Kakao atau cokelat adalah salah satu komoditas yang paling tinggi nilai perdagangannya di dunia. Sejak era kolonialisme, kakao sudah menjadi komoditas ekspor dari Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, kakao sudah mulai diekspor dari Indonesia ke negara tetangga, Filipina, sejak abad 16.

Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kakao dunia semenjak adanya ekspansi penanaman kakao oleh Spanyol yang ingin menanam kakao keluar dari habitat aslinya di Amerika Tengah karena kebutuhan kakao dunia yang terus meningkat. Karenanya, Spanyol kemudian menanam melalui daerah jajahannya yang waktu itu salah satunya adalah Filipina.

Dikarenakan kedekatan Sulawesi dan Filipina, beberapa pelayar kemudian membawa biji kakao dari Filipina ke Sulawesi utara dan mencoba menanam di sana. Dan ternyata berhasil. Karenanya, kemudian kakao mulai ditanam pula di Sulawesi pada awal abad 16.

Baca Juga: Potensi Ekspor Bahan Alami Kosmetik

Kakao semakin meningkat ketika Indonesia menjadi jajahan Belanda lewat VOC pada abad 18 dan sempat menjadi salah satu komoditas yang menjadi icon tanam paksa atau kultur stelsel. Dan kini, di abad 21 ini, kakao semakin tinggi permintaannya seiring dengan meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat dunia.

Salah satu alasan mengapa kakao semakin diminati adalah karena ditemukannya data bahwa kakao mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi berupa antioksidan. Senyawa polifenol yang bertindak sebagai antioksidan ini semakin digandrungi masyarakat yang ingin tetap menjaga kesehatan di tengah budaya konsumsi makanan yang tinggi radikal bebas seperti saat ini.

Antioksidan juga menjadi penting karena mampu melindungi sel dark kerusakan molekul reaktif dan menghambat pertumbuhan sel kanker. Penelitian khasiat kakao ini dilakukan oleh Food and Chemical Toxicology.

Selain tinggi antioksidan, British Cardiac Society menyatakan bawah kakao mempunyai kandungan yang dapat mengurangi kadar LDL dalam darah sehinggai membantu memperkecil peluang terjadinya penyakit jantung atau stroke.

Indonesia adalah negara penghasil kakao nomer 5 terbanyak di dunia. Sempat menjadi negara penghasil kakao nomer 3 terbesar, namun kini jumlah ekspornya terus menurun selama beberapa waktu terakhir. Kondisi kebun kakao Indonesia yang menua dan petani kakao yang jarang memiliki generasi penerus, menjadi beberapa problema besar.

Alih lahan juga menjadi tantangan untuk industri perkebunan kakao Indonesia. Namun di samping tantangan besar, ada potensi besar pula untuk industri pengolahan kakao Indonesia.

Kebutuhan global untuk kakao adalah sekitar 4 juta metrik ton. Dari angka tersebut, 70%nya disumbang dari Pantai Gading, Ghana, Nigeria dan Kamerun yang terletak di Afrika. Indonesia menyumbang pada angka sekitar 5% dari total ekspor kakao dunia, yaitu sekitar 200 ribu metrik ton per tahun.

Indonesia sendiri menghasilkan kakao sebanyak 450 ribu metrik ton per tahun. Dan 250 ribu metrik ton di antaranya diproses di dalam negeri untuk menjadi produk intermediet ataupun produk jadi. Produk olahan kakao terbagi menjadi dua kelompok besar. Yaitu bahan intermediete atau bahan setengah jadi ataupun produk industri akhir atau berupa barang jadi.

Baca Juga: Surat Keterangan Ekspor Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik

Produk ekspor Indonesia yang berupa bahan setengah jadi, seperti bubuk kakao, lemak kakao dan pasta kakao dan kakao cake (bahan baku untuk membuat bubuk cokelat) sebesar 81 ribu metrik ton atau senilai 175 juta dolar. Selain itu, ekspor kakao berupa biji kakao kering. Nilai ekspor kakao bagi Indonesia menempati posisi ekspor komoditas non-migas nomer 3 terbesar setelah kelapa sawit dan kelapa.

Sedangkan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia selama ini untuk biji kakao kering mentah, utuh maupun pecah adalah Amerika dan Malaysia. Dari 2 negara tersebut, kakao Indonesia kemudian digiling dan diolah menjadi bahan baku setengah jadi maupun bahan jadi untuk dikirimkan ke negara-negara konsumen terbesar cokelat dunia di Amerika dan Eropa Utara. 16 dari 20 negara konsumen terbesar cokelat dunia berada di Eropa Utara.

Kakao Indonesia dikenal mempunyai kebaikan pada lemak kakaonya yang punya titik leleh lebih tinggi pada suhu ruang sehingga dapat membuat olahan cokelat yang dibuat menggunakan kakao Indonesia menjadi lebih tahan pada suhu ruang. Biji kakao Indonesia juga dikenal relatif rendah residu pestisidanya dibandingkan negara eksportir lainnya.

Namun kekurangan kakao Indonesia juga cukup mempengaruhi performa ekspor biji kakao Indonesia. Biji kakao Indonesia dikenal kurang baik mutunya karena pasca panen yang buruk, bijinya banyak yang kecil sehingga yield pengolahan produknya menjadi lebih kecil, serta kadar keasamannya tinggi sehingga seringkali tidak sesuai dengan harapan produsen.

Sebuah analisa perdagangan kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor yang cukup mendalam, di tulis oleh Anggita Tresliyana Suryana, Anna Fariyanti dan Amzul Rifin menggunakan pengukuran Gravity Model dengan parameter GDP riil per kapita negara tujuan ekspor, nilai tukar dan bea keluar biji kakao menyarankan hasil sebagai berikut :

Indonesia dapat meningkatkan pangsa pasar dengan lebih memprioritaskan ekspor kakao biji ke Cina, Amerika Serita serta Brazil. Ekspor kakao butter (lemak kakao), sebaiknya ditingkatkan ke Cina, Australia dan UAE. Sedangkan untuk kakao powder (bubuk kakao), lebih diprioritaskan ke negara-negara Estonia, Rusia dan Australia.

Baca Juga: Potensi Ekspor Suplemen Kesehatan Herbal (Jamu)

Hal ini dikarenakan di negara-negara tersebut, Indonesia merupakan eksportir kakao yang berdaya saing. Negara-negara tersebut juga memiliki pertumbuhan GDP rill per kapita yang baik serta masih potensial bagi perdagangan Indonesia.

Hasil penelitian ini juga memberikan gambaran bahwa ekspor kakao Indonesia dapat pula ditujukan ke negara-negara non-konvensional untuk perdagangan kakao. China, Estonia, Rusia dan UAE adalah negara tujuan ekspor baru yang mempunyai peluang ekspor yang baik.

Lalu bagaimana dengan produk olahan jadi seperti cokelat batangan, cokelat masak, minuman cokelat dan aneka olahan cokelat lainnya? Beberapa negara seperti Eropa Utara memberlakukan bea masuk produk olahan cokelat yang cukup tinggi karena olahan cokelat juga merupakan produk dalam negeri mereka yang ingin mereka lindungi.

Ini menyebabkan ekspor produk olahan ke negara-negara Eropa akan terkendala karena besarnya bea masuk. Namun demikian, peluangnya masih besar untuk negara-negara ASEAN kecuali Malaysia yang juga mempunyai industri pengolahan kakao yang cukup besar.

Saat ini pemerintah ingin menaikkan lagi kapasitas produksi kakao dalam negeri. Selain untuk memenuhi kapasitas pengolahan dalam negeri, pemerintah juga ingin mengekspor biji kakao kering maupun produk olahan.

