Bagi beberapa orang, merintis start up bukan sekadar "bikin dan jual". Sebaliknya, sebuah proses panjang berdarah-darah dengan berbagai pertaruhan dan mimpi.

Bayangkan saja, para pelaku start up bekerja dengan cara sprint yang tak kenal waktu. Siang-malam mereka bangun dan kembangkan bisnisnya. Tak jarang sebagian besar yang berangkat dari tahap bootstrap atau modal pribadi, pertaruhkan kekayaannya. Sampai titik di mana butuh lakukan scaling up, mereka datangi para investor atau venture capital. Di situlah dilemanya, tetap kecil tapi milik sendiri atau besar namun dimiliki orang lain.

Di dunia ada beberapa kisah yang bisa dirujuk. Pendiri Twitter, Jack Dorsey didepak dari perusahaan yang dirintisnya. Marcus dan Mitch Weller, para pendiri Skully, perusahaan helm, ditendang dari kantornya.

Yang legendaris adalah Steve Jobs, pendiri Apple, yang pernah alami hal serupa. Di Indonesia, para pendiri Go-Jek bisa saja bernasib sama ketika saham mereka makin terdilusi atau tergerus karena gerojokan investasi. Tentu tak menyenangkan, bukan?

David vs Goliath

Beberapa media tentang start up merilis dilema itu dengan membagi tips "cara agar pendiri tidak terdepak ketika investor masuk".

Beberapa start up yang saya jumpai juga mulai mengeluhkan hal yang sama. Bagaimana mereka khawatir kepemilikan mereka terdilusi oleh investor. Alhasil, mereka tak akses modal itu.

Ini adalah fenomena menarik di mana keberadaan investor tak lagi dilihat secara positif. Investor, dengan unlimited resources itu, terlihat sebagai monster yang siap menerkamnya.

Ya, seperti pertarungan David dan Goliath yang tidak setara. Dan tentu saja, pertarungan akan dimenangkan para pemilik modal.

Fenomena itu menggambarkan modus operandi kapitalisme tingkat lanjut (late capitalism) yang paling kentara. Di mana modal memenangkan semua pertarungan yang membuat ide-ide serta para jenius kreatornya dapat ditendang kapan saja.

Kapitalisme tingkat lanjut itu ditandai dengan pergerakan modal yang tak kenal batas wilayah dan berlangsung cepat. Misalnya, baru tahun 2017 kemarin kita rayakan Go-Jek sebagai unicorn-nya Indonesia, namun bilamana 99 persen sahamnya dimiliki investor asing, bukankah hal itu sungguh ilusif?

Dalam modus kapitalisme itu, modal mendikte segalanya. Sayangnya, itu semua dilindungi dan disahkan undang-undang. Mereka, start up yang berbasis perseroan terbatas atau PT, tunduk di bawah undang-undang perseroan No. 40 Tahun 2007.

Diktumnya yakni pemilik saham mayoritas adalah penentu kebijakan. Termasuk juga menentukan, misalnya, apakah Nadiem Makarim selaku pendiri dan CEO masih tetap perlu dipertahankan atau tidak.

Sebagai contoh, bila 99 persen saham Go-Jek dimiliki asing, maka kita bisa proyeksikan hanya beberapa persen saja saham yang masih dipegang para pendiri. Termasuk juga pemegang saham Go-Jek yang lain makin terdilusi dengan masuknya para investor baru. Bila disederhanakan, puncak aturan main dalam perseroan itu cuma satu: Anda menang bila punya uang banyak!

Pengambilan keputusan dalam perseroan prinsipnya sangat sederhana, siapa pemilik saham terbesar, dia yang menentukan. Pasal 88 ayat 1 UU Perseroan menyebutkan, "RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir …".

Titik tekannya ada pada frasa "bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara". Yang dihitung adalah kepemilikan saham para pihak, bukan seberapa banyak orangnya.

Bila ada 100 orang/ pihak pemegang saham minoritas melawan tiga orang/ pihak pemegang saham mayoritas, suara 100 orang pun dipastikan kalah. Dan keputusan itu sah dan dilindungi hukum.

Start up co-op

Masalah mendasar dilema di atas bermula dari badan hukum perusahaan yang digunakan oleh para start up. Bila mereka pilih perseroan, maka harus tunduk di bawah undang-undang perseoran. Apa yang namanya sejarah (siapa pendirinya), reputasi (bagaimana kinerjanya) dan lain sebagainya, tidak menjamin apapun. Di titik itulah para start up perlu berpikir masak-masak dan lakukan shifting!

Ada dua badan hukum bisnis yang ditetapkan negara. Pertama adalah perseoran tadi dan yang kedua adalah koperasi atau co-op. Keluar dari dilema itu, start up perlu shifting menjadi start up co-op untuk memproteksi kepemilikannya.

Di bawah UU No. 25 Tahun 1992, status kepemilikan tidak dihitung berdasar besar-kecilnya saham karena koperasi adalah perusahaan berbasis orang (people based enterprises). Turunannya, pengambilan keputusan dalam koperasi tidak melihat jumlah sahamnya, melainkan orangnya.

Ilustrasinya, bila founder dan co-founder memiliki saham 100 miliar, lantas menerima investasi Rp 1 triliun, investor tak lantas menang. Itu bisa menjadi solusi yang menarik, bukan?

Saat ini Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI) sedang kembangkan model start up co-op. Start up co-op atau literalnya adalah koperasi start up, merupakan koperasi non-konvensional dengan model bisnis start up dan basis kelembagaan koperasi pekerja (worker co-op).

Start up co-op merupakan cara baru koperasi merespons era sharing economy ini. Ini adalah model hibrida yang mengawinkan antara start up dengan worker co-op. Di dunia model worker co-op ini berkembang luas dengan reputasi bisnis yang mumpuni. Yang terkini dikabarkan bagaimana private business di Amerika banyak yang mengonversi diri menjadi worker co-op.

Koperasi pekerja atau worker co-op itu ditandai dengan pekerja (worker) sekaligus menjadi pemilik (owner) dari perusahaan koperasi tempatnya bekerja. Tentu saja itu berbeda dengan fenomena massifnya koperasi karyawan/ buruh di Indonesia, di mana para pemilik atau anggota, tidak bekerja di perusahaan koperasi tersebut.

Mereka biasanya bekerja sebagai karyawan atau pegawai di perusahaan atau instansi tertentu, lantas membentuk koperasi. Biasanya koperasi karyawan/ buruh ini selenggarakan usaha konsumsi atau simpan-pinjam untuk cukupi kebutuhan anggotanya.

Dengan mengawinkan antara start up dengan worker co-op menjadi start up co-op itu, kita memiliki model baru yang bisa menjawab kebutuhan para milenial dan pelaku start up tanah air. Dilema "tetap kecil milik sendiri atau besar dimiliki orang lain" dapat diselesaikan.

Di bawah UU Perkoperasian dan PP No. 33 Tahun 1998 tentang modal penyertaan dalam koperasi, start up co-op tetap dapat lincah dan tangkas. Modal dari para investor tetap dapat diakses tanpa harus khawatir akan mendilusi keberadaan para pendiri.

Di sisi lain, start up co-op juga menjamin tata kelola yang lebih setara antara satu dengan beberapa pendiri lainnya. Pengambilan keputusan didorong melalui mekanisme deliberatif atau mufakat.

Namun, bila harus voting sekalipun, jumlah saham tak akan menjadi pertimbangan. Prinsip dasarnya sederhana: one man, one vote. Itu prinsip yang membedakan secara dikotomis dengan perseroan: one share, one vote). Bagi para milenial yang suka gaya hidup demokratis dan egaliter, model start up co-op akan cocok sekali.

Platform co-op

Pada Maret 2018, Go-Jek mewacanakan akan melantai di bursa efek. Dengan aksi Initial Public Offering (IPO) mereka berharap para rider dapat ikut memiliki saham Go-Jek. Tentu hal itu adalah inisiatif yang patut kita sambut dengan baik. Di mana para pekerja juga ikut memiliki saham perusahaannya, meski minoritas.

Nah, start up co-op yang telah berkembang besar pun dapat membagi kepemilikannya kepada para pihak yang terhubung dengan aplikasinya. Mereka dapat mengonversi modelnya ke tahap lanjut menjadi platform co-op atau koperasi platform.

Bila start up co-op kelembagaannya berbasis worker co-op, kelembagaan platform co-op berbasis multi stakeholder co-op atau koperasi multipihak. Multipihak di sini mengandaikan perusahaan dimiliki oleh beberapa pihak, misalnya: para pendiri atau founder, para rider (untuk bisnis ojek) dan juga para merchant (pelapak makanan/ gerai UKM). Di Indonesia, salah satu embrionya adalah KlikQuick yang bermarkas di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Saat ini gerakan koperasi di dunia tengah kembangkan model platform co-op itu dengan serius. Digawangi oleh Platform Co-op Consortium yang berkantor di Amerika, mereka sindikasikan aneka model platform di berbagai negara. Tujuannya adalah membawa demokrasi dalam ekonomi digital yang saat ini berkembang massif.

Dengan memasukkan demokasi di situ, maka tata milik dan kelola menjadi lebih berkeadilan dan setara bagi para pihak yang terhubung. Gelombang itu sudah sampai di Asia dan juga Indonesia. Terkini mereka selenggarakan Platform Co-operative Conference di Hongkong pada 27-28 September 2018 yang lalu.

Mengadministrasi keadilan

Benang merah dari dilema di atas adalah bagaimana kita menemukan model atau formula yang menjamin keadilan bagi para pihak. Kasus terdepaknya para pendiri start up oleh investor tentu saja tak adil bagi satu pihak.

Inisiatif, ide jenius, kerja keras, pertaruhan, risiko, passion, ketabahan dan hal-hal immaterial lainnya harus tunduk di bawah dominasi modal. Di situlah koperasi hadir untuk menata dan mengadministrasi keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Indonesia merupakan surga bagi para investor start up digital. Pertumbuhan start up yang digerakkan pada generasi milennal massif di berbagai kota besar dan juga kecil atau pinggiran.

Pusat-pusat inkubator start up juga bermunculan di sana-sini. Ditambah dengan roadmap Making Indonesia 4.0, nampaknya benar-benar akan terjadi boom start up dalam beberapa tahun mendatang.

Dalam hingar-bingar itu, para start up dalam negeri harus mulai menggeser paradigmanya. Bergeser dari bentuk perusahaan perseoran ke koperasi untuk memproteksi karyanya. Bahwa berbagai modalitas material dan immaterial mereka selama ini tak harus dikalahkan ketika investor masuk. Dan bagusnya, hal itu dilindungi undang-undang.

Sebelum terlambat, segeralah shift!


Sumber:

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melindungi Kepemilikan Pendiri "Start Up" supaya Tak Terdepak", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/08/093600026/melindungi-kepemilikan-pendiri-start-up-supaya-tak-terdepak?page=2.

Foto: Ilustrasi Startup (The Next Web)

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Editor : Erlangga Djumena