Micromanagement – Sahabat Wirausaha, setiap owner (pemilik) bisnis di bidang apapun tentu memiliki gaya manajemen yang berbeda satu sama lainnya. Apakah Sahabat Wirausaha pernah mengamati seorang owner bisnis yang terlalu berlebihan dalam mengawasi pekerjaan karyawannya? Atau owner bisnis yang sangat detail dan perfeksionis sehingga sering mengkritik hasil pekerjaan karyawannya? Nah, gaya manajemen tersebut dikenal dengan sebutan micromanagement.

Tahukah Sahabat Wirausaha, ternyata gaya manajemen micromanagement itu gak bagus untuk owner bisnis loh! Hal tersebut perlu dihindari sedini mungkin. Lantas, apa sih alasannya? Yuk, simak penjelasannya berikut ini.


Karakteristik dan Dampak Buruk Micromanagement Bagi Owner Bisnis

Micromanagement memiliki beberapa karakteristik yang dapat memberikan dampak buruk bagi owner bisnis. Mungkin Sahabat Wirausaha bertanya-tanya, kok bisa?. Berikut penjelasannya.

1. Penerapan Sistem Monitoring yang Berlebihan

Karakteristik utama micromanagement adalah pengawasan yang berlebihan. Owner bisnis secara terus-menerus memantau aktivitas karyawannya, sehingga membuat karyawan merasa tidak nyaman dan tertekan dalam bekerja. 

Ilustrasi Contoh:

Bayu adalah seorang owner bisnis yang bergerak di bidang konsultan pemasaran. Ia memiliki 12 orang karyawan. Untuk memastikan produktivitas kerja, Bayu memutuskan untuk menerapkan sistem pemantauan yang komprehensif namun sangat berlebihan seperti berikut ini.

a. Melakukan Perekaman Layar Komputer Karyawan

Bayu menginstal perangkat lunak di semua komputer perusahaan dan mencatat setiap aktivitas layar secara terus menerus sepanjang hari, selama jam kerja. Ia juga memantau video rekaman tersebut setiap hari hanya untuk memeriksa apakah ada aktivitas di luar pekerjaan atau tidak.

Baca Juga: 7 Manfaat Teknologi Blockchain Bagi Bisnis UMKM, Siap Digital dan Bersaing Global

b. Menerapkan Keylogging

Bayu juga memasang sistem (software) pemantauan keylogger untuk mencatat setiap penekanan tombol yang dilakukan oleh karyawan, termasuk kata sandi dan pesan pribadi.

c. Melakukan Pelacakan GPS Pada Karyawan 

Untuk karyawan yang bekerja jarak jauh atau hendak bepergian untuk urusan bisnis, Bayu mewajibkan mereka untuk memasang aplikasi pelacakan GPS di ponsel mereka. Aplikasi ini akan melacak lokasi setiap karyawan secara real-time dan mengirimkan informasi kepada Bayu setiap 10 menit.

d. Mengawasi Email dan Pesan Masuk

Bayu juga menyiapkan sistem aplikasi khusus untuk memantau semua email dan pesan instan yang dikirim dan diterima oleh karyawan. Ia pun menerima semua salinan komunikasi dan memantaunya secara teratur.

e. Memasang CCTV di Ruang Kerja

Di kantor, Bayu memasang beberapa kamera CCTV di ruang kerja karyawan untuk memantau pergerakan fisik dan perilaku karyawan sepanjang hari. Ia bahkan menonton siaran langsung dari jarak jauh di ponselnya dan akan menegur perilaku apa pun yang dianggapnya tidak produktif di jam kerja.

Nah, alih-alih meningkatkan produktivitas kerja, pengawasan terus-menerus secara berlebihan malah menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan. Karyawan tentu merasa cemas dan terganggu, sehingga menurunkan produktivitas secara keseluruhan. Selain itu, perilaku ini akan menjadi bumerang bagi Bayu sendiri. Lantas, apa saja dampaknya?

Dampak buruk bagi owner bisnis seperti berikut.

  • Sistem monitoring yang berlebihan dapat melanggar hak privasi karyawan, sehingga berpotensi menimbulkan tuntutan hukum dari pihak karyawan terhadap owner bisnis. Hal ini pun berpotensi merusak reputasi perusahaan jika tidak dikelola dengan baik.
  • Owner bisnis mungkin tidak akan disukai oleh karyawan. Hal ini karena karyawan merasa tidak dipercaya untuk melakukan pekerjaannya secara efektif.
  • Penerapan sistem monitoring yang berlebihan juga dapat menghalangi calon pekerja untuk melamar ke perusahaan. Hal ini juga dapat berdampak buruk bagi citra perusahaan dan brand. Selain itu, owner bisnis mungkin dapat kehilangan klien dan mitra potensial karena citra buruk tersebut.

2. Kesulitan Dalam Mendelegasikan Tugas

Alias pekerjaan karyawan diborong hampir semuanya oleh owner bisnis. Padahal pendelegasian tugas atau pekerjaan kepada karyawan sangat penting sehingga owner bisnis dapat mengerjakan pekerjaan penting lainnya. Perilaku ini seringkali muncul karena owner bisnis kurang percaya dengan hasil kerja dari karyawannya. 

Ilustrasi Contoh:

Andi adalah seorang owner bisnis di bidang desain grafis. Ia telah memiliki sebuah studio dan klien yang banyak, namun tidak memiliki karyawan. Selama 4 tahun membangun bisnis, Andi terbiasa menangani semua hal sendiri. Mulai dari pekerjaan desain, pertemuan dengan klien, hingga proses pemasaran. Saat bisnisnya berkembang pesat, Andi memutuskan untuk mempekerjakan beberapa karyawan yang terdiri dari dua orang desainer junior, seorang manajer proyek, dan seorang asisten administrasi. 

Ternyata, meskipun telah memiliki karyawan yang bisa meringankan beban pekerjaannya, Andi tetap kesulitan dalam mendelegasikan pekerjaan kepada karyawan. Saat klien baru meminta paket branding yang lengkap seperti desain logo, tata letak situs web, dan materi pemasaran, Andi merasa ragu untuk menugaskan proyek tersebut kepada desainer junior. Ia malah mengambil alih proyek tersebut dan mengerjakannya sendiri. Hal ini karena ia lebih percaya akan pengalaman dan kemampuannya sendiri. 

Hasil akhirnya tentu tidaklah baik bagi Andi sebagai seorang owner bisnis. Ia akhirnya kewalahan dengan beban kerjanya yang banyak. Hal ini menimbulkan banyak penundaan pekerjaan dan menurunnya kualitas kerja pada proyek yang lain. Keengganan Andi untuk mendelegasikan pekerjaan kepada karyawannya tentu berdampak negatif terhadap bisnis dan kehidupan pribadinya. Dengan tidak memanfaatkan keterampilan desainer junior, ia justru membatasi potensi dan menghambat keberhasilan bisnisnya.

Karakteristik ini menimbulkan dampak buruk seperti berikut.

  • Owner bisnis kehilangan waktu yang berharga, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk menyusun perencanaan strategis maupun pengambilan keputusan bisnis lainnya.
  • Pengambilalihan pekerjaan karyawan membuat karyawan merasa diremehkan, menjadi frustrasi, dan tidak puas dalam bekerja. Jika terjadi demikian, tentu hal ini tidak akan menguntungkan perusahaan.

Baca Juga: Buat Bisnismu Lebih Efektif, Ini 7 Cara Membuat Struktur Organisasi untuk UMKM

3. Terlalu Menekankan pada Detail

Pada gaya micromanagement, owner bisnis cenderung berfokus hanya kepada detail kecil dan mengesampingkan gambaran besar dari pekerjaan itu sendiri. Hal ini membuat karyawan menjadi frustrasi dan kehilangan motivasi dalam bekerja.

Ilustrasi Contoh:

Seorang owner bisnis sementara mempersiapkan kegiatan peluncuran produk baru dan menugaskan tim pemasaran untuk membuat kampanye pemasaran. Setelah materi kampanye pemasaran tersebut diserahkan, sang owner menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengevaluasi dan mengkritisi setiap aspek materi tersebut. Meskipun materi tersebut sudah bagus dan profesional, namun owner bisnis terus melakukan revisi pada hal-hal kecil seperti corak warna yang digunakan dalam logo, gaya font, jarak antar huruf, tanda baca, hingga struktur kalimat.

Karakteristik ini menimbulkan dampak buruk seperti berikut:

  • Owner bisnis mungkin dapat kehilangan tujuan jangka panjang atau visi bisnis secara keseluruhan karena terlalu fokus pada detail kecil. 
  • Owner bisnis dapat kehilangan peluang yang lebih luas untuk pertumbuhan bisnis, inovasi, atau perluasan pasar. Hal ini karena owner bisnis menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memikirkan detail kecil tersebut.
  • Owner bisnis berpotensi memiliki tingkat stres yang tinggi dan kelelahan dalam mengelola bisnis karena energinya telah habis terkuras untuk hal-hal sepele.

4. Terlalu Sering Memberikan Koreksi

Karakteristik micromanagement lain yang paling mencolok adalah sifat perfeksionis. Sifat inilah yang membuat sang owner seringkali memberikan koreksi secara berlebihan pada pekerjaan karyawan. Bahkan karyawan dituntut harus melakukan pekerjaan sesuai keinginan owner bisnis. 

Ilustrasi Contoh:

Pada saat rapat, owner bisnis hanya berfokus pada kesalahan karyawannya seperti kesalahan format data penjualan dan analisis umpan balik pelanggan yang tidak lengkap. Lalu, owner bisnis memberikan perintah kepada karyawan untuk menyerahkan setiap laporan sebelum dipublikasikan. Bahkan owner bisnis secara langsung mengubah atau mengedit hasil pekerjaan karyawan sesuai dengan keinginannya.

Dampak buruk yang timbul dari karakteristik ini yaitu sebagai berikut.

  • Kreativitas dan inovasi dalam berbisnis menjadi terhambat. Hal ini karena owner bisnis cenderung takut membuat kesalahan sehingga enggan untuk mencoba pendekatan baru dalam bisnis.
  • Owner bisnis cenderung menciptakan standar yang tidak realistis bagi karyawan. Jadi gak heran sih kalau banyak karyawan yang memilih untuk resign. Nah, owner bisnis akan lebih repot untuk mencari karyawan baru nantinya.
  • Sifat perfeksionis pada owner bisnis juga dapat menimbulkan masalah pada finansial. Tambahan waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tentu menimbulkan pengeluaran biaya yang tidak sedikit.

Baca Juga: Biar Gak Burnout, Ini Dia 6 Tips Menjaga Kesehatan Mental Bagi Pelaku UMKM

5. Pembatasan Otonomi di Tempat Kerja

Adanya otonomi karyawan di tempat kerja menunjukkan bahwa owner bisnis memberikan kebebasan bagi setiap karyawan untuk bekerja sesuai cara dan kreativitas mereka. Namun, pada gaya manajemen micromanagement, owner bisnis cenderung memegang kendali penuh dan tidak memberikan otonomi kerja pada karyawan. Setiap keputusan dan proses bisnis yang berjalan pun dikontrol oleh owner bisnis. 

Ilustrasi Contoh:

Sebagai seorang owner bisnis, Siska mewajibkan karyawannya untuk terus memberikan informasi terkini tentang kemajuan pekerjaan mereka, termasuk laporan harian secara terperinci dan hasil pertemuan dengan klien. Hal ini mengakibatkan terbatasnya ruang gerak karyawan untuk bekerja secara mandiri dan kreatif. Selain itu, Siska juga melarang karyawannya mengambil keputusan sendiri, meskipun mereka memiliki keahlian dan pengalaman untuk melakukannya. Setiap keputusan, sekecil apapun itu, harus melalui Siska selaku owner bisnis.

Dampak buruk karakteristik ini bagi owner bisnis yaitu sebagai berikut.

  • Keterbatasan otonomi di tempat kerja dapat menciptakan budaya ketidakpercayaan antara karyawan dengan owner bisnis. Budaya kerja seperti itu tentu tidak sehat dan tidak menguntungkan bagi bisnis.
  • Owner bisnis mungkin akan merasa kewalahan karena harus terus mengawasi dan menentukan semua keputusan bisnis. Hal tersebut juga sangat menyita waktu.

Nah, dapat disimpulkan kalau gaya manajemen micromanagement ini memang red flag banget ya untuk setiap owner bisnis. Biar gak merugi, micromanagement ini memang harus dihindari loh Sahabat Wirausaha! Belajarlah untuk mempercayai kemampuan karyawan sehingga dapat meringankan beban kerja Sahabat Wirausaha. Dengan demikian, semangat kerja karyawan akan lebih meningkat dan tercipta lingkungan bisnis yang lebih sehat.

Jika tulisan ini bermanfaat , silahkan di share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM. 

Referensi Web : Investopedia, Stratus HR