerogoti pertumbuhan usaha kamu. Sebelum makin parah, yuk kita bahas tuntas apa itu Churn Rate, kenapa bisa terjadi, dan gimana cara mengatasinya!
Apa Itu Churn Rate?
Secara sederhana, Churn Rate adalah persentase pelanggan yang berhenti menggunakan produk atau layanan kamu dalam periode waktu tertentu. Istilah “churn” berasal dari kata kerja "to churn" yang berarti mengguncang atau mengaduk. Jadi ibaratnya, pelanggan yang "teraduk" keluar dari sistem.
Kalau kamu pernah dengar tentang Retention Rate (tingkat pelanggan yang bertahan), maka Churn Rate adalah kebalikannya. Makin tinggi Churn Rate kamu, makin banyak pelanggan yang memutuskan untuk tidak kembali.
Pertanyaan apa itu Churn Rate menjadi krusial terutama saat bisnis sedang fokus menumbuhkan jumlah pelanggan. Jangan sampai kamu hanya mengejar angka penambahan pelanggan baru tanpa sadar kehilangan pelanggan lama yang sudah lebih dulu percaya dengan brand kamu.
Baca Juga: Jangan Sibuk Cari Pelanggan Baru Dulu! Yuk, Pahami Dulu Apa Itu Retention Rate
Apa Itu Churn Rate dalam Berbagai Jenis Bisnis?
Konsep apa itu Churn Rate bisa terlihat berbeda tergantung model bisnis yang dijalankan. Di bawah ini penjabaran yang lebih rinci berdasarkan kategori usaha:
1. Bisnis Digital dan SaaS (Software as a Service)
Dalam bisnis berbasis digital seperti platform edukasi, aplikasi keuangan, atau layanan berlangganan software, Churn Rate merupakan indikator vital. Hal ini karena pelanggan biasanya tidak melakukan pembelian satu kali, melainkan berlangganan secara bulanan atau tahunan.
Misalnya, aplikasi manajemen proyek seperti Trello atau Notion. Saat dalam 1 bulan mereka kehilangan 20% pengguna aktifnya, itu bisa menjadi tanda bahwa fitur, performa, atau user experience aplikasi perlu dievaluasi. Tingginya Churn Rate di bisnis ini bisa langsung berdampak pada arus kas, karena modelnya sangat bergantung pada recurring revenue.
2. Bisnis Subscription (Kotak Langganan, Media, atau Gym)
Di sektor ini, persentase Churn Rate sangat berpengaruh. Saat pelanggan berhenti berlangganan, hal ini akan langsung memengaruhi pendapatan. Ambil contoh layanan streaming film lokal seperti Vidio. Jika dalam sebulan mereka kehilangan 5.000 pelanggan dari total 50.000 subscriber, maka Churn Rate-nya adalah 10%, dan itu berarti penurunan langsung terhadap pendapatan yang berulang.
Untuk bisnis gym atau fitness, pelanggan yang tidak memperpanjang keanggotaan juga dianggap churn. Banyak studio yoga, zumba, atau personal trainer kini menggunakan software CRM khusus untuk memantau siapa saja pelanggan yang sudah tidak aktif agar bisa melakukan pendekatan ulang.
3. Bisnis Ritel dan UMKM Offline
Meskipun tidak berbasis langganan, Churn Rate tetap bisa diterapkan dalam UMKM offline, seperti toko roti, warung makan, atau salon kecantikan. Ukurannya bisa dilihat dari seberapa banyak pelanggan lama yang tidak melakukan pembelian ulang dalam periode tertentu.
Contohnya, sebuah kafe lokal mencatat bahwa dari 500 pelanggan tetap, namun 150 diantaranya tidak datang lagi selama dua bulan terakhir. Artinya, ada potensi churn sebesar 30%. Dengan mengukur ini, pemilik bisnis bisa lebih fokus untuk merancang promosi retensi, seperti voucher khusus atau loyalty card.
Gabung jadi Member ukmindonesia.id buat update terus info seputar UMKM dan peluang usaha!
Faktor-Faktor Penyebab Churn
Setelah memahami apa itu Churn Rate, langkah penting berikutnya adalah mencari tahu kenapa pelanggan bisa ‘pindah haluan’. Ada banyak alasan yang bisa menyebabkan churn, dan berikut penjelasan lebih detailnya:
1. Kualitas Produk Tidak Konsisten
Misalnya, pelanggan warung makan kamu pernah mencoba ayam geprek yang sangat enak dan renyah. Tapi saat datang untuk kedua kalinya, ayamnya terlalu berminyak dan nasi dingin. Kekecewaan semacam ini sering jadi alasan utama pelanggan tidak kembali. Dalam bisnis digital, bug atau error dalam aplikasi juga bisa jadi penyebab utama churn.
