Sahabat Wirausaha, kita tentu sepakat bahwa batik merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang wajib dilindungi. Beruntung, UNESCO akhirnya menetapkan batik asli Indonesia ini sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak tahun 2009, sehingga membuat keberadaan kain-kain batik menjadi lestari dan tak bisa diakui oleh negara lain.
Saat ini, batik sudah menjadi salah satu ikon fashion dan sering dipakai sebagai busana acara-acara penting. Karena tingginya permintaan akan batik inilah, perkembangan bisnis batik begitu menjanjikan di Indonesia. Salah satu pelaku wirausaha yang tidak ragu dalam mencoba bisnis batik ini adalah Clara Cyntiarini Wijayanti. Dalam wawancara via telepon WhatsApp beberapa waktu lalu, Clara pun bercerita mengenai sepak terjangnya dalam mengembangkan bisnis Bebatikan Jogja. Seperti apa? Simak ulasannya berikut ini.
Awal Mula Bisnis, Bebatikan Jogja Siapkan 1.000 Tas Batik
Jika melihat data yang dihimpun oleh BBKB (Balai Besar Kerajