UMKM naik kelas? Ini selalu menjadi perbincangan panas bagi seluruh Sahabat Wirausaha maupun pihak-pihak pemerintah dan swasta yang terlibat dalam pengembangan UMKM. Kita semua selalu memimpikan bahwa UMKM selalu bisa naik kelas. 

Akan tetapi, realitanya kita bisa melihat bahwa dari sisi omzet sulit sekali untuk bisa melihat perkembangan tersebut. Jadi bisakah kita melihat UMKM naik kelas selain dari ukuran penjualan? Artikel ini akan membedah kajian ukmindonesia.id – LPEM FEB UI terkait pemetaan UMKM berdasarkan indeks naik kelas. Penasaran? Yuk kita bahas.


Pentingnya Naik Kelas untuk UMKM Indonesia

Jumlah unit usaha menengah di Uni Eropa dibandingkan unit usaha kecilnya adalah 1 banding 6, dan jumlah unit usaha kecil dibanding jumlah unit usaha mikronya adalah 1 banding 14. Sedangkan di Indonesia, perbandingan jumlah unit usaha menengah dan usaha kecil adalah sekitar 1 banding 14, dan perbandingan unit usaha kecil dan usaha mikro  adalah 1 banding 91. Perbandingan usaha yang kurang seimbang inilah, khususnya antara jumlah unit usaha kecil dengan usaha mikro, yang disebut dengan fenomena “missing middle”.

Untuk mencapai struktur UMKM yang lebih ideal, pekerjaan rumah terbesar adalah untuk menciptakan iklim usaha yang menunjang UMKM Naik Kelas. Hal ini perlu dilakukan agar kekosongan di tengah struktur dapat terisi, dan pembengkakan di bawah dapat diperkecil.

Baca Juga: Mengenal WhatsApp Business dan Segudang Manfaatnya, Bantu UMKM Naik Kelas!

Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah yang disebut ‘Naik Kelas’ hanya berarti pindah skala usaha, yaitu mengangkat para pelaku usaha mikro agar dapat menjadi usaha kecil, pelaku usaha kecil agar dapat menjadi usaha menengah, dan tentunya mengupayakan pelaku usaha menengah agar dapat menjadi usaha besar? 

Apakah pelaku UKM yang telah mengalami peningkatan kinerja yang signifikan namun tidak berhasil menembus batas aset dan omzet pada skala usaha di atasnya, sesuai kriteria UMKM yang tertuang pada PP No. 7 Tahun 2021,  berarti tidak mengalami Naik Kelas? Pendefinisian UMKM Naik Kelas menjadi penting mengingat banyaknya jumlah UMKM di Indonesia, karena para pengambil keputusan khususnya pembina dan pendamping UMKM di lapangan merasa sangat memerlukan kriteria naik kelas yang lebih rinci agar bisa memiliki acuan dalam penilaian kinerja dan dapat menyusun target-target capaian pendampingan secara lebih terarah.


Kategori Kelas Berdasarkan Indeks UMKM Naik Kelas

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan untuk melihat mengetahui peta kesiapan UMKM Naik Kelas di berbagai sektor dan wilayah di Indonesia. Adapun indeks ini merupakan rerata terbobot dari nilai skor per aspek, dari total 12 Aspek yang dipotret atau didiagnosa.

Berikut adalah 12 aspek yang diukur:

  1. Skala
  2. Pola Pikir dan Cara Pandang
  3. Budaya Inovasi
  4. Kepemimpinan
  5. Manajemen SDM
  6. Legalitas dan Kepatuhan
  7. Manajemen Keuangan
  8. Manajemen Tanggung Jawab Sosial
  9. Manajemen Operasional
  10. Pemasaran
  11. Pemahaman Industri dan Pasar
  12. Manajemen Rantai Pasok

Jadi dari aspek-aspek in, definisi Naik Kelas bukan saja diukur dari skala omzet. Kita melihat bahwa Sahabat Wirausaha yang mau terus untuk belajar meningkatkan kapabilitas dari setiap aspek ini dianggap terus Naik Kelas.

Sumber: Kajian ukmindonesia.id – LPEM UI

Gambar di atas menunjukkan kategori dan nilainya. Ini dilakukan dengan pemetaan distribusi skor Indeks Kesiapan UMKM Naik Kelas (interval skor 0-10). Dari sini, UMKM dapat dikelompokkan ke dalam 9 kategori kelas, yaitu:

  1. a) Tradisional (tradisional, tradisional utama, tradisional teladan), 
  2. b) Berkembang (berkembang, berkembang utama, berkembang teladan),
  3. c) Modern (modern, modern utama, modern teladan)

Nah kira-kira Sahabat Wirausaha masuk kategori kelas mana nih?

Baca Juga: 5 Media Transaksi Digital untuk Naik Kelas, Berbisnis Semakin Mudah! 


Bagaimana Penelitian Dilakukan dan Profil Responden UMKM

Untuk mendapatkan hasil yang representatif di setiap sektor dan wilayah target, kuesioner digital berupa alat diagnosa mandiri UMKM Naik Kelas disebarkan kepada UMKM di 5 kelompok wilayah (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa-Maluku-Papua) dan 5 kelompok sektor (Pertanian-Perikanan-Perkebunan, Industri Pengolahan, Perdagangan Besar & Reparasi, Penyediaan Akomodasi & Makan Minum, Pengangkutan-Pergudangan-Jasa Lainnya). 

Pada periode sampling antara 10 Juli s.d 7 Agustus 2020, total sampel yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 3,751 responden. Adapun sebaran terbesar responden terkait wilayah, sektor, jenis badan usaha, dan kategori skala usaha adalah Pulau Jawa (55.7%), Industri Pengolahan (40.9%), Perseorangan (83.4%), dan Usaha Ultra Mikro (73.1%). 

Selain itu, profil terkait dampak pandemik Covid-19 juga ikut dipetakan, dimana lebih dari 70% responden mengaku mengalami penurunan pendapatan; dan 70.43% mengaku mengalami masalah-masalah pada kelancaran bahan baku atau peralatan kerja. Adapun untuk menghadapi tantangan usaha di tengah pandemic, sebagian besar UMKM lebih mengutamakan untuk menjual persediaan yang dimiliki dan menjajaki kerjasama finansial dengan pihak yang sudah dikenal.  

1. Pemetaan Kelas Secara Keseluruhan

Pola distribusi menunjukkan kelas terbanyak adalah Tradisional Teladan (total 1,025) dan Berkembang (total 966).  Jika kita lihat lebih dalam berdasarkan skala omzet, pola ini tidak jauh berbeda pada usaha Ultra Mikro (modus adalah Tradisional Teladan), usaha Mikro (modus adalah Berkembang), dan usaha Kecil (modus adalah Berkembang Utama). Di sisi lain, kelas terbanyak pada usaha Menengah berada antara Berkembang Utama sampai Modern. Sedangkan pada usaha Besar, kelas terbanyak terdapat pada Modern Teladan.

Sumber: Kajian ukmindonesia.id – LPEM UI

Kita dapat lihat bahwa usaha Ultra Mikro memang terbukti tidak memiliki kapabilitas yang bagus. Semakin tinggi skala usahanya, maka semakin baik kapabilitasnya. 

Baca Juga: 3 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja UMKM di Indonesia, Rahasia Naik Kelas!

2. Pemetaan Berdasarkan Wilayah

Secara umum tidak terdapat perbedaan signifikan dari pola distribusi kelas antar wilayah. Rata-rata kelas terbanyak terdapat pada Tradisional Teladan dan Berkembang. Di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, ditemukan kelas terbanyak terdapat pada kelas Berkembang. Lain halnya di Sumatera dan Bali-Nusa-Maluku-Papua, kelas terbanyak terjadi pada kelas Tradisional Teladan. 

Sumber: Kajian ukmindonesia.id – LPEM UI

Meskipun begitu, pola yang terjadi pada semua wilayah hampir sama. Maka dari itu, ini menunjukkan bahwa karakteristik UMKM bisa dibilang hampir sama. Hal ini juga bisa berimplikasi bahwa pelatihan dan pendampingan UMKM dapat diberlakukan sama untuk semua wilayah.

3. Pemetaan Berdasarkan Kelompok Sektor

Sama halnya dengan pemetaan berdasarkan wilayah, secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pola distribusi kelas antar kelompok sektor. Hampir semua kelas terbanyak terjadi pada kelas Berkembang. Hanya Perdagangan dan Jasa Reparasi yang kelas terbanyaknya adalah Tradisional Teladan, namun dengan selisih yang rendah dibandingkan dengan jumlah kelas Berkembang.

Sumber: Kajian ukmindonesia.id – LPEM UI

Hasil ini bisa menandakan bahwa tidak ada sektor yang memiliki kapabilitas lebih baik daripada lainnya. Pelatihan dan pendampingan UMKM juga tidak perlu diberlakukan berbeda antar kelompok-kelompok sektor ini.

