
Risiko ketimpangan digital merupakan tantangan bagi ASEAN. Hal ini karena secara umum Usaha Mikro masih menjadi aktor ekonomi terbanyak di seluruh negara ASEAN. Peluang optimasi kolaborasi sektor Privat (swasta) dan Publik (pemerintah) juga kini jadi sorotan.
Tantangan tersebut dibahas pada sesi Public Private Policy Dialogue, 30 Juli lalu di Bangkok. dimana Founder kami, Ibu @dewi meisari menyampaikan bahwa jika terus dibiarkan, ketimpangan digital ini bisa merembet ke ketimpangan produktivitas dan kesejahteraan. Di Indonesia sendiri, masih banyak wirausaha Ultra Mikro yang belum go digital, akibat beberapa faktor tertentu.
Bila kita gali lebih dalam lagi, ada 3 jenis ketimpangan digital, yaitu : akses (access), penggunaan (usage), dan hasil (outcome). Di Indonesia contohnya, akses internet sudah di atas 90%, tapi penggunaannya hanya sekitar 65%. Mengapa? Karena akses internet mahal, jadi tidak semua orang yang sudah ada akses internet-nya, mampu menggunakan (cakap digital).
Kira-kira bagaimana dengan ketimpangan outcome-nya? Ini lebih sulit diukur karena menyangkut dampaknya ke produktivitas. Menurut prediksi ahli, ketimpangan outcome di Indonesia masih tinggi, karena yang rajin menggunakan internet untuk jualan dan bikin konten hanya sekitar 5% dari pengguna, sisanya pakai untuk hiburan, informasi dan medsos. Artinya belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan promosi dan layanan usaha sehingga sulit untuk berkembang.

Terkait peluang optimasi kolaborasi sektor Privat (swasta) dan Publik (pemerintah) juga jadi poin diskusi. Kami sebagai pihak swasta bermisi sosial (impact driven company) yang memandang bahwa kolaborasi antara pemerintah dan swasta memang sangat diperlukan. Pihak pemerintah bisa fokus pada masalah ketimpangan akses & penggunaan (usage), yaitu dengan mengurus pemerataan akses infrastruktur dan industri internet agar bisa lebih murah biayanya. Dengan begitu, ekonomi inklusif bisa tercapai, dimana akses dan kesempatan untuk sukses bisa tersedia dengan lebih setara bagi siapa pun yang mau belajar dan berusaha.
Jika pihak pemerintah bisa mengelola akses dan usage, maka pihak swasta seperti kami bisa mengurus ketimpangan outcome melalui implementasi ragam Program Pelatihan dan Pendampingan Digital. Pemerintah bisa berjalan sebagai pelaksana urusan “makro”, dan pihak swasta sebagai pelaksana urusan “mikro”. Apakah perusahaan jasa dan platform digital skala kecil menengah seperti kami bisa mengurus infrastruktur dan industri internet? Tidak bisa. Apakah kami bisa mengurus pelatihan peningkatan skill digital pelaku usaha mikro agar ketimpangan outcome digital bisa dikurangi? Bisa.
Pada kesempatan itu, Ibu Dewi pun menutup sesinya dengan menggunakan Pepatah Jerman: "Sebanyak-banyaknya peran swasta, jika memungkinkan. Sebanyak-banyaknya peran pemerintah, jika diperlukan".
Jangan sampai urusan-urusan besar jadi terbengkalai akibat pemerintah malah mengurus sendiri urusan-urusan kecil yang sebenarnya sudah bisa dikerjakan sendiri oleh rakyatnya.
Bagi sahabat semua yang ingin berkolaborasi dengan kami untuk kolaborasi edukasi via kampanye digital di media sosial, atau pelatihan dan pendampingan online atau hybrid untuk target sasaran Usaha Mikro Kecil, silakan hubungi kami di info@ukmindonesia.id. Salam kolaborasi!









