Sahabat Wirausaha, ketika pandemi Covid-19 baru melanda Indonesia pada Maret 2020 lalu, masyarakat negeri ini seolah langsung berbondong-bondong mengumpulkan aneka obat dan vitamin demi meningkatkan daya tahan tubuh. Tidak hanya suplemen yang berasal dari pabrik-pabrik farmasi, sejumlah obat-obat herbal juga menjadi salah satu yang laris manis.

Kondisi ini akhirnya semakin menguatkan kesadaran bahwa negeri ini begitu kaya dengan tanaman obat yang berkhasiat sebagai suplemen kesehatan herbal. Bahkan jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia tidak kalah dalam memiliki aneka jenis tanaman obat. Melimpahnya jumlah tanaman obat pun rupanya memberikan peluang bisnis yang cukup besar untuk produk-produk suplemen kesehatan herbal.

Baca Juga: Potensi Ekspor Bahan Alami Kosmetik

Bagi para pelaku bisnis UKM (Usaha Kecil dan Menengah), situasi ini jelas menjadi pasar yang menjanjikan untuk menawarkan aneka suplemen herbal atau kerap disebut jamu kepada masyarakat. Tidak hanya untuk kebutuhan domestik, produk olahan jamu instan siap saji juga menjadi salah satu komoditas ekspor yang menjanjikan di luar negeri.


Indonesia Melimpah dengan Tanaman-Tanaman Obat Herbal Berkhasiat

Berdasarkan siaran pers yang dilansir dari website resmi Badan POM, Indonesia setidaknya memiliki 30 ribu spesies tumbuhan maupun sumber daya laut. Dari jumlah yang luar biasa itu, peluang negeri ini menjadi eksportir utama untuk suplemen kesehatan herbal dari tanaman obat jelas sangatlah terbuka lebar. Hanya saja ternyata ada sekitar 9.600 spesies tanaman dan hewan yang diketahui punya khasiat sebagai suplemen herbal belum dimanfaatkan maksimal.

Menurut Profesor dr Edi Dharmana, MSc, PhD, SpParK selaku imunolog sekaligus peneliti herba dari Universitas Diponegoro, tanaman-tanaman obat sebetulnya relatif mudah ditemukan di Indonesia.


Sumber: Miske/UNSPLASH

“Sejarah obat-obatan herbal ini memang sudah cukup lama bahkan sejak ribuan tahun lalu dan telah digunakan orang-orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan di negeri ini ada banyak masyarakat yang melakukan budidaya tanaman herbal,” papar Edi.

Baca Juga: Surat Keterangan Ekspor Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik

Hanya saja jika disuruh memilih, memang ada sejumlah tanaman obat yang paling populer digunakan sebagai suplemen kesehatan herbal. Apa saja? Dilansir detikHealth, berikut beberapa di antaranya yang wajib Sahabat Wirausaha ketahui:

1. Meniran

Tanaman obat asli Indonesia yang pertama dan sering dijadikan suplemen kesehatan herbal adalah meniran. Tanaman semak yang mudah ditemui ini sering dipandang sebagai tanaman liar tapi ternyata punya banyak manfaat. dr Helmin Agustina Silalahi selaku Medical Manager Consumer Health Division PT Kalbe Farma menyebutkan kalau phyllanthus urinaria ini sudah terbukti mampu mengatasi flu.

Herbal ini memiliki kandungan yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga mereka yang sedang sakit bisa cepat pulih.

2. Temulawak

Bisa dibilang kalau temulawak adalah salah satu tanaman obat unggulan yang berasal dari Indonesia. Tanaman obat dengan nama ilmiah Curcuma Zanthorrhiza ini bahkan disebut Dr Roy Sparringa selaku mantan Kepala BPOM, digunakan di lebih dari 900 produk obat tradisional yang resmi terdaftar. Sebagai tanaman asli pulau Jawa, temulawak bahkan sudah menyebar di negara-negara Asia Tenggara lainnya hingga Tiongkok, Jepang, Korea dan Amerika Serikat.

