Apa Itu Gross Merchandise Value – Di tahun 2020, Tokopedia mengumumkan pencapaian mereka: lebih dari Rp 222 triliun Gross Merchandise Value berhasil dicatat hanya dalam satu tahun. Shopee, di sisi lain, dengan bangga melaporkan GMV sebesar US $78,5 miliar untuk kawasan Asia Tenggara dan Taiwan pada tahun 2022.
Angka-angka itu terdengar bombastis, bukan? Tapi, apakah angka-angka ini benar-benar mencerminkan profit atau pendapatan bersih perusahaan? Nah, disinilah kita mulai menyelami dunia GMV yang sering bikin penasaran sekaligus menyesatkan, jika tidak dipahami dengan benar. Jadi, apa itu Gross Merchandise Value?
Apa Itu Gross Merchandise Value?
Gross Merchandise Value (GMV) adalah total nilai transaksi barang dan/atau jasa yang terjual melalui sebuah platform dalam periode tertentu. Sederhananya, GMV mencerminkan seberapa banyak barang berhasil dijual dari sisi nilai rupiah atau dolar, tanpa menghitung biaya operasional, diskon, retur, atau margin keuntungan.
Contoh nyata: Kalau kamu jualan 500 baju lewat marketplace, dan setiap baju harganya Rp100.000, maka GMV kamu adalah Rp50 juta. Tapi belum tentu itu semua adalah jumlah yang kamu pegang, ya!
GMV digunakan terutama oleh platform e-commerce, marketplace, dan perusahaan berbasis transaksi (seperti ride-hailing atau travel platform) sebagai indikator kinerja volume bisnis. Bagi investor atau media, angka ini sering menjadi highlight utama untuk menunjukkan pertumbuhan.
Baca Juga: Lebih dari Sekadar Angka: Memahami Apa Itu Average Revenue Per User
Kenapa GMV Jadi Istilah Populer di Dunia Startup?
GMV menjadi metrik populer karena ia menyederhanakan ukuran kesuksesan: semakin besar GMV, maka semakin wah sebuah bisnis terlihat. Dalam dunia startup, terutama yang sedang mencari pendanaan, GMV bisa jadi senjata ampuh untuk menunjukkan bahwa “kami punya banyak transaksi!”.
Bahkan, menurut laporan CB Insights tahun 2023, lebih dari 70% startup e-commerce di Asia Tenggara menyertakan angka GMV dalam pitch deck mereka. Ini karena investor sering menjadikan GMV sebagai tolok ukur untuk melihat potensi pertumbuhan pasar dan daya tarik model bisnis.
Namun, disinilah masalahnya: GMV bukan pendapatan bersih. Tidak sedikit yang terjebak dalam pola pikir bahwa GMV sama dengan jumlah uang yang masuk kas perusahaan. Padahal, bukan begitu konsepnya.
Apa Saja yang Termasuk dalam GMV?
Untuk benar-benar memahami apa itu Gross Merchandise Value, kita perlu membedah lebih dalam komponen apa saja yang masuk ke dalam perhitungan GMV. Ini penting karena GMV sering kali dianggap sebagai pendapatan, padahal sebenarnya jauh berbeda.
Secara definisi, GMV adalah total nilai transaksi bruto dari semua barang atau jasa yang berhasil terjual melalui sebuah platform atau sistem dalam periode waktu tertentu, biasanya bulanan atau tahunan. Tapi, yang dihitung hanya bagian permukaannya saja. Berikut ini rincian elemen yang umumnya termasuk dalam GMV:
1. Harga Jual Barang atau Jasa (Sebelum Diskon)
GMV dihitung berdasarkan harga jual awal produk atau jasa, bukan setelah potongan diskon atau kupon. Ini artinya, jika kamu menjual produk senilai Rp200.000 tapi memberi diskon Rp50.000, maka GMV tetap dicatat sebagai Rp200.000, bukan Rp150.000.
2. Jumlah Unit Terjual
Perhitungan GMV juga memperhitungkan kuantitas barang/jasa yang berhasil terjual. Jadi kalau ada 100 unit barang terjual dengan harga masing-masing Rp50.000, maka GMV = Rp50.000 x 100 = Rp5.000.000.
3. Transaksi Sebelum Biaya dan Komisi
Biaya pengiriman, biaya layanan, dan komisi platform tidak dihitung dalam GMV. GMV hanya merekam nilai transaksi dari barang atau jasa itu sendiri, tanpa mengurangi biaya operasional yang mungkin dikeluarkan oleh penjual atau platform.
4. Tidak Memperhitungkan Pengembalian Barang (Retur)
GMV biasanya tidak langsung dikoreksi jika terjadi retur atau pembatalan pesanan. Artinya, meski pembeli membatalkan atau mengembalikan barang, nilai transaksi itu tetap sempat tercatat di GMV selama transaksi sempat dilakukan.
Gabung jadi Member ukmindonesia.id buat update terus info seputar UMKM dan peluang usaha!
GMV vs Pendapatan: Jangan Salah Tafsir!
Mari kita bedakan keduanya melalui tabel berikut ini:
GMV |
Pendapatan Bersih |
Total nilai transaksi |
Nilai yang benar-benar masuk ke perusahaan |
Tidak dikurangi biaya operasional |
Sudah dikurangi biaya dan potongan lainnya |
Cerminan volume pasar |
Cerminan profitabilitas perusahaan |
Misalnya, Shopee mencatat GMV $78 miliar, tapi itu belum tentu semua masuk ke kas Sea Group sebagai perusahaan induk Shopee. Setelah dikurangi subsidi, diskon besar-besaran, insentif seller, dan lain-lain, barulah terlihat pendapatan bersih yang jauh lebih kecil.
GMV Dalam Strategi Bisnis: Kapan Relevan?
GMV tetap punya peran penting dalam mengukur scale bisnis, terutama dalam konteks berikut:
- Early Stage Startup : Di tahap awal, GMV bisa menunjukkan traction (daya tarik) pasar terhadap produk/jasa.
- Marketplace & Aggregator : GMV membantu memetakan kontribusi tiap merchant dan produk terhadap keseluruhan ekosistem.
- Performance Campaign : Campaign besar seperti 11.11 atau Harbolnas sering dievaluasi berdasarkan GMV yang dihasilkan.
Baca Juga: Apa Itu User Behavior? Rahasia Membaca Pikiran Konsumen untuk Bisnis yang Lebih Tajir
Studi Kasus: Shopee dan Strategi GMV di Asia Tenggara
Pada kuartal pertama 2022, Shopee mencatatkan GMV sebesar $19 miliar di Asia Tenggara. Strategi mereka cukup jelas: subsidi ongkir, diskon besar, dan promosi gencar. Hasilnya? GMV naik tajam. Tapi, banyak analis memperingatkan bahwa model ini tidak sustainable jika tidak diiringi dengan efisiensi biaya dan loyalitas pelanggan.
Shopee kemudian melakukan pivot di akhir 2022. Mereka mulai mengurangi subsidi dan menekankan monetisasi lewat iklan dan Shopee Mall. Pendekatannya mulai berpindah dari "kejar GMV" ke "kejar profit".
Kasus ini jadi pelajaran penting bahwa apa itu Gross Merchandise Value bukanlah angka sakral, tapi harus dibaca dalam konteks strategis dan jangka panjang.
GMV untuk UMKM: Perlu atau Tidak?
Untuk pelaku UMKM, terutama yang berjualan online, GMV bisa jadi metrik tambahan untuk memahami performa bisnis. Tapi perlu diingat:
- Jangan hanya puas dengan besarannya.
- Pastikan kamu tahu margin dan profit.
- Fokus ke repeat order dan retensi pelanggan.
Misalnya, kamu berhasil menjual Rp100 juta di bulan Ramadhan lewat TikTok Shop. Itu GMV. Tapi, berapa yang benar-benar kamu pegang setelah diskon, komisi platform, dan modal barang? GMV bisa saja terlihat besar, tapi yang penting adalah berapa banyak yang bisa kamu simpan.
Baca Juga: Apa Itu Funnel Analysis: Cara Cerdas Menganalisis Perjalanan Konsumen dari Klik hingga Konversi
Tools dan Laporan untuk Mengukur GMV
Beberapa tools yang biasa digunakan perusahaan dan UMKM untuk melacak GMV antara lain:
- Google Analytics + e-commerce tracking : Cocok untuk website toko online. Kamu bisa melihat nilai transaksi per waktu.
- Dashboard internal marketplace : Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak menyediakan laporan GMV bulanan untuk penjual.
- Platform ERP dan POS seperti Jubelio, Moka POS, atau iSeller : Bisa mengintegrasikan data penjualan online dan offline untuk menghitung GMV total.
Dalam dunia bisnis digital, memahami apa itu Gross Merchandise Value sangat penting agar kita tidak terjebak pada euforia angka besar. GMV bisa jadi indikator pertumbuhan transaksi, tapi belum tentu mencerminkan profit.
Sebagai pelaku usaha, terutama di ranah digital dan e-commerce, gunakan GMV sebagai salah satu metrik, bukan satu-satunya. Dengan begitu, kamu tidak hanya membangun bisnis yang ramai secara angka, tapi juga sehat secara finansial.
Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.
Referensi:
- Sea Group Annual Report 2022 – https://www.seagroup.com/investor/
- Tokopedia 2020 Performance Release – Kompas.com
- CB Insights Southeast Asia Startup Report 2023 – https://www.cbinsights.com/
- McKinsey & Company. (2021). E-commerce in Southeast Asia: Decoding the Growth – https://www.mckinsey.com
- TechCrunch: Why GMV is Misleading – https://techcrunch.com