Saya proyeksikan tiga sampai lima tahun mendatang adalah masa semai di mana generasi milenial berkoperasi dengan asyik. Lewat start up co-op atau koperasi start up, para milenial itu akan hidup dan menghidupi habitatnya. Sinyal itu mulai terlihat di berbagai kota, antara lain Purwokerto, Jakarta, Lampung, Yogyakarta, Bandung, Tuban, dan Malang.

Mengikuti Rhenald Kasali, saya sengaja mempertahankan istilah "start up" daripada istilah "bisnis rintisan" atau "perusahaan pemula". Sebab, yang membedakan start up dengan bisnis rintisan lainnya adalah pada model bisnisnya. Model bisnis itu menyoal apa atau siapa yang terlibat, bagaimana nilai diciptakan, profit diperoleh dan seterusnya sehingga bisnis rintisan bisa saja bermodelkan start up dan di sisi lain pola konvensional. Ubah model bisnisnya, maka berubahlah dari yang konvensional menjadi start up. Jadi, itu bukan sekadar istilah atau term, melainkan sebuah konsep (concept). Start up sendiri lahir dari gelombang besar sharing economy. Model umumnya adalah menghubungkan antara supply dan demand dalam suatu platform. Pola turunannya bisa B2B atau business to business, C2C atau consumer to consumer, B2C atau business to consumer dan lainnya. Belum lagi pihak lain bisa dihubungkan di tengahnya, misalnya investor, dalam pola P2P atau peer to peer lending. Model dan pola-pola itu yang nyaris tidak berkembang di model bisnis konvensional.

Abundance era

Model bisnis start up ini lahir pada zaman yang disebut sebagai abundance era atau era keberlimpahan. Keberlimpahan itu ditandai dengan berbagai alat produksi yang sudah banyak dimiliki orang. Masing-masing sudah mampu membelinya, mengusahakannya sebagai bisnis dan jadilah mereka bersaing dalam red ocean. Beda dengan itu, start up bekerja dalam blue ocean. Sebutlah contoh yang paling dikenal adalah Go-Jek. Model bisnis Go-Jek bisa bekerja dengan mengandaikan banyak orang sudah memiliki kendaraan bermotor. Sehingga para rider, nyatanya, bukan hanya tukang ojek pangkalan yang migrasi ke aplikasi, melainkan para new rider. Pada hal yang sama bisa kita bayangkan juga bilamana banyak orang membuka jasa laundry, kita bisa membangun sebuah platform yang menghimpun semua tukang laundry. Tak perlu kita buka usaha laundry, tetapi cukup membangun market place untuk semua usaha laundry. Contoh yang lain tentu banyak dengan sektor dan pola yang bervariasi. Dalam era berlimpah ruah itu, aset-aset menganggur (idle asset) berserakan di masyarakat. Para muda-mudi jenius itu melihat dan menemukenalinya sebagai potensi ekonomi baru. Di situlah blue ocean bekerja sehingga Go-Jek pada prinsipnya adalah ojek sebagaimana kaprahnya. Namun, dengan mengubah rantai supply dan cara deliver-nya, pasar baru tercipta. Itulah bagaimana start up bekerja. Jadi, tak perlu menjadi benar-benar jenius untuk membangun start up, bukan?

Start up co-op

Menambahkan istilah co-op atau koperasi di belakang start up, mengisyaratkan bahwa start up tersebut dibangun berbasis perusahaan koperasi. International Cooperative Alliance (ICA) atau induk organisasi koperasi dunia mendefinisikan koperasi sebagai kumpulan orang untuk mencukupi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya. Caranya dengan membangun perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis. Itulah definisi yang berlaku di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Model start up co-op ini baru di Indonesia dan juga beberapa negara lain. Singkatnya, yakni sebuah koperasi yang menggunakan model bisnis non-konvensional. Start up co-op, meski seringkali dibangun oleh generasi milenial, tetapi berbeda dari koperasi mahasiswa atau sering disebut kopma. Kopma ini banyak berdiri di berbagai kampus di Indonesia. Koperasi Pemuda Indonesia (Kopindo) mencatat ada sekitar 150 buah kopma di Indonesia, baik di kampus swasta maupun negeri. Eksistensi kopma ini sudah ada sejak 1978 sebagai respons atas kebijakan Nasionalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) dulu kala. Sebagai model, kopma sudah tentu out of date. Model bisnisnya cenderung tidak berkembang. Pada umumnya kopma mengusahakan toko, kantin, fotokopian dan aneka layanan mahasiswa lainnya. Karena itu, kopma pun perlu untuk shifting menjadi start up co-op agar adaptif dan relevan di era abundance ini. Cetak biru kelembagaan dan model bisnisnya harus direkaya ulang sehingga match dengan gaya hidup "kidz jaman now". Bila tidak, akan ditinggal para jenius milenial.

Shifting to start up co-op

Ada empat pola yang bisa kita lihat dari shifting atau pergeseran itu. Pertama, para start up berbasis perseroan yang akan bergeser ke koperasi. Pada titik ini, isu kepemilikan yang tergerus akibat masuknya investasi dapat menjadi pemantiknya. Dalam model co-op, kepemilikan tetap dilindungi meski start up menerima penyertaan modal dari investor. Yang perlu dilakukan cukup mengubah badan hukum dan tentu saja aturan main dari perseoran menjadi koperasi. Simak kolom saya sebelumnya yang berjudul "Melindungi Kepemilikan Pendiri Start Up supaya Tak Terdepak". Kedua, lahirnya gairah baru generasi milenial untuk berkoperasi. Mereka sebelumnya tak pernah membangun start up dan langsung membangun start up dengan model co-op. Itu terjadi karena nilai-nilai koperasi, seperti demokrasi, kesetaraan, keadilan dan lainnya, selaras dengan gaya hidup yang mereka citakan. Milenial merupakan generasi yang menolak bentuk feodalisme dalam politik dan juga, pada akhirnya, ekonomi. Bentuk koperasi lebih menjawab hal tersebut daripada perseoran di mana pemilik modal berkuasa penuh. Hal itu selaras dengan kesadaran yang meningkat ihwal eksploitatifnya sistem kapitalisme. Tentu saja berbagai sebaran informasi, pengetahuan, berita, artikel berperan dalam peningkatan kesadaran tersebut. Ketiga, komunitas-komunitas kreatif yang tumbuh subur di era ekonomi kreatif ini lebih merasa at home berada di rumah besar koperasi daripada perseroan. Hal itu terjadi karena koperasi mengafirmasi dan mengamplifikasi fitur-fitur sosial-budaya suatu komunitas. Ini akan menjadi modalitas bagi suatu koperasi, dalam bentuknya bisa menjadi community co-op atau koperasi komunitas. Lagi-lagi, tinggal ubah model bisnisnya, jadilah koperasi start up. Keempat, koperasi mahasiswa (kopma), koperasi siswa (kopsis), dan koperasi pemuda (kopeda) akan mulai bergeser ke model baru ini. Sayangnya, saya menduga justru pada kelompok inilah pergeseran paling telat terjadi karena kelompok ini sudah mengalami inersia atau kelembaman. Mereka adalah para incumbent yang meski telah melihat sinyal perubahan, namun sulit untuk keluar dari jebakan masa lalu. Ditambah berbagai kebijakan pembinaan oleh pemerintah yang membuat model itu membeku dalam penjara besi kelampauan (the past and the present box). Empat pola pergeseran itu dapat kita saksikan pada tiga sampai lima tahun mendatang. Dengan regulasi dan ekosistem inovasi yang baik, trennya akan lebih cepat, massif dan eksplosif. Saya sebut epos ini sebagai momen lompat katak (leap frog) koperasi Tanah Air.

Leap frog

Koperasi Tanah Air lamban dalam merespons Revolusi Industri 4.0. Salah satu sebabnya adalah koperasi mengalami sindrom penuaan (aging syndrome). Generasi tua mendominasi, dan di sisi lain yang muda-muda emoh berkarier di koperasi. Hal itu membuat masalah turunan yang kompleks, misalnya koperasi lamban mengadopsi teknologi informasi dan internet di saat 170 juta penduduk kita memakai telepon pintar. Di saat industri perbankan mulai shifting ke arah platform based, koperasi masih asyik dengan layanan manual dan konvensional. Hal itu bisa dikisahkan panjang-lebar, termasuk soal tata kelola yang tak modern, etos kerja, profesionalisme dan lain sebagainya. Dalam potret yang tak terlalu asyik itu, generasi milenial akan masuk ke gerakan koperasi lewat pintu lain, yakni start up co-op. Masuknya mereka akan menjadi energi baru dengan talenta-talenta kekinian yang dibutuhkan gerakan. Perlahan namun pasti, mereka akan tune in dalam gelombang besar gerakan. Persamaan identitas akan menjadi enabler fitur solidaritas, kerja sama dan kolaborasi antar koperasi. Tentu untuk sampai ke sana butuh waktu. Pada saat itu terjadi, gerakan koperasi Tanah Air yang dipenuhi dengan energi baru itu akan mengalami lompat katak. Koperasi tidak perlu menunggu berpuluh tahun dan melalui kurva pembelajaran (learning curve) yang lama. Energi-talenta baru itu akan memampatkan waktu dan prosesnya. Ya, seperti katak yang melompat. Para koperasi incumbent tentu saja harus senang melihat gairah baru ini. Alih-alih memicingkan mata, melempar ragu dan sinisme, para incumbent perlu memberi kepercayaan dan dukungan bagi mereka untuk berproses. Sampai titiknya, koperasi Tanah Air akan mengalami regenerasi, tepat di masa puncak bonus demografi. Mari kita tunggu!

Sumber :

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Start up Co-op, Koperasi Generasi Milenial", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/31/125742026/start-up-co-op-koperasi-generasi-milenial. (31 Oktober 2018).

Foto: ilustrasi (Thinkstock)

Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)

Editor : Laksono Hari Wiwoho