2. Harga Tidak Seimbang dengan Nilai
Saat harga naik tanpa peningkatan kualitas atau manfaat yang jelas, pelanggan cenderung merasa dirugikan. Misalnya, pelanggan software akuntansi UMKM melihat harga berlangganan naik dua kali lipat, tapi tidak ada fitur baru yang membantu mereka. Maka, mereka mungkin memilih alternatif lain.
3. Pelayanan Kurang Ramah atau Lambat
Di era customer-centric seperti sekarang, satu pengalaman buruk dengan CS bisa membuat pelanggan berpaling. Jika pelanggan komplain via WhatsApp, namun baru dibalas 2 hari kemudian, maka mereka mungkin akan lebih memilih brand lain yang lebih responsif.
4. Persaingan yang Makin Ketat
Munculnya kompetitor baru dengan promosi agresif juga bisa menggoda pelanggan untuk pindah. Jika kamu tidak punya USP (Unique Selling Proposition) yang kuat, pelanggan bisa dengan mudah tergoda oleh penawaran serupa.
5. Kurangnya Engagement dan Follow-Up
Banyak bisnis yang kehilangan pelanggan hanya karena tidak menjaga komunikasi. Padahal, cukup dengan ucapan ulang tahun via email atau penawaran eksklusif bisa membuat pelanggan merasa dihargai dan terikat.
Baca Juga: Mau Tahu Bagian Website yang Paling Dilirik? Pelajari Dulu Apa Itu Heatmap
Strategi Menurunkan Churn Rate
Setelah tahu apa itu Churn Rate dan apa penyebabnya, kini saatnya bicara soal solusi. Berikut strategi yang bisa kamu lakukan:
1. Perbaiki Onboarding Experience
Aplikasi finansial “CuanKu” dulunya punya Churn Rate mingguan hingga 35%. Setelah memperkenalkan onboarding step-by-step dengan video tutorial dan live chat, pengguna merasa lebih paham dan nyaman. Hasilnya, Churn Rate turun ke 22% hanya dalam 2 bulan.
2. Kumpulkan Feedback dan Tindak Lanjut
Toko kopi lokal bisa membagikan survei kepuasan lewat QR code di meja atau nota pembayaran. Hasilnya bisa dianalisis untuk mengetahui titik kritis pelanggan merasa kecewa.
3. Bangun Loyalty Program
Terapkan sistem poin, diskon khusus member, atau hadiah di kunjungan tertentu. Misalnya, tukang laundry BersihWangi memberikan 1 cuci gratis setelah 10 kali cuci. Ini mendorong pelanggan untuk tetap datang kembali.
4. Personalisasi Komunikasi
Gunakan data pembelian untuk mengirim promosi yang relevan. Kalau pelanggan kamu sering beli kopi susu, kirim promo khusus menu itu. Tools seperti Mailchimp atau WhatsApp API bisa digunakan UMKM dengan biaya terjangkau.
Baca Juga: Apa Itu User Behavior? Rahasia Membaca Pikiran Konsumen untuk Bisnis yang Lebih Tajir
5. Analisis dan Segmentasi Pelanggan
Pisahkan pelanggan berdasarkan frekuensi kunjungan dan nilai pembelian. Pelanggan dengan nilai tinggi tapi jarang datang perlu pendekatan khusus. Misalnya, pelanggan dengan histori belanja Rp500.000/bulan tapi tidak aktif 2 bulan terakhir bisa dihubungi dengan penawaran personal.
Apa itu Churn Rate bukan sekadar metrik angka yang terlihat di dashboard. Ini adalah cerminan seberapa besar pelanggan kamu merasa puas dan ingin terus terhubung dengan brand.
Menurunkan Churn Rate tidak bisa instan, tapi dengan observasi, komunikasi, dan inovasi berkelanjutan, kamu bisa membalikkan keadaan. Kunci utamanya adalah fokus pada pelanggan lama, bukan hanya kejar pelanggan baru. Ingat, pelanggan yang kembali lagi dan lagi adalah bukti bahwa bisnismu layak untuk dipertahankan.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.
Referensi:
- Forbes. (2023). Customer Retention Is More Important Than Acquisition. https://www.forbes.com
- HubSpot. (2023). Churn Rate Explained: What It Is and How to Reduce It. https://blog.hubspot.com
- Baremetrics. (2023). What is Churn Rate and How Do You Reduce It? https://baremetrics.com/blog/churn-rate
- Harvard Business Review. (2022). The Value of Keeping the Right Customers. https://hbr.org