Pajak UMKM – Sejak lama, urusan membayar pajak selalu jadi momok di kalangan pegiat UMKM. Di akhir tahun 2023, realisasi penerimaan pajak negara tercatat sebesar Rp1.869,23 triliun. Angka ini tumbuh sebanyak 8,88 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan telah melewati target yang ditetapkan sendiri oleh Kementerian Keuangan. Dari jumlah tersebut, sumber penerimaan pajak PPh Non Migas punya kontribusi paling besar, yaitu 53,1 persen. Termasuk didalamnya, adalah setoran pajak dari sektor UKM dan bisnis yang tak termasuk kategori Migas. 

Melihat angka yang besar tadi, wajar jika banyak pelaku UMKM merasa kecil hati. Patutkah bisnis yang tergolong usaha mikro, kecil, dan menengah tetap diwajibkan menyetor pajak, sementara angka pendapatan negara sudah melewati 100% dari target yang ditetapkan? 


Tarif Pajak Penghasilan Nol Persen Bagi Pelaku Usaha Perseorangan

Banyak yang tak tahu, bahwa tidak semua golongan UMKM diwajibkan membayar pajak. Jika usaha mikro yang kita jalankan berstatus Usaha Perseorangan dan belum berbadan hukum, dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta per tahun, maka tarif pajaknya adalah nol persen. Alias, gratis. Adapun yang dimaksud dengan status badan usaha Perseorangan adalah sebuah bisnis yang belum berbentuk CV, PT, maupun bentuk badan usaha lainnya yang sudah sah secara hukum negara.

Menurut perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak RI, Arif Yunianto, penggratisan PPh Final pada usaha beromzet di bawah Rp500 juta ini dirancang untuk kesejahteraan UMKM. Kebijakan ini diberlakukan agar UMKM dapat lebih leluasa bergerak dan mengembangkan bisnisnya, tanpa perlu memikirkan kewajiban membayar pajak. Setelah usaha sukses berkembang dan jumlah penghasilan sudah cukup besar, barulah akan dikenakan PPh final. 

Di sisi lain, jika omzet yang dihasilkan mencapai lebih dari Rp500 juta, namun masih di bawah angka Rp4,8 miliar per tahun, maka kita dapat memilih tarif pajak final berdasarkan nilai omzet tadi. Tarif PPh yang dikenakan adalah sebesar 0,5% dari total omzet per tahun. 

Namun, tarif ini hanya berlaku maksimal selama 7 tahun sejak usaha yang kita miliki terdaftar. Kemudian, jika omzet sudah menyentuh angka di atas Rp4,8 miliar per tahun, maka semua pelaku usaha diharapkan menyusun Laporan Laba Rugi. Nantinya, objek pajak yang dikenakan bukan lagi omzet, melainkan laba yang dihasilkan per tahun. 

Baca Juga: Berawal dari Resep Keluarga, Eatsambal Raup Omzet Milyaran Berkat Inovasi dan Kreativitas


Contoh Kasus : Rempeyek Ibu Gina

Misalnya, di tahun 2021, Ibu Gina punya bisnis Rempeyek rumahan dengan omzet per bulan sebesar Rp17.750.000. Jika dihitung selama 12 bulan, maka omzet per tahunnya adalah sebesar Rp213.000.000. Berapa besaran pajak yang harus dibayar Ibu Sari? 

Di tahun tersebut, lantaran omzetnya masih di bawah Rp500 juta per tahun, maka nilai PPh Finalnya adalah NOL.

Lalu di tahun berikutnya, bisnis Ibu Gina semakin berkembang, hingga omzetnya naik ke angka Rp700 juta per tahun. Berapa jumlah pajaknya?

Nah, karena usaha Ibu Gina masih berbentuk bisnis perseorangan, maka omzet sejumlah Rp500 juta tidak dihitung sebagai objek pajak. Sehingga cara menghitung pajak penghasilannya adalah seperti ini : 

Omzet usaha                     = Rp700.000.000

Omzet tidak kena pajak  = Rp500.000.000

            --------------------------------------------------------  —

Omzet kena pajak            = Rp200.000.000

Beban Pajak = Omzet Kena Pajak X Besaran PPh

         = Rp200.000.000 X 0,5% 

          = Rp1.000.000

Artinya, jumlah PPh Final yang harus dibayarkan oleh Ibu Gina adalah sebesar Rp1.000.000. 


Bagaimana Dengan Tarif PPh Untuk Usaha Berbadan Hukum?

