Crowd of people wearing face masks

Halo sahabat UKM, peperangan global melawan Covid-19 sudah mulai menunjukkan hasil nih. Vaksinasi yang sudah mulai dilaksanakan dan keberhasilan beberapa Pemerintah dunia dalam menegakkan protokol kesehatan secara perlahan namun pasti berhasil menurunkan kasus positif Covid-19. Optimisme ini terlihat jelas di negara Tiongkok yang merupakan pusat awal kehadiran virus Covid-19 namun secara perlahan sudah melonggarkan pembatasan akibat keberhasilan vaksinasi. Kondisi ini juga menandakan awal mula kebangkitan perekonomian global yang terpuruk sepanjang 2020, dimana seluruh negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga : Program Pemulihan Ekonomi Nasional bagi UMKM

Pemulihan perekonomian merupakan hasil positif bagi pelaku usaha, akibat bangkitnya daya beli konsumen dan dimungkinkannya kegiatan konsumsi yang sebelumnya dibatasi selama pandemi. Namun, hal ini tidak bisa diartikan bahwa dunia usaha akan kembali pada kondisi sebelum Covid-19. Sama seperti Perang Dunia 1 dan 2 yang menghadirkan perubahan struktural, pandemi Covid-19 diyakini akan menghadirkan skala perubahan yang sama terutama pada gaya hidup konsumen. Beberapa studi bahkan sudah memaparkan bahwa terdapat beberapa pola konsumsi yang akan bertahan meskipun pandemi telah selesai.

Nah menarik kan untuk kita bahas apa saja pola konsumsi yang akan terjadi setelah pandemic COVID-19 ini? Sahabat wirausaha harus selalu siap dengan segala perubahan yang akan terjadi sehingga bisa selalu bertahan. Dengan kita memiliki banyak wawasan, maka kita akan bisa selalu sukses untuk unggul di pasar sehingga bisa terus naik kelas. Yuk kita bahas di artikel ini.


Pertama, Pola Konsumsi Sehat.

Hal positif terkait Covid-19 adalah meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya pola konsumsi sehat. Berdasarkan data BPS yang diolah oleh Lokadata pada 2020, penjualan sayuran segar secara daring (online) mengalami peningkatan hingga 1900% di tahun 2020 dari sebelumnya 20 ribu unit menjadi 400 ribu unit, selain itu penjualan daging segar juga meningkat hingga 53% pada periode yang sama. Kondisi ini berdampak baik bagi pelaku UMKM pada bidang pertanian, seperti yang dialami Maya Stolastika (Twelve’s Organic), yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan permintaan lebih dari 2 kali lipat selama periode pandemi. Lebih menarik lagi, tren konsumsi sehat ternyata berlangsung dalam skala global. Peningkatan konsumsi sayuran berlangsung di Jerman, Irlandia, Inggris, dan berbagai negara lain.

Komoditas

Peningkatan Penjualan

Sebelum Pandemi

Saat Pandemi

Sayuran Segar

1900%

20 ribu unit

400 ribu unit

Bumbu Instan

160%

250 ribu unit

650 ribu unit

Makanan Siap Saji

105%

580 ribu unit

1,2 juta unit

Daging Segar

53%

190 ribu unit

  1. bu unit

Sumber Data: Publikasi BPS, Analisis Big Data di Tengah Masa Adaptasi Kebiasaan Baru seperti dikutip oleh Lokadata

Baca Juga : Perspektif Gender Dari Hasil Survei Pedagang Online Selama Pandemi COVID-19


Pola konsumsi sehat juga terlihat pada pembelanjaan non-makanan, khususnya pembelanjaan alat olahraga. Tren gowes (bersepeda) menjadi contoh paling nyata, terlihat dari laporan Bukalapak bahwa pada periode Maret-Juni 2020, terjadi peningkatan penjualan sepeda sebesar 156%. Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia; The New York Times melaporkan bahwa pada Maret 2020 terdapat 500,000 pesepeda baru di New York. Infografis dari Litbang Kompas menunjukkan bahwa terjadi tren peningkatan pencarian sepeda di kanal google yang meningkat drastisc sejak Juni 2020. Selain sepeda, peralatan olahraga lain juga mengalami peningkatan, seperti dilaporkan Tokopedia yang mencatat peningkatan hingga 3 kali lipat untuk kategori olahraga pada Agustus 2020.

https://lh5.googleusercontent.com/IKDUtFhGwFAlJCVohNH0sgzfYWJ46dhtiPcewag8ZaFTvW5DWOuirq1E1bXH64vlCWmVoopd3uye3vvLiEZvvQiF1Q6CQEN4TDzNCv6jIXrI0TnNsTlKsikwjtM3QeFqGCfdFQQ

Sumber: Kompas Interaktif


Kedua, Pola Konsumsi Produk Nasional

Selain pola hidup sehat, terdapat tren konsumen lebih memilih produk lokal ketimbang produk luar negeri (impor). Hal ini disebabkan oleh kesulitan perekonomian yang dihadapi oleh produsen lokal yang cukup kuat untuk mendorong konsumen melakukan pembelanjaan sosial (untuk membantu produsen lokal). Hasil riset Visa yang dirilis Februari 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 68% responden lebih memilih produk lokal karena harga yang bersaing, 63% memilih produk lokal karena memiliki kualitas yang sebanding dengan produk saingannya dari luar negeri, dan 62% memilih produk lokal karena adanya promo yang menarik.

