PAK MENTERI,

Kondisi koperasi Tanah Air ini mirip organisasi massa (ormas). Lihat saja, syarat minimal untuk mendirikannya harus 20 orang kata Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Hasilnya, lebih dari 80 persen koperasi di negeri ini bentuknya simpan pinjam. Apakah salah? Tidak. Apakah tepat? Juga tidak.

Bagi anak muda seperti saya dan kawan-kawan saya, koperasi simpan pinjam tak lagi menarik, Pak. Paling tidak citranya sudah kadung menua yang berisi orang-orang tua. Layanannya itu-itu saja yang kalah dengan kemahahebatan teknologi finansial besutan perbankan.

Anak muda seperti saya, Pak, yang lahir tahun 1985 sampai 1990-an demen otak-atik otak kanan, suka hal yang kreatif. Saya dan 35 persen dari total populasi negeri ini harusnya bisa berkreasi lewat perusahaan koperasi.

Ya, bagi saya yang gandrung koperasi, sulit rasanya untuk memilih perseroan terbatas.

Saya dan para milenial itu butuh disokong kebijakan yang baik. Yang membuat saya dan kawan-kawan dapat bangun start up berbasis koperasi.

Di Eropa sana, Pak, mereka sudah lakukan itu. Namanya koperasi pekerja atawa worker coop. Dimulai hanya dari tiga orang saja. Namun beberapa tumbuh besar sampai ratusan bahkan ribuan anggota.

Kisah koperasi pekerja

Ada kisah klasik, dan saya yakin Pak Menteri telah dengar, yaitu soal Mondragon Cooperative, di Spanyol sana. Dulu dimulai dari delapan orang lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Karena tak miliki pekerjaan, mereka kemudian mengadu ke seorang pastor. Si Pastor bertanya soal keterampilan mereka. "Kami bisa buat panci, Pastor". Jadilah mereka bikin perusahaan panci.

Lambat laun dari panci mereka bikin perabotan rumah tangga lainnya. Dari sekedar alat teknik merambah elektronik. Mereka sekarang sudah meraksasa, lho Pak. Pekerjanya sampai 80.000 orang. Ya, semuanya adalah pemilik dari pabrik elektronik Mondragon itu.

Itu satu kisah. Kisah yang lain, saat saya ikuti annual forum-nya CICOPA, yakni komisi khusus International Cooperative Alliance (ICA) untuk urusan koperasi pekerja, saya terkagum-kagum, Pak. Bagaimana tidak, tetangga kita dari Jepang, Korea Selatan, India praktiknya sudah banyak dan bagus. Sedang saya, Pak, hanya jadi penonton. Ya, seperti biasanya.

Di forum itu juga dibedah bagaimana model-model koperasi pekerja telah berkembang sampai 18 model. Itu kata Bruno Roelant, lho, Pak. Beliau babar peta besar koperasi pekerja di berbagai sektor dengan modelnya yang khas. Sedang di negeri kita, Pak, satu model pun belum berkembang masif.

Padahal kalau Bapak kembangkan serius model koperasi pekerja ini, berapa ribu lapangan kerja baru akan terbentuk. Ya, karena koperasi pekerja ini berorientasi pada penciptaan pekerjaan. Yang mana orang bergabung di dalamnya untuk bekerja, bukan akses layanan seperti pinjaman atau belanja harian.

Ada juga kisah lainnya, namanya Stocksy. Itu merupakan platform yang sediakan aneka foto gratis dan berbayar. Yang bikin bule-bule, Pak. Di websitenya mereka tulis begini, "We’re also a cooperative! (Think more artist respect and support, less patchouli.) We believe in creative integrity, fair profit sharing, and co-ownership, with every voice being heard".

Bayangkan begitu luhur tujuannya, bagaimana membangun perusahaan yang terapkan bagi hasil yang berkeadilan dan pemilikan bersama. Saya rindu model yang begitu, Pak.

Inkubasi model

Meski Bapak belum mengatur, saya dan kawan-kawan di daerah sedang inkubasi koperasi pekerja. Salah satunya koperasi yang coba tingkatkan pendapatan tukang becak dengan alihkan tenaga mereka ke sektor perbantuan dan kebersihan. Namanya, Pedi Help and Cleaning. Sekarang lumayan, Pak, ada order terus. Artinya ada tambahan pendapatan untuk mereka.

Saya juga kolaborasikan kawan-kawan graphic designer, movie maker, dan programmer jadi satu koperasi pekerja sektor kreatif. Mereka berkumpul di Ada Ide Creative Studio.

Mereka semua anak-anak muda, seperti saya. Bahkan beberapa siswa SMK. Meski belum sempat launching, pesanan dari dalam atau luar kota juga sudah lumayan.

Yang ketiga saya dan kawan-kawan bangun coop platform berbasis android, Pak. Namanya Pedi Solution. Kami membuat marketplace yang hubungkan para penyedia jasa lokal dengan konsumen.

Nah, layanan perbantuan dan kebersihan Pedi Help and Cleaning masuk di dalamnya. Tak ketinggalan juga layanan aneka desain dari Ada Ide. Bulan ini rencana kami akan soft launching, doain ya, Pak.

Dengan cara begitu ada sekitar 25 anak muda yang sekarang berkoperasi dengan cara baru. Buat mereka koperasi tak lagi analog dengan Koperasi Unit Desa (KUD), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Susu, Koperasi Tahu Tempe, tapi kekinian sesuai nafas kids jaman now.

Itu lho, Pak, anak-anak muda yang gemar bermain gawai, suka swa foto dan suka cari spot yang instagrammable.

Rebranding koperasi

Saya dengar dari teman kalau Pak Menteri sekarang sedang gandrung lakukan rebranding koperasi. Saya setuju, Pak. Rebranding itu memang perlu agar koperasi adaptif di era keberlimpahan (abundance) ini. Agar lebih modis dan mudah dimamah oleh kami-kami.

Pertama, Pak, logo koperasi harus dirubah. Saya dan kawan-kawan pernah riset soal itu. Jajak pendapat online yang menjaring 928 responden se Indonesia. Hasilnya 52 persen mengatakan setuju logo koperasi diubah. Katanya, sudah out of date, sudah kuno, ketinggalan zaman.

Hasil riset itu juga sudah saya sampaikan ke Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Katanya mereka akan agendakan perubahan itu di tahun 2019.

Yang kedua, Pak, rebranding tak cukup hanya dengan rubah logo atau tampilan. Lebih mendasar dari itu adalah soal model bisnisnya. Nah, di zaman disrupsi yang penuh dengan inovasi-inovasi canggih ini, model bisnis koperasi perlu dicari dan dieskplorasi. Alatnya bisa pakai metode blue ocean strategy. Ya, salah satunya model koperasi pekerja tadi atau model coop platform itu.

Pak, mari kita bayangkan bilamana koperasi pekerja masif di republik ini, maka koperasi tak akan dikenali sebagai bisnis yang cengcengpo lagi. Atau bisnis yang hidup segan, mati tak mau. Tapi sebagai entitas bisnis yang sumbangkan angka ke PDB besar. Saya tahu, Bapak sedang mengusahakan itu.

Bayangkan saja, Pak, berapa ratus lapangan kerja baru akan tercipta. Berapa ratus ribu pekerja akan terserap. Bapak pasti mengamati juga soal fenomena transportasi online yang mana driver mengantre mendaftar. Lagi-lagi, itu bukan koperasi yang lakukan, Pak. Mereka lebih solutif berikan alternatif pekerjaan daripada gerakan kita.

Diskresi regulasi

Bila Pak Menteri sedang giat lakukan reformasi total koperasi, menurut saya aturan soal koperasi pekerja itu perlu dibuat regulasinya. Bahwa koperasi pekerja dapat didirikan oleh tiga orang dan menambah anggota atau pekerjanya sesuai pertumbuhan bisnisnya. Bapak bisa memakai diskresi atau apapun istilahnya. Sebuah klausul pengecualian sehingga bisa mempercepat proses.

Saya dan kawan-kawan tidak bisa menunggu sampai undang-undang perkoperasian yang baru diketok, Pak. Itu terlalu lama. Dan belum lagi, kadang politik tanah air suka PHP (pemberi harapan palsu). Bisa bete dan sebel kita dibuatnya. Karenanya, apakah mungkin Pak Menteri keluarkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM perihal koperasi pekerja ini agar memiliki badan hukum dan legal.

Bila sudah legal, saya dan kawan-kawan bisa akses pinjaman ke Lembaga Penyalur Dana Bergulir (LPDB), kan Pak. Atau akses ke lembaga-lembaga keuangan lainnya. Itu riil kebutuhan kami, Pak. Untuk beli aneka perkakas kebersihan, sewa kantor, sewa server bulanan dan aneka kebutuhan lainnya.

Bapak kan tahu, saya dan kawan-kawan tak punya banyak modal. Hanya ide, passion dan determinasi yang kami punya. Dan, punya Bapak Menteri.

Sampai ujungnya, Pak, koperasi kita bisa beraneka macam rupanya. Pasalnya, gerakan kewirausahaan yang sudah dua dekade digulirkan, sekarang mulai ranum dan berbuah. Sayang kan, bila hanya karena aturan saja, mereka kemudian tak miliki badan hukum koperasi. Paling banter menjadi Kelompok Usaha Bersama, yang kadang sulit buat naik kelas.

Bila pakai koperasi, maka ada visi besar di sana. Bagaimana kelembagaan koperasi memberi daya dukung dan daya ungkit agar naik kelas. Usaha Kecil Menengah (UKM) kita akan terformalkan, Pak. Mindset mereka akan bicara mengelola perusahaan, bukan sekedar berwirausaha. Ya, karena koperasi adalah people based enterprises. Mereka bakal terkatrol.

Pak Menteri, semoga surat terbuka ini sampai ke tangan Bapak. Tentu saja, saya dan kawan-kawan, anak-anak muda, generasi milenial Indonesia, menunggu jawaban Bapak. Atau bila tak sempat, saya bisa ke kantor Bapak diskusikan lebih lanjut. Ya, sambil ngopi dan makan pisang goreng.

Nuwun, Pak.


Sumber:

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Surat dari Anak Muda untuk Menteri Koperasi...", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/05/30/212200226/surat-dari-anak-muda-untuk-menteri-koperasi-. (30 Mei 2018)

Foto: Ilustrasi generasi milenial bekerja (monkeybusinessimages)

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Editor : Erlangga Djumena