Suasana siang itu berubah tegang ketika beberapa petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) datang ke sebuah rumah produksi pangan skala mikro milik seorang pelaku usaha, sebut saja Bobi. 

Sidak yang dimulai pukul 11 siang baru berakhir menjelang malam. Hasilnya, sebagian produk milik Bobi disita, dan bisnis yang telah berjalan selama 18 tahun itu disegel sementara waktu hingga izin edarnya keluar.

Bobi, bukan nama sebenarnya, telah mengoperasikan bisnis makanan olahan kemasan dari susu yang berlokasi di Kota Tangerang. Produknya sudah pernah berizin edar, tapi masa berlakunya habis pada 2024 lalu. Ia belum sempat memperpanjang izin edar BPOM karena kendala sumber daya tenaga dan waktu. 


Antara Patuh pada Regulasi dan Keterbatasan SDM

Bobi bukan tak tahu aturan. Ia sadar izin edar harus diperpanjang. Namun begitu masa izin edar habis, persoalan muncul. Perpanjangan izin tak hanya sekadar mengisi formulir. Ada sekitar 30 dokumen yang mesti ia siapkan, mulai dari dokumen SOP, kandungan gizi, hingga manajemen risiko pangan.

Bagi perusahaan besar, dokumen semacam itu bisa ditangani oleh tim legal dan produksi. Namun bagi usaha mikro yang hanya dijalankan pemilik bersama seorang karyawan, tuntutan itu terasa mustahil.

Sejak 2024 lalu, Bobi sudah mencicil dokumen-dokumen yang diperlukan untuk perpanjangan izin edar, tetapi karena keterbatasan waktu dan tenaga proses pengurusannya sempat tersendat. 

“Waktu itu usaha saya sedang turun, saya harus pindah pabrik karena gak sanggup bayar sewa tahunan. Saya pindah ke tempat lain yang bisa bayar sewa bulanan. Karena sibuk ngurus pindah itu, ngurus perpanjangan izin edarnya tertunda” terang Bobi.  

Bobi sudah pernah mengikuti program sosialisasi dari BPOM, bukti jika ia serius mau mematuhi izin edar yang diwajibkan pemerintah untuk produk pangan. Karenanya, ia menyayangkan sikap petugas BPOM yang langsung main segel bisnisnya tanpa bertanya kendala yang dihadapinya. 

“Kenapa saya gak ditanyain apa kendalanya? Mending dibantu, bukan langsung disegel,” ujar Bobi lirih. Ia menegaskan, selama 18 tahun berjualan, produknya tak pernah bermasalah. Tidak ada kasus keracunan, tak ada laporan bahaya dari konsumen.

Baca Juga: Cara Daftar Izin Edar Obat Tradisional di BPOM Secara Online 


Prosedur yang Menjerat

Kisah ini bukan satu-satunya. BPOM menyebutkan, sejak lima tahun terakhir mereka telah menerbitkan lebih dari 135 ribu izin edar produk domestik. Namun, masih banyak UMKM yang terjegal di proses administrasi. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, BPOM sampai harus turun tangan lewat program One Village One Product, menerbitkan izin edar bagi 20 UMKM pangan lokal. 

Artinya, problem bukan hanya pada regulasi, tetapi juga implementasi: bagaimana aturan bisa menyesuaikan dengan realitas usaha mikro yang serba terbatas.

Dasar hukum izin edar memang jelas. UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mewajibkan setiap pangan olahan memiliki izin edar. Peraturan BPOM Nomor 27 Tahun 2017 juga mengatur registrasi pangan olahan, ditambah aturan baru seperti Sistem Manajemen Keamanan dan Mutu Pangan Olahan (SMKPO).

Semua aturan ini berangkat dari niat mulia: melindungi konsumen dari produk berbahaya. Tapi konsekuensinya, UMKM harus memenuhi sederet persyaratan administratif. Dari Nomor Induk Berusaha (NIB), dokumen laboratorium, data gizi, hingga standar produksi yang mengikuti kaidah Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB).

Bagi pelaku usaha mikro, daftar itu terasa seperti dinding tinggi. Mereka yang berniat patuh justru bisa terjebak, sementara aparat menegakkan aturan tanpa membedakan pelaku yang beritikad baik dengan yang benar-benar abai.

Regulasi yang kaku menimbulkan dampak nyata: usaha disegel, sumber penghidupan hilang, kepercayaan konsumen terganggu. Padahal UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional, menyumbang 61 persen produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 97 persen tenaga kerja.

Alih-alih mendorong kepatuhan, pendekatan keras justru bisa membuat UMKM enggan masuk ke jalur formal. Mereka memilih bertahan di sektor informal, menjual produk tanpa izin resmi karena tak sanggup menanggung beban administrasi.