Di Indonesia, badan usaha formal yang umum dijumpai adalah CV dan PT. Dalam prakteknya, meskipun memiliki omzet di bawah Rp500 juta per tahun, suatu badan usaha sudah tidak berhak lagi menikmati fasilitas gratis pajak. Namun, kita masih bisa menggunakan pilihan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari jumlah omzet per tahun. Tarif ini berlaku bagi seluruh badan usaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. 

Masa berlaku tarif ini pun berbeda-beda. Bagi badan usaha CV, tarif 0,5% dari omzet hanya bisa dirasakan hingga usahanya berumur 4 tahun. Sementara bagi badan usaha PT, hanya berlaku hingga 3 tahun saja.

Baca Juga: Kisah Soes Deliz, Rintis Bisnis di Masa Pandemi Hingga Miliki 14 Cabang

Lewat dari masa itu, badan usaha harus mengikuti tarif PPh Final yang sama dengan UMKM lainnya. Selain itu, jika omzet sudah mencapai angka di atas Rp4,8 miliar per tahun, semua pelaku usaha, baik perseorangan maupun badan usaha, juga tidak lagi diperbolehkan mematok pajak berdasarkan omzet. Alih-alih, semuanya wajib membayar PPh berdasarkan jumlah laba atau profit masing-masing. 

Tarif umum untuk PPh usaha di Indonesia adalah sebesar 22% dari jumlah laba per tahun. Namun, untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp50 miliar per tahun, pemerintah memberikan diskon sebesar 50 persen. Sehingga jumlah yang dibayar hanya sebesar 11% dari total laba per tahun. 


Contoh Kasus II : Rempeyek Ibu Gina 

Jika sebelumnya berbentuk usaha perseorangan, di tahun 2023 bisnis Rempeyek Ibu Gina sudah berkembang dan menjadi badan usaha sendiri. Omzetnya juga naik, menjadi Rp1,2 miliar per tahun. Estimasi labanya per tahun adalah Rp485 juta. Berapa jumlah PPh Final yang harus dibayarkan Ibu Gina?

Dengan omzet masih di bawah Rp50 miliar per tahun, maka Ibu Gina berhak memilih di antara 2 tarif pajak, yaitu : 

  • PPh Final Berdasarkan Omzet 

PPh Final  = 0,5% X Rp1,2 miliar = Rp6 juta

  • PPh Final Berdasarkan Laba atau Profit 

Beban Pajak Usaha Bu Sari = 11% X Rp485,520,000 

      = Rp53,407,200

Jika memilih tarif berdasarkan omzet, maka PPh final yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp6 juta per tahun. Sementara jika memilih tarif berdasarkan profit, maka PPh Final yang harus Ibu Gina setor adalah Rp53 juta per tahunnya. Kira-kira, mana yang akan dipilih Ibu Gina?

Baca Juga: Cara Menghitung Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai untuk UMKM, Ternyata Mudah!


Gratis Atau Tidak, Pajak Harus Tetap Dilaporkan

Pemerintah telah memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM melalui kebijakan tarif pajak yang jauh lebih murah dibandingkan kategori usaha lain. Namun, kita harus tetap ingat bahwa meskipun tarif pajak yang diberlakukan untuk usaha kita adalah nol, laporan pajak harus tetap diisi. 

Lampirkan Laporan Laba Rugi usaha kita saat melaporkan pajak, agar terlihat dan terdata jelas jumlah besaran tarif pajak yang kita bayarkan. Jika usaha mengalami kerugian dan tak ada laba, maka setoran pajaknya bisa saja gratis. Intinya, meski omzet masih di bawah Rp500 juta atau meski usaha mengalami kerugian, pelaporan pajak harus tetap dilakukan.

Untuk pelaku usaha perempuan yang telah menikah, pelaporan pajak bisa digabungkan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) milik suami. Namun, jika suatu saat ingin mendirikan PT atau CV, maka nama pemilik badan usahanya juga harus menggunakan nama suami. Karenanya, akan lebih baik bagi pelaku UMKM perempuan untuk memiliki NPWP sendiri. 

Yuk, cari tahu info lengkapnya dan unduh form laporan pajak di website resmi Direktorat Jenderal Pajak berikut ini.  

Jika tulisan ini bermanfaat , silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM. 

Referensi : 

  1. https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/penerimaan-perpajakan-sd-desember-2023
  2. https://www.cnbcindonesia.com/research/20231227040329-128-500402/segini-uang-pajak-warga-ri-selama-2023
  3. https://ekon.go.id/publikasi/detail/2517/perkuat-umkm-dengan-pajak-05
  4. https://ukmindonesia.id/baca-deskripsi-posts/cara-menghitung-pajak-penghasilan-dan-pajak-pertambahan-nilai-untuk-umkm-ternyata-mudah