4. Pemetaan Berdasarkan Aspek Karakteristik UMKM

Dari keseluruhan hasil pemetaan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat banyak perbedaan pola distribusi atau sebaran kategori kelas UMKM di mana kelas terbanyak adalah Tradisional Teladan dan Berkembang. Adapun yang perlu ditekankan adalah temuan (pada gambar di bawah) bahwa kenaikan kategori skala – yaitu dari Usaha Mikro ke Usaha Kecil, Usaha Kecil ke Usaha Menengah, dan Usaha Menengah ke Usaha Besar – baru akan mulai terjadi setelah UMKM mengalami peningkatan kategori kelas dari Kelas Modern ke Modern Utama; dan dari Modern Utama ke Modern Teladan.

Sumber: Kajian ukmindonesia.id – LPEM UI

Temuan ini semakin menegaskan pentingnya pelatihan dan pendampingan UMKM secara terstruktur dan berkelanjutan. Pertama adalah karena kelas terbanyak terletak pada kategori kelas Tradisional Teladan dan Berkembang. Kedua adalah karena dampak pada peningkatan kelas terhadap peningkatan Aspek Skala, baru mulai terjadi signifikan di tahapan Kelas Modern.

Baca Juga: Saatnya Naik Kelas! Ini 6 Keunggulan WhatsApp Business Untuk Tingkatkan Omzet UMKM

Dengan kata lain, kajian ini menyimpulkan bahwa, program pelatihan dan pendampingan yang bersifat setengah-setengah, terlebih yang hanya bersifat event-based atau project based, tidak akan efektif dalam mendampingi UMKM mengalami kenaikan Aspek Skalanya. Hal ini karena 1 atau 2 acara atau kegiatan yang bersifat saling lepas – tidak disusun ke dalam suatu rangkaian terstruktur - tidak akan dapat efektif membantu UMKM untuk naik kategori kelas dari Tradisional Teladan atau Berkembang, sampai ke Kelas Modern dan Modern Utama. Implikasinya, jika UMKM peserta program tersebut akan tetap sulit mengakses ragam akses modal dan akses pasar yang jauh lebih besar, yang justru sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas skala usaha UMKM.

Oleh karena itu, pendampingan bersifat krusial bagi UMKM yang sudah berada di kategori kelas Tradisional Teladan dan Berkembang – yang secara skala mayoritas merupakan Usaha Mikro; namun perlu dikemas dengan materi edukasi yang terstruktur dan berkelanjutan sedemikian rupa sehingga cukup memadai untuk mendampingi mereka untuk tahu, bisa mengimplementasikan, dan mampu mengambil langkah strategis yang bisa membuat UMKM naik kelas setidaknya sampai dengan kelas Modern dan Modern Utama.


Tips UMKM untuk Naik Kelas 

Berdasarkan kajian tersebut, berikut beberapa tips yang perlu terpenuhi agar UMKM bisa naik kelas, antara lain:  

  1. Pelajari semua 12 aspek untuk naik kelas. Ketika belajar, kebanyakan UMKM hanya mementingkan untuk belajar pemasaran. Padahal transformasi bisnis itu harus menyeluruh. Apalagi pola pikir dan cara pandang yang perlu kita asah terus.
  2. Ikuti pendampingan seperti coaching atau mentoring. Ikut pelatihan saja tidak cukup, apalagi jika ikut secara random tanpa tujuan. Diperlukan metode pembelajaran yang lebih efektif untuk naik kelas. Dengan mengikuti coaching atau mentoring, maka kita bisa mendapatkan masukan-masukan berharga dari mereka untuk pengembangan bisnis. Segera cari coach atau mentor untuk bisnis Sahabat Wirausaha.
  3. Evaluasi secara berkala. Aspek-aspek kenaikan kelas ini tidak bisa diukur hanya sekali. Dengan evaluasi rutin, Sahabat Wirausaha dapat mengetahui mana saja aspek yang menjadi kelemahan sehingga menjadi prioritas untuk belajar. Lalu, teman-teman juga bisa tahu mana saja aspek yang mengalami peningkatan.

Sahabat Wirausaha, untuk naik kelas diperlukan berbagai usaha keras. Dengan banyaknya UMKM yang masih di kelas Tradisional menunjukkan bahwa UMKM kita masih belum banyak mau belajar. Kita juga melihat bahwa fenomena ini semua berlaku di semua wilayah dan kelompok sektor. 12 aspek dalam indeks naik kelas ini bisa menjadi titik awal untuk UMKM dapat belajar. 

Disini juga dapat diketahui bahwa program pelatihan dan pendampingan diperlukan untuk lebih terstruktur sehingga membantu pengembangan UMKM. Indeks naik kelas ini seharusnya menjadi alat check-up UMKM secara rutin. Hasilnya bisa untuk menjadi panduan bagi UMKM untuk belajar secara berkesinambungan. Saatnya UMKM naik kelas!

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini.