Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2007-2009, Chandra Hamzah, menyebut jika penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Chandra menyebut Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa menjerat penjual pecel lele karena mengandung ambiguitas dan ketidakjelasan. Hal ini ia sampaikan saat hadir sebagai ahli dalam sidang gugatan uji materiil di Mahkamah Konstitusi pada Rabu (18/6/2025).
“Maka penjual pecel lele bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi; ada perbuatan memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, sebagaimana dikutip dari situs resmi MK.
Pasal 2 Ayat (1) mengatur hukum pidana bagi setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Pelaku bisa dikenakan ancaman pidana minimal 20 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Baca Juga: Jangan Salah Pilih! Berikut Daftar 96 Pinjol Resmi OJK Tahun 2025
Sementara itu, Pasal 3 mengatur tentang setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ancaman hukumannya paling singkat 1 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda minimal Rp50 juta dan maksimal Rp1 Miliar.
Menurut Chandra, regulasi seharusnya tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi, sehingga tidak melanggar asas lex certa (jelas dan pasti) maupun lex stricta (tegas dan terbatas).
Gabung Jadi Member UMKM dan Dapatkan Banyak Keuntungan!
Dia menyatakan Pasal 3 UU Tipikor pun memuat frasa “setiap orang” juga dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup. Chandra menilai rumusan yang tidak jelas seperti itu membuka potensi penyalahgunaan.
Oleh karena itu, Chandra mengusulkan agar Pasal 2 Ayat (1) dihapuskan karena telah bertentangan dengan asas hukum pidana, yaitu lex certa tentang perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi. Sedangkan Pasal 3 dilakukan revisi agar hanya menyasar pegawai negeri dan penyelenggara negara, seperti yang tercantum dalam Article 19 United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC).
“'Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” ujar Chandra.
Baca Juga: Pemerintah Resmi Akan Hapus Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan, Diganti Dengan Sistem Ini
Referensi: kompas.com, tirto.id