Diyakini mampu meningkatkan nafsu makan, temulawak akhirnya turur membantu sel-sel tubuh dalam meningkatkan kekebalan atau imunitas. Bahkan temulawak juga punya manfaat baik untuk hati, membantu memperbaiki fungsi pencernaan, menurunkan kadar lemak darah sampai tentunya antioksidan.

3. Bangle

Termasuk tanaman obat yang masih berkerabat dengan temulawak, kunyit, kencur dan juga jahe, zingiber cassumunar dipercaya mengandung mineral, albumin dan minyak atsiri. Dari penjelasan buku Tanaman Obat Keluarga, tanaman obat berbatang semu dengan tinggi mencapai 1,5 meter ini mampu meredakan nyeri dan demam karena khasiat antiradang.

Baca Juga: Potensi Ekspor Si Pedas Penambah Selera

4. Jahe Merah

Inilah salah satu tanaman obat yang begitu menghebohkan Indonesia saat pandemi Covid-19 mulai meningkat. Tanaman rimpang bernama latin zingiber officinale var rubrum rhizoma ini diyakini mempunyai kandungan zat gingerol dan shogaol yang berperan sebagai antioksidan. Bahkan varietas ini sempat sangat diperebutkan keberadaannya karena punya senyawa aktif yang lebih tinggi daripada varietas jahe lain, sampai mengobati Covid-19.


Sumber: Annie Spratt/UNSPLASH

Namun menurut Masteria Yunovilsa Putra selaku Kepala Kelompok Penelitian Center for Drug Discovery and Development dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, jahe merah sebetulnya tak menyembuhkan atau membunuh virus pemicu Covid-19. Dilansir website resmi LIPI, jahe merah punya efek immunodulator atau membantu meningkatkan daya tahan tubuh sehingga bisa membant pemulihan virus sampai mencegahnya.

5. Mengkudu

Dianggap sebagai buah yang begitu pahit dan dihindari oleh banyak orang, mengkudu justru punya khasiat tinggi bagi kesehatan. Tanaman obat yang juga sering disebut morinda citrifolia oleh para ahli itu bahkan bisa membantu kondisi penyakit jantung sampai diabetes berkat kandungan polisakarida di dalamnya.

Prof Dr Ediati Sasmito, Apt selaku ahli dari Fakultas Farmasi UGM juga menyebutkan jika mengkudu bisa menjadi immunostimulator alias menormalkan imun. Tak heran kalau akhirnya para penderita jantung dianjurkan banyak mengonsumsi mengkudu, lantaran obat kanker biasanya bisa menurunkan sistem imun si penderita.

6. Kunyit

Sebagai tanaman asli Asia Tenggara, curcuma longa linn memang lebih sering digunakan sebagai rempah-rempah bumbu masakan. Padahal kandungan kurkumin di dalam kunyit atau kunir telah terbukti secara ilmiah mampu memberikan manfaat antioksidan, antiinflamasi, antivirus, antibakteri hingga membantu kondisi penderita diabetes, radang sendi, alzheimer sampai kondisi penyakit-penyakit lainnya.

Tak heran kalau kunyit adalah salah satu bahan baku suplemen kesehatan herbal alias jamu yang sangat populer di Tanah Air, serta sudah digunakan dari generasi ke generasi.

Baca Juga: Peluang Pasar: Virgin Coconut Oil (VCO)

7. Saga

Banyak orang Indonesia yang meyakini jika tanaman bernama ilmiah abrus precatorius ini sangatlah ampuh sebagai obat batuk herbal terutama bagian daunnya. Relatif mudah ditemukan terutama di tepi-tepi jalan, saga bisa membantu mengatasi masalah tenggorokan dan cukup aman bagi ibu hamil.

8. Kumis Kucing

Tanaman unik dengan nama ilmiah orthosiphon aristatus ini ternyata sangat efektif untuk mengatasi masalah buang air kecil. Hal ini diungkapkan oleh dr Danang Ardiyanto dari Klinik Saintifikasi Jamu milik Balitbangkes Kemenkes RI. Menurut Danang, kumis kucing yang dipadukan dengan tanaman obat lain seperti seledri mampu menghasilkan ramuan jamu yang sangat berkhasiat untuk tubuh.

9. Seledri

Tanaman obat berkhasiat asli Indonesia ini mungkin sering Sahabat Wirausaha gunakan sebagai salah satu bumbu masakan. Namun ternyata si hijau bernama ilmiah apium graveolens ini memiliki khasiat positif bagi kesehatan yakni membantu menurunkan hipertensi. Bahkan kini sejumlah ahli tengah berupaya mengembangkan seledri menjadi obat berbahan herba yang sudah terbukti keamanan dan khasiatnya secara klinis, atau kerap disebut fitofarmaka.


Pandemi, Momentum Suplemen Kesehatan Herbal Jadi Primadona

Sumber: Todd Quackenbush/UNSPLASH

Dengan fakta banyaknya tanaman-tanaman obat berkhasiat, prediksi kalau negeri ini bisa jadi eksportir utama produk suplemen kesehatan herbal jelas bukan sekadar khayalan. Apalagi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pandemi Covid-19 ternyata menjadi momentum produk-produk olahan jamu Nusantara jadi primadona.

Baca Juga: Potensi Ekspor Minyak Atsiri Indonesia

Salah satu produsen jamu modern yakni PT Mustika Ratu Tbk bahkan fokus memaksimalkan potensi obat herbal tradisional selama pandemi. Dilansir Berita Satu, produk-produk seperti vitamin, suplemen herbal dan madu merupakan sejumlah barang yang mengalami peningkatan permintaan saat wabah corona melanda. Hal ini ditegaskan pula oleh Bingar Egidius Situmorang selaku Presiden Direktur Mustika Ratu.

Meningkatnya permintaan akan produk-produk jamu modern ini disebabkan oleh anggapan masyarakat yang lebih meyakini efek samping produk herbal dengan bahan baku tanaman obat alami, cukuplah rendah jika dibanding obat-obat pabrik farmasi. Karena itulah nilai ekspor tanaman biofarmaka (tanaman yang bermanfaat untuk obat-obatan, kosmetik dan kesehatan) patut jadi perhatian para pelaku bisnis di bidang kesehatan.

Hanya saja kendati negeri ini begitu kaya dengan tanaman biofarmaka, Indonesia berada di posisi ke-19 sebagai negara eksportir dunia. Mencatat market share sebesar 0,62%, Indonesia jelas kalah jauh dari India dan China yang menduduki posisi puncak.

“Peluang biofarmaka sangatlah besar di Indonesia. Dengan dukungan para pemangku kepentingan, Indonesia tentu bisa memaksimalkan diri sebagai eksportir suplemen kesehatan herbal. Menurut analisis Euromonitor pada tahun 2020, forecast penjualan jamu dan obat herbal nasional di Indonesia mencapai Rp23 triliun per tahun 2025. Di mana hingga tahun 2020 kemarin, sudah mencapai Rp13,8 triliun,” ungkap Bingar dalam acara IIDS 2021.

Baca Juga: Potensi Ekspor Rempah-Rempah di Pasar Eropa

Hanya saja dengan peluang yang terbuka lebar, pengolahan tanaman-tanaman obat herbal itu bukan tanpa tantangan. Lantaran cakupan bisnis jamu yang begitu besar itulah, Muhammad Khayam selaku Dirjen IKFT Kementerian Perindustrian menganjurkan bahwa puluhan ribu jenis tanaman obat bisa didorong untuk olahan jamu maupun herbal terstandar (fitofarmaka).

“Proses pengembangan senyawa aktif terstandar dalam tanaman memang butuh waktu lama dan biaya sangat besar. Untuk itulah kegiatan riset dan proses inovasi bahan baku alam harus didukung dari seluruh pemangku kepentingan, baik sisi pembiayaan dan regulasi. Karena bagaimanapun juga, pasar obat tradisional ini sangat menjanjikan bagi produsen. Pelaku-pelaku UKM harus bisa membuat produk jamu yang menarik agar bisa bersaing dengan herbal impor,” papar Khayam panjang lebar.

Berkaitan dengan masa pandemi Covid-19, sektor industri farmasi, obat-obat kimia dan obat tradisional bahkan mampu menunjukkan kerja gemilang. Di saat banyak sektor industri lesu dihajar corona, sektor ini mampu bertumbuh sebesar 14,96% dan terbukti tak terpengaruh oleh pandemi serta berbagai kebijakan pembatasan sosial dari pemerintah kala itu.

Lebih lanjut, Kemenperin juga saat ini mendukung penuh pengembangan obat tradisional jadi OMAI (Obat Modern Asli Indonesia) yang berupa OHT (Obat Herbal Terstandar) dan Fitofarmaka. Setidaknya harapan agar OHT sudah diproduksi secara masif pada tahun 2024 begitu tinggi, sehingga dua tahun kemudian fasilitas pengembangan itu sudah menghasilkan fitofarmaka dengan nilai ekonomi menjanjikan.

Hanya saja dengan OMAI yang belum jadi rujukan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), tentu saja masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Belum lagi dengan ambisi untuk jadi eksportir jamu modern secara global, Indonesia sudah seharusnya memberikan fasilitas ruang gerak pada para peneliti tanaman obat-obatan berkhasiat agar punya daya saing tinggi.


Mengintip Pasar Luar Negeri yang Menyambut Jamu Indonesia

Sumber: Joanna Kosinska/UNSPLASH

Menurut data Kemenperin yang dilansir Prima Cargo, produk farmasi Indonesia baik ilmiah dan tradisional mencapai nilai US$635 juta (sekitar Rp9,2 triliun) pada tahun 2022. Jumlah nilai ekspor ini rupanya meningkat 4,27% dari tahun sebelumnya. Di mana negara-negara seperti Singapura, Jepang, Filipina, India dan Thailand sebagai tujuan ekspor utama. Dari nilai yang dilaporkan itu, terungkap bahwa ekspor obat Indonesia sudah mulai meningkat sejak 2016.

Baca Juga: Meningkatkan Daya Saing Ekspor Dengan Mengkomunikasikan Prinsip ‘Sustainability’

Jika ditelusuri lebih lanjut, BPS (Badan Pusat Statistik) yang dikelola Kemendag melaporkan total nilai ekspor jamu Indonesia pada tahun 2021 mencapai US$41,5 juta (sekitar Rp606 miliar). Namun seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penetrasi produk jamu asal Indonesia di pasar luar negeri memang belumlah cukup menggembirakan.

Dari nilai pasar dunia untuk produk obat alam yang sebesar Rp1.936,9 triliun, penguasaan jamu masih sangat rendah yakni hanya Rp16 triliun atau sekitar 0,8% dari total pasar dunia, seperti dilansir Jamu Digital. Penny K. Lukito selaku Kepala BPOM Ri juga mengatakan bahwa kini permintaan suplemen kesehatan herbal secara global emmang meningkat.

Namun jika jamu-jamu asli Indonesia ingin mengambil peran, tentu harus memperhitungkan betul aspek kualitas, keamanan, kemanfaatan dan mutu produk. Setidaknya para produsen jamu ini haruslah mampu memenuhi standar CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Dengan mayoritas 90% produsen jamu Tanah Air adalah pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), bimbingan teknis pemenuhan standar CPOTB diperlukan.

Setidaknya jika Sahabat Wirausaha tertarik untuk menggeluti bisnis produk jamu modern, ada beberapa hal yang wajib diketahui dan dipenuhi. Apa saja? Berikut beberapa di antaranya:

1. Pemenuhan Kualitas Produk

Hal pertama yang harus dipenuhi Sahabat Wirausaha agar produk jamunya berpeluang jadi komoditi ekspor adalah pastikan memenuhi standar kualitas yang diinginkan. Apalagi jika bicara skala ekspor ke luar negeri, produk jamu modern haruslah sesuai dengan permintaan konsumen. Tentu untuk menjaga kualitasnya, pemilihan bahan baku premium sangatlah harus diperhatikan.

Baca Juga: UKM Bisa Siap Ekspor Dengan Kenali 8 Hal ini

2. Kelengkapan Izin Produk

Masih berkaitan dengan kegiatan ekspor, tentu saja produk yang dijual di luar negeri bukanlah produk biasa. Perdagangan lintas negara biasanya menerapkan sejumlah aturan yang luar biasa ketat dengan berbagai regulasi yang harus dijalankan dan dimiliki.

Beberapa di antaranya yang paling standar adalah keberadaan izin edar produk. Di mana untuk ekspor ke Negeri Paman Sam, harus memperoleh izin yang diterbitkan oleh otoritas milik Amerika Serikat yakni FDA (Food and Drugs Administration).

3. Pengemasan Sesuai Standar

Meskipun jamu merupakan bagian dari obat-obat tradisional, tentu jika bicara komoditas ekspor haruslah dikemas dengan menarik dan sesuai standar. Tak hanya memandang nilai estetika, suplemen kesehatan herbal itu harus juga mampu memberikan jaminan kualitas produk yang tidak mengecewakan. Untuk itulah di dalam label wajib disertakan informasi produksi dan kadaluarsa sampai sejumlah manfaat bagi bahan baku yang digunakan.

4. Antisipasi Risiko

Jika ketiga hal sebelumnya sudah diterapkan oleh Sahabat Wirausaha, maka hal berikutnya adalah bersiap untuk skenario terburuk. Supaya risiko bisa diantisipasi hingga level minimal, ada baiknya jika kita menggunakan perlindungan asuransi untuk produk-produk ekspor. Sehingga dengan begitu pihak produsen akan tetap memberikan perlindungan maksimal kepada distributor sampai sesama pengusaha.

Dengan menerapkan keempat hal di atas, Sahabat Wirausaha tentu bisa memulai asa sebagai pengusaha jamu yang layak diperhitungkan. Sebagai tambahan, Dwi Ranny Pertiwi Zarman yang berperan sebagai Ketua Umum GP Jamu menjelaskan bahwa saat ini sudah ada 13 industri jamu asli Indonesia yang mengekspor produknya ke luar negeri. Pemerintah pun mempercepat 15 negara tersisa dari total 58 negara penerima ekspor jamu agar produk jamu terus menjanjikan.

Tak hanya ke negara-negara Asia Tenggara hingga kawasan Asia lainnya, produk jamu Indonesia dilaporkan Kompas memiliki peluang yang menjanjikan di benua Afrika sana. Salah satu negara yang begitu menyukai obat-obat tradisional Indonesia adalah Nigeria. Di mana sepanjang tahun 2016 hingga 2018 silam, Nigeria mencatat nilai impor tertinggi untuk obat-obat tradisional, suplemen kesehatan serta tentunya kuasi dari Indonesia.

Untuk itulah seperti dilansir Investor, Kemendag melalui ITPC (Indonesian Trade Promotion Centre) Logos, terus mendorong agar produk-produk jamu modern bisa meningkat dalam segi nilai ekspor. Beruntung, Nigeria juga tercatat sebagai importir jamu terbesar di Afrika Barat.

Baca Juga: Potensi Ekspor Alat Kesehatan

Di mana berdasarkan data Kemendag, total perdagangan Indonesia – Nigeria pada periode Januari – April 2021 menyentuh US$776,49 juta (sekitar Rp1.346 triliun) dengan US$140,68 juta (sekitar Rp200 triliun ) di antaranya adalah nilai ekspor Indonesia ke Nigeria.

Munculnya nama Nigeria ini sendiri rupanya cukup diprediksi oleh Mintarjo dalam sesi webinar bertajuk Jamu Modern Untuk Pasar Indonesia, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Eropa. Menurutnya, kondisi iklim Afrika yang kering membuat produk jamu bisa laris manis diekspor. Hanya saja regulasi yang cukup ketat di Afrika serta biaya yang cukup tinggi, membuat pelaku bisnis UKM akan kesulitan.

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.