Baca Juga : Tips UMKM Pariwisata Untuk Bangkit Dari Pandemi

Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh studi oleh katadata, dimana lebih dari 80% responden mengakui lebih memilih membeli dan menggunakan produk dalam negeri ketimbang produk impor. Lebih lanjut lagi studi katadata menemukan bahwa tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk lokal mencapai 93.3%, jauh lebih tinggi dibanding tingkat kepercayaan terhadap produk luar negeri yang ‘hanya’ 71.5%. Pembelanjaan sosial, dengan maksud untuk membantu perekonomian nasional juga menjadi salah satu faktor pada studi ini, dimana 45.4% dari mayoritas responden (82.3%) menyatakan bahwa pembelanjaan terhadap produk lokal dilakukan dalam rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional.


Ketiga, Pola Konsumsi berbasis Nilai Ekonomis

Tren terakhir yang nampak adalah pembelanjaan yang semakin menekankan nilai yang dibutuhkan konsumen. Di tengah ketidakpastian perekonomian, konsumen cenderung berhati-hati dalam melakukan pembelanjaan, dan lebih memilih untuk menyimpan uang (saving) atau investasi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa konsumen semata-mata memperhatikan nilai ekonomis dalam pembelanjaan, terdapat nilai lain yang juga dicari konsumen dalam melakukan pembelanjaan.

Baca Juga : 4 Cara UMKM Menghitung Umur Ekonomis Aset

Studi McKinsey yang dimulai pada September 2020 menyimpulkan bahwa 63% konsumen yang merubah tempat belanja/produk pembelanjaan pada 3 bulan terakhir melakukan hal tersebut karena adanya harga, promo, dan biaya pengiriman yang lebih murah. Namun, aspek ‘value for money’ bukan satu-satunya alasan konsumen melakukan pembelanjaan di tempat lain. Studi yang sama menemukan bahwa terdapat 26% responden yang melakukan perubahan pola konsumsi karena adanya nilai yang ingin didukung antara lain ‘mendukung bisnis lokal’ dan ‘mendukung perusahaan yang memperlakukan karyawan dengan baik’. Nilai non-moneter ini cenderung akan terus meningkat seiring dengan kesadaran etika sosial dalam pola konsumsi.

Pola ini sebetulnya sudah terjadi pada skala global, namun pandemic Covid-19 mempercepat menjadi akselerator bagi tren ini. Studi di Inggris Raya oleh YouGov dan Food Foundation menemukan bahwa terjadi penurunan limbah makanan akibat perilaku masyarakat yang lebih memilih untuk berbelanja secukupnya untuk mengurangi penggunaan sumber daya berlebihan untuk produksi makanan. Studi dari Accenture juga menegaskan pola ini, dimana pandemic Covid-19 mengakselerasi mempercepat etika berkonsumsi di masyarakat global, dengan 64% responden (dari 3000 konsumen di 15 negara) memilih untuk mengurangi pola konsumsi berlebihan dan memperhatikan nilai sosial dari pembelanjaan mereka.

Baca Juga : Fenomena Conscious Consumption (Kemelekan Konsumsi) yang Perlu Dimanfaatkan UMKM


Akankah Tren ini Bertahan pada 2021?

Tren pembelanjaan konsumen diprediksi akan tetap berlangsung sepanjang tahun 2021. Meskipun vaksinasi sudah diprioritaskan, namun proses ini diprediksi baru akan selesai pada tahun 2022, yang mengindikasikan bahwa pola hidup pada 2020 kemungkinan besar akan bertahan sepanjang tahun 2021. Lebih lanjut lagi, beberapa survey masih menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih berhati-hati untuk kembali kepada pola hidup yang lama, terutama bepergian ke luar. Selain itu, terdapat kecenderungan orang untuk tetap berada di rumah meskipun pandemi telah selesai. Studi oleh YouGov pada 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja lebih memilih WFH dan bahkan meminta manajemen untuk mempertimbangkan opsi WFH bagi pekerja saat pandemi telah berakhir.

Baca Juga : Mengoptimalkan Pemasaran Digital dengan Strategi Direct Response Marketing ala Mouza Indonesia


Strategi UMKM untuk 2021

Pandemi Covid-19 memang tetap menjadi tantangan bagi UMKM Nasional. Terdapat perubahan yang bersifat struktural maupun non-struktural dalam dunia usaha yang memaksa UMKM untuk beradaptasi untuk mempertahankan usahanya. Namun, tantangan juga menghadirkan kesempatan bagi UMKM. Sama seperti Perang Dunia II yang mengakselerasi produksi mesin otomotif (untuk keperluan perang) yang kemudian digunakan dalam industri otomotif untuk konsumen, pandemi Covid-19 juga memiliki peluang untuk menghadirkan perubahan struktural dalam pola konsumsi masyarakat.

Baca Juga : 6 Strategi UMKM dalam Melakukan Identifikasi Pesaing

UMKM dituntut untuk menyesuaikan diri pada masa pandemi, dan terus memperhatikan perubahan-perubahan struktural yang mungkin terjadi pada perekonomian, pasar, dan konsumen setelah pandemi. Kemampuan untuk menyesuaikan model bisnis selama pandemi akan menghadirkan kemampuan kompetitif yang bersifat berkelanjutan bahkan hingga akhir pandemi Covid-19

Poin-poin yang bisa ditambahkan:

  • Bagaimana dengan pola konsumsi makanan praktis?
  • Bagaimana dengan pola konsumsi digital atau online?
  • Apa yang bisa dilakukn untuk industry pariwisata?
  • Bagaimana UMKM mengambil peluang untuk menghadirkan perubahan structural dalam pola konsumsi masyarakat?

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.