Harga kakao dunia yang semakin meningkat juga menjadi peluang karena nilai ekspor juga akan terkatrol dengan adanya kenaikan harga dunia. Namun untuk menuju ke sana, ada beberapa pekerjaan rumah dahulu yang harus dikerjakan. Terutama untuk menaikkan kapasitas produksi kebun kakao Indonesia.

Saat ini kemampuan produksi kebun kakao Indonesia berkisar pada angka 700kg kakao kering per hektar. Sedangkan rerata produksi kakao di Afrika berada pada angka 1.5-2ton kakao kering per hektar. Ada gap yang cukup besar di sini yang memerlukan intervensi dari pemerintah. Revitalisasi tanaman kakao tua perlu dilakukan di seluruh sentra produksi kakao di Indonesia.

Baca Juga: Mempersiapkan Kemasan (Packaging) untuk Memenuhi Standar Ekspor

Namun revitalisasi juga perlu diimbangi dengan pemupukan dan penanggulangan hama karena banyak potensi kakao menjadi tidak tercapai akibat serangan hama. Bila on-farm sudah dilakukan dengan baik, maka pasca panen akan menjadi PR selanjutnya karena dengan pasca panen yang baguslah maka kualitas biji kakao Indonesia bisa terbentuk.

Negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina sudah lebih dahulu memperbaiki sisi on-farm kakao mereka semenjak 10 tahun yang lalu. Saat ini kakao Vietnam dan Filipina sudah mulai menjadi idola di kalangan pembuat cokelat artisan karena kualitas yang bagus dan konsisten.

Teknik sambung samping atau sambung pucuk dapat memotong periode tidak berproduksi yang seringkali menjadi ganjalan di petani untuk mau melakukan revitalisasi kebunnya. Biasanya, untuk melakukan penanaman pohon kakao baru dari bibit, akan diperlukan waktu sekitar 3 sampai 4 tahun dimana kakao tidak akan dapat berproduksi.

Ini yang menjadi keengganan petani untuk melakukan revitalisasi. Teknik sambung samping dapat memotong periode ini menjadi 1.5 tahun saja. Dan dalam periode vakum tersebut, petani kakao dapat menanam tanaman produktif lain yang bisa berbuah dengan cepat dan terdapat pasar yang bisa menyerapnya misalkan tanaman buah seperti pisang dan papaya.

Selain memberikan dampak penghasilkan, tanaman buah bisa menjadi tanaman penaung bagi tanaman kakao yang sedang tumbuh dan dapat memberikan flavor tambahan pada biji cokelat yang dihasilkan nantinya.

Baca Juga: Sukses Ekspor Dengan Penggunaan Platform Digital

90% lebih hasil produksi kakao Indonesia merupakan kebun rakyat dan bukan berupa korporasi. Sehingga diperlukan strategi khusus untuk dapat menaikkan kapasitas produksi kebunnya. Selain hal-hal teknis seperti peremajaan tanaman, pemberian pupuk secara regular, pemangkasan, perbaikan pasca panen dan lainnya, diperlukan pula penguatan pada sisi petani pada sisi kelembagaan. Petani perlu diajak untuk membentuk kooperasi agar lebih berdaya.

Kendala bahwa banyak petani kakao kini berusia tua dan tidak memiliki generasi penerus, juga perlu disolusikan. Petani yang identic dengan kemiskinan membuat generasi muda tidak lagi tertarik untuk meneruskan usaha kebun kakao yang dimiliki keluarga.

Harga jual kakao yang rendah memang menjadi salah satu kondisi yang berat selain kondisi produksi yang terus menurun. Perlu ada gebrakan khusus untuk dapat menaikkan kualitas kakao menjadi premium yang akan mengerek harga kakao ke angka yang akan memberikan kehidupan yang layak bagi petaninya.

Akademisi juga perlu dilibatkan dalam proses perbaikan industry kakao Indonesia. Proses pasca panen yang seringkali menjadi ganjalan dalam peningkatan kualitas di on-farm perlu disolusikan bersama dengan akademisi agar pelaksanaan di lapangannya, petani dapat melakukan pasca panen dengan mudah dan murah.

Baca Juga: Kesuksesan Ekspor Hitara Black Garlic Menciptakan Nilai Keunggulan Produk Bawang

Pada sisi marketing, kakao perlu mulai melirik pada konsep yang sudah diperkenalkan kopi sebelumnya yaitu konsep ketertelusuran. Konsep single origin atau single estate pada kopi, dapat pula dilakukan pada cokelat agar muncul kakao premium yang tidak hanya enak dari sisi rasa namun juga memiliki ketertelusuran yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan manfaat lebih banyak kepada petani.

Untuk menyematkan ketertelusuran pada kakao, maka perlu adanya perbaikan dari sisi perkebunan (berupa pemilihan bibit yang baik, peremajaan tanaman bila diperlukan, perawatan tanaman dengan konsep Agriculture dan organic, serta sertifikasi yang berkaitan dengan kualitas dan keberlangsungan atau sustainability).

Dengan memastikan ketertelusuran pada sisi komoditas kakao, maka selain mengangkat komoditas kakao dari sekedar bulk commodity menjadi premium commodity, juga dapat memperbaiki nilai tawar dari sisi petani demi kehidupan yang lebih baik. Tentu prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi sepertinya kita tidak punya banyak pilihan karena negara-negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia mulai pula mengangkat kualitas biji kakao mereka di level dunia.

Sekitar 5 tahun terakhir, dunia sedang gandrung dengan konsep bean to bar chocolate, dimana para pembuat cokelat kecil atau artisan mulai membuat cokelat dari biji kakao langsung. Konsep yang selama ini berbeda dengan dunia pastry, dimana para chef pastry biasanya membuat produk cokelat dari cokelat kemasan.

Membuat cokelat dari biji membutuhkan keahlian tambahan seperti sortasi biji, pemanggangan, proses penggilingan, pembentukan rasa dan tekstur sampai kemudian cokelat bisa siap dikonsumsi. Konsep bean to bar chocolate yang awalnya bermula dari Amerika dan Eropa sebagai pasar terbesar cokelat dunia, kini mulai bergeser ke negara penghasil kakao seperti Meksiko, Peru, Bolivia, Vietnam, Filipina dan Indonesia.

Baca Juga: Meningkatkan Daya Saing Ekspor Dengan Mengkomunikasikan Prinsip ‘Sustainability’

Gerakan ini banyak yang memulai setelah terinspirasi dari tulisan di website www.chocolatealchemy.com. Bahkan kini mulai bermunculan pula pembuat bean to bar chocolate dari India. Supply chain berupa perkebunan kakao di India dan China juga mulai menyambut naiknya trend ini.

Di Indonesia sendiri, pembuat cokelat bean to bar dengan konsep produk yang mengangkat keunikan dari setiap daerah penghasil kakao dan petaninya juga mulai bermunculan. Sustainability dan traceability menjadi issue penting pada konsep bean to bar chocolate, ini pula yang kemudian sesuai dengan Sustainable Development Goals yang diharapkan akan terimplementasi di banyak negara oleh PBB.

Kompetisi dunia cokelat pun kini juga merambah pada sisi bean to bar chocolate dengan adanya berbagai macam chocolate award untuk bean to bar chocolate. Negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina kini sudah mulai dilirik sebagai salah satu produsen kakao premium dunia karena performa baik mereka dalam ajang kompetisi dunia cokelat.

Baca Juga: Membedah Platform E-Commerce Untuk UKM Ekspor

Indonesia pun mau tak mau harus pula mulai mengikuti trend ini agar tidak tertinggal. Cokelat akan mulai mengikuti trend artisan seperti halnya kopi karena konsumen pun kini ingin mendapatkan produk yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.