Di sebagian besar restoran maupun hotel, asinan kerap menjadi hidangan pembuka. Teksturnya yang ringan dan menyegarkan membuat olahan dari potongan buah dan sayuran ini dianggap mampu membangkitkan selera makan. Di keseharian, kita bisa menjumpai asinan biasanya dijual secara keliling. Lengkap dengan kerupuk mie sebagai pelengkap. Namun, sekarang ini memang agak sulit menemukan penjual asinan.

Salah satu Sahabat Wirausaha yang berbisnis asinan adalah Inna Sri Sugiati, yang mengembangkan bisnis asinannya sejak akhir 2019 dan awal 2020 ketika masuk masa pandemi covid-19. Produk asinan Inna diberi nama Niekting Asinan Fermentasi. Diambil dari kata niniek/nini, yang dalam bahasa Sunda berarti nenek dan Ting diambil dari nama panggilan ibu Inna. 

Meski Inna memulai bisnis asinan sejak 2019 akhir, sebenarnya asinan bukanlah hal yang asing. Sebab, orangtuanya telah menjual asinan sejak 1970. Apa yang dilakukan Inna adalah menghidupkan kembali dan meneruskan resep keluarga dengan inovasi fermentasi. Ya, inilah yang membedakan produk asinan Niekting dengan produk asinan pada umumnya.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Bisnis Waralaba Ekspedisi untuk UMKM, Permintaan Tinggi di Tengah Tren Bisnis Online

“Usaha asinan ini dimulai pada tahun 1970 oleh generasi pertama di keluarga kami, yaitu ibu saya, Tien Hamsini. Saat itu, asinan masih dijual sebagai makanan siap saji. Jadi pelanggannya masih di sekitar rumah, mulai dari tetangga, saudara, dan teman rumah. Seringnya juga dimakan di tempat,” cerita Inna tentang sejarah bisnis asinan keluarganya kepada UKMIndonesia.ID melalui WhatsApp, Senin, (11/12/2023).

Usaha asinan sang ibu, ketika itu berjalan selama kurun dua dekade, 1970–1990. Namun, usaha terhenti karena ada banyak kendala. Di antaranya kurangnya sumber daya. Inna, sebagai generasi kedua asinan Tien Hamsini baru meneruskan kembali pada 2019. Saat memutuskan untuk menghidupkan kembali bisnis asinan keluarganya, hal yang dilakukan pertama oleh Inna adalah dirinya mempelajari beberapa hal mendasar terkait merek dan usaha. Di antaranya perkembangan teknik pangan, pengemasan, pemasaran digital, hingga pengurusan legalitas dan perizinan. Barulah pada Oktober 2020 Niekting menjual produknya ke pasaran.

“Justru pas pandemi lah kami baru mulai untuk menyeriusi kembali usaha asinan keluarga kami. Beberapa tahun sebelumnya saya sempat bekerja di perusahaan konsultan arsitek. Saat pandemi, kami coba ngulik-ngulik di rumah terhadap bisnis asinan ini, yang sebenarnya ini meneruskan usaha keluarga,” cerita Inna.


Inovasi Fermentasi, Lebih Sehat dan Tahan Lama

Asinan Niekting yang komposisinya terdiri dari potongan bengkoang, mentimun, kol, dan sawi asin dengan bumbu kacang yang dicampur itu melalui proses fermentasi terlebih dulu. Berbeda ketika usaha asinan dijalankan oleh sang ibu yang hanya diracik seperti halnya asinan biasa untuk segera disajikan.

Menurut Inna, makanan yang diproses secara fermentasi juga akan menghasilkan bakteri baik yang dibutuhkan untuk pencernaan dan usus. Menurutnya, dengan adanya bakteri baik di asinan Niekting, bisa turut memperbaiki kondisi pencernaan. Selain itu, ditambahkannya proses fermentasi juga bertujuan agar masa simpan asinan bisa bertahan lebih lama.

“Jadi fermentasinya dengan melakukan perendaman bahan baku sayuran selama dua-tiga hari. Prosesnya agak mirip dengan pembuatan tape, tapi tanpa ragi. Kami tidak menggunakan starter atau bahan tambahan lain. Kami menggunakan bahan baku alami, salah satunya adalah garam, gula merah, dan cuka,” jelas Inna.

Inovasi fermentasi di asinan Niekting sebenarnya juga terinspirasi dari kegiatan almarhum ayah Inna. Ayahnya merupakan lulusan teknik kimia Universitas Gadjah Mada (UGM). Semasa hidup, sang ayah kerap melakukan uji coba di lab untuk mengukur kadar keasaman asinan yang sesuai. Inna sendiri pernah menempuh pendidikan sekolah asisten apoteker. Sementara sang ibu, yang kini berusia 88 tahun dulu pernah bersekolah di Sekolah Kepandaian Putri, atau kini setara SMK. 

Baca Juga: Mengenal Perilaku Konsumen: Jenis, Cara Analisa, Contoh dan Manfaat

Karena tanpa menggunakan bahan pengawet tambahan, kini Niekting juga tengah berinovasi dengan kemasan yang digunakan. Sebab, kemasan juga akan menentukan masa simpan serta kualitas asinan tersebut. Sebelumnya, Niekting menggunakan dua tipe kemasan, yakni thin wall yang mampu membuat asinan bertahan selama sebulan. Sementara kemasan lainnya adalah standing pouch yang mampu membuat asinan bertahan selama dua bulan.

Sumber foto: Niekting.

“Ke depan, kemasan pouch ini juga sedang kami uji coba di lab. Akan ada perbaikan menjadi kemasan yang lebih kekinian dengan retort pouch.”

Agar tidak sekadar klaim tanpa bukti sahih, dilakukan uji lab untuk olahan asinan Niekting. Di antaranya adalah uji mikroba untuk mengenalisa apakah akan muncul bakteri jahat karena adanya percampuran antara sayur dan bumbu di dalam wadah. 

“Jadi itu menjadi semacam bukti secara klinis bahwa nantinya produk kami memang sudah terjamin aman karena melalui uji lab,” tambah Inna.

Selain uji kandungan mikroba, Niekting juga tengah melakukan penilaian untuk kandungan gizi, uji alergen, dan pengukuran masa kedaluwarsa. Uji alergen dilakukan karena adanya masukan dari para pelanggan Niekting yang mengatakan ada beberapa orang alergi terhadap kacang tanah, yang merupakan bahan dasar bumbu asinan.


Lakukan Inovasi Kemasan Agar Produk Tahan Lama

Sejak dipasarkan pada 2020, Niekting kini setidaknya mampu memproduksi kurang lebih 1000 pcs dalam satu bulan yang dipasarkan ke wilayah Jabodetabek. Selama kurun tiga tahun berjalan, Niekting juga terus melakukan inovasi bukan saja pada komposisi produk dan proses pengolahannya, tetapi hingga proses pengiriman.

Pada periode awal pengembangan, kemasan Niekting masih menggunakan styrofoam dan pengirimannya sangat mengandalkan ice gel. Kini, dengan inovasi kemasan yang telah dilakukan Niekting, Inna tidak perlu repot untuk menambahkan ice gel dalam pengirimannya.

“Dengan suhu luar ruang maksimal 28 derajat celcius, kira-kira setelah dikeluarkan dari storage Niekting yang bersuhu 4-7 derajat celcius, asinan bisa bertahan di perjalanan selama tiga hari sampai diterima oleh pelanggan. Jadi sekarang lebih advance,” kata Inna.

Hal tersebut juga jauh berkembang bila dibandingkan dengan masa ketika usaha asinan masih dijalankan sang ibu. Dulu, asinan dikirimkan menggunakan rantang sehingga layanan antar asinan cuma bisa dilakukan untuk para pelanggan dengan jarak dekat.

“Pada saat usaha dijalankan ibu saya, itu belum ada kemasan. Sebagai ukuran biasanya menggunakan mangkuk mi ayam lalu dipindahkan ke rantang untuk dikirim,” kata Inna.

Baca Juga: Manfaatkan Sosial Media, Petani Ini Jualan Sayuran Organik Merbabu Hingga Omset Ratusan Juta per Bulan


Ikuti Bedah Desain Kemasan 

Meski secara merek belum genap berusia lima tahun, tetapi Niekting terus melakukan pengembangan untuk menjadi produk UMKM yang lebih sempurna. Beberapa di antaranya, Inna kerap mengikuti kurasi bisnis yang diselenggarakan oleh beberapa kementerian dan lembaga. 

Kurasi bisnis yang pernah diikuti Niekting di antaranya adalah Bedah Desain Kemasan (Bedakan) 2023 dari Kemenparekraf RI dan menjadi 25 finalis untuk wilayah Jabar, Banten, dan DKI Jakarta. Niekting juga menjadi satu di antara 10 UMKM yang mendapatkan bantuan promosi senilai masing-masing Rp100 juta di Festival UMKM Kumparan 2023. 

Terbaru, Niekting juga mengikuti bazar yang berlangsung di Sarinah Thamrin Jakarta dalam Bazar UMKM untuk Indonesia. Ajang-ajang tersebut setidaknya membuat Niekting lebih dilirik pasar. Dampak lainnya, branding Niketing pun jadi naik dan mendapat banyak peliputan dari media.

Inna Sri Sugiati (tengah atau keempat dari kiri). Sumber foto: Kumparan.

Selain terus berbenah dengan mengikuti berbagai pelatihan, kompetisi dan kurasi bisnis, komitmen Niekting untuk mengedepankan konsumen juga dilakukan dengan memberikan alternatif pilihan di produknya. Semula, saat bisnis asinan masih dijalankan sang ibu, buah nanas langsung dicampur di dalam asinan. Namun, karena menurut Inna ada beberapa konsumen yang memiliki kondisi tidak bisa mengonsumsi nanas, ia pun menyesuaikannya dengan memisahkan nanas dan menjadikannya sebagai pilihan topping.

“Karena saya cenderung melihat ada pelanggan yang tidak mengonsumsi nanas karena penderita diabetes. Akhirnya Niekting mengakomodasinya dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pelanggan kami.”

Ke depan, Inna berharap Niekting bisa menjadi pilihan bagi konsumen yang ingin tetap ngemil namun punya kandungan gizi yang tinggi dan bisa menjadi alternatif camilan sehat.

Jika tulisan ini bermanfaat , silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.