Baca Juga: Cara Daftar Izin BPOM Suplemen yang Tepat


Jalan Tengah untuk UMKM

Tidak semua UMKM sama. Ada yang memang abai, enggan mengurus izin, bahkan ketika mampu. Ada pula yang sedang berproses, tetapi tersandung modal dan SDM. Sayangnya, regulasi kerap memukul rata.

Jika menoleh ke Singapura, ada pendekatan berbeda. Otoritas keamanan pangan di sana mendampingi pelaku usaha sampai izin mereka terbit. Selama proses berlangsung, bisnis tetap boleh berjalan dengan pengawasan ketat. Baru ketika pelaku usaha tidak menunjukkan progres sama sekali, sanksi keras dijatuhkan.

Model ini memberi ruang keadilan. UMKM yang berniat patuh tak langsung dikriminalisasi. Regulasi tetap ditegakkan, namun ada diferensiasi: mana yang butuh bantuan, mana yang memang bandel.

Jika pola ini diadopsi, kasus yang dialami Bobi tak perlu terulang. Ia cukup diberi status “dalam proses perpanjangan” dengan kewajiban menunjukkan progres.

Solusi lain adalah memberi “status sementara” bagi UMKM yang sedang mengurus perpanjangan izin. Artinya, selama dokumen masuk dan ada progres nyata, usaha tidak perlu disegel. Pengawasan ketat bisa tetap dijalankan, tetapi roda usaha tidak berhenti total.

Dengan model ini, pelaku usaha tidak kehilangan pendapatan, sementara BPOM tetap bisa memastikan standar keamanan berjalan.

Baca Juga: BPOM Surakarta Awasi Kualitas Makanan Program Makan Bergizi Gratis, UMKM Harus Bersiap!


Pendampingan Intensif dan Jemput Bola

Masalah terbesar UMKM ada di kapasitas administrasi. Sekitar 30 dokumen yang diminta BPOM bukan perkara mudah bagi usaha mikro dengan tenaga kerja terbatas.

Di sisi lain, sistem e-BPOM saat ini masih dianggap rumit. Banyak pelaku usaha kebingungan mengunggah dokumen dan mengisi data teknis. Padahal, digitalisasi seharusnya memberi kemudahan, bukan menambah kerumitan.

Pemerintah perlu menghadirkan template dokumen sederhana, tutorial video, serta hotline khusus bagi UMKM. Bahkan, dashboard yang menandai progres dokumen bisa menjadi solusi agar pelaku usaha merasa prosesnya jelas.

Selain itu, kebijakan jemput bola dan pendampingan juga bisa diterapkan untuk membantu pelaku UMKM mengurus izin edar. 

BPOM sebenarnya sudah mulai melakukan layanan jemput bola dan pendampingan. Misalnya, di Nusa Tenggara Timur, mereka menerbitkan 20 izin edar bagi UMKM dalam program One Village One Product

Pendekatan jemput bola harus diperluas. Pemerintah bisa melibatkan perguruan tinggi dan koperasi untuk membantu UMKM menyusun dokumen. Dengan begitu, perpanjangan izin tidak lagi jadi momok bagi UMKM.


Penutup

Kasus penyegelan usaha oleh BPOM menjadi cermin: aturan yang dibuat demi keamanan konsumen justru bisa melukai pelaku usaha kecil jika tak diimbangi kebijakan yang humanis. Jalan tengahnya jelas—regulasi ketat tetap perlu, tapi implementasi harus memihak mereka yang berniat patuh.

Kalau tidak, UMKM akan terus merasa berjalan sendirian, tersandung oleh dokumen dan prosedur, sementara roda ekonomi mereka berhenti berputar.

Jika kamu merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu kami sebarkan ilmu dengan bagikan konten ini juga.

Bagi yang mau dapat newsletter mingguan melalui email atau gabung ke komunitas UMKM yang kami kelola dan bisa interaksi lebih akrab di WA Grup bersama pelaku usaha lain. Siapa tahu bisa jalin kolaborasi. Silakan gabung jadi member kami disini ya: ukmindonesia.id/registrasi. 

Referensi:

  • Detik Finance – Biaya Izin Edar Jadi Kendala, BPOM Usulkan Gratis untuk UMK
  • BPOM – Percepat Proses Perizinan UMKM Pangan Olahan
  • BPOM – Dukung Program One Village One Product
  • Kemenko PMK – Dorong Percepatan Izin BPOM untuk UMKM
  • Indonesia.go.id – Alur dan Syarat Pendaftaran Izin Edar Pangan Olahan