Dunia usaha di sektor farmasi, alat kesehatan, dan produk berbasis bahan kimia kini perlu lebih waspada. Pasalnya, Pasal 435 Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menetapkan sanksi tegas terhadap pihak yang memproduksi atau mengedarkan produk kesehatan tanpa memenuhi standar keamanan dan mutu.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa:

“Setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan/atau alat diagnostik in vitro yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Dengan ketentuan ini, pemerintah memperkuat pengawasan terhadap mutu produk farmasi yang beredar di masyarakat. Penekanan diberikan pada "setiap orang", yang artinya tak hanya korporasi besar, tetapi juga pelaku UMKM dan distributor kecil bisa tersangkut perkara pidana jika lalai memenuhi standar.


Teguran Keras dari BPOM

Dalam beberapa operasi penindakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan berbagai produk ilegal dan berbahaya yang dijual bebas oleh pelaku usaha kecil maupun pengecer.

Dilansir dari NusaBali.com, Kepala Balai Besar POM Denpasar, I Gusti Ayu Adhi Aryapatni, menyampaikan dengan tegas jika pelaku usaha yang mengedarkan produk tak sesuai standar akan dikenakan sanksi pidana.

"Sesuai dengan Pasal 435 Undang‑Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan … pelaku usaha yang memproduksi atau mengedarkan produk yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.” terangnya. 

I Gusti Ayu Adhi Aryapatni menambahkan bahwa pengawasan semakin diperketat pasca banyaknya kasus suplemen atau obat tradisional yang terbukti mengandung bahan kimia obat (BKO) berbahaya dan tidak terdaftar di BPOM.


Risiko bagi UMKM dan Pengedar Produk Tradisional

Aturan dalam Pasal 435 UU Kesehatan tersebut jelas akan berdampak langsung pada para pelaku UMKM, terutama yang bergerak di produksi jamu, obat tradisional, kosmetik rumahan, hingga alat kesehatan sederhana seperti masker atau tes diagnostik.

Banyak dari mereka belum memahami sepenuhnya bahwa produk mereka termasuk dalam kategori yang wajib memenuhi syarat mutu dan keamanan. Tanpa izin edar BPOM atau uji laboratorium resmi, produk mereka bisa dianggap ilegal dan melanggar hukum.

Agar tidak terkena jerat hukum berat Pasal 435 UU Kesehatan, pelaku usaha disarankan untuk melakukan langkah-langkah berikut:

  1. Pastikan produk memiliki izin edar dari BPOM atau Kementerian Kesehatan.

  2. Gunakan bahan baku yang jelas asal-usulnya, hindari pembelian dari pemasok ilegal.

  3. Lakukan pengujian mutu dan keamanan secara berkala di laboratorium tersertifikasi.

  4. Ikuti pelatihan regulasi seperti CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik) atau CPOB untuk obat.

  5. Jangan meniru formula atau klaim yang belum terbukti, terutama yang berbau “obat mujarab” atau “khasiat instan”.

  6. Simpan catatan produksi dan distribusi untuk memudahkan pelacakan dan audit jika diperlukan.


Perlindungan Konsumen dan Edukasi Pelaku Usaha

Pasal 435 UU Kesehatan bukan untuk mematikan usaha kecil, melainkan sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen dan ekosistem bisnis jangka panjang.

Kasus kematian akibat konsumsi sirup obat anak yang mengandung cemaran etilen glikol pada tahun 2022 menjadi momentum penting dalam penguatan regulasi ini. Pemerintah tidak ingin kejadian serupa terulang.

Meski terasa berat, regulasi ini bisa menjadi pendorong bagi UMKM untuk meningkatkan kualitas dan memperluas pasar. Produk yang telah terverifikasi tidak hanya aman dikonsumsi, tetapi juga memiliki peluang ekspor dan masuk ke kanal distribusi modern.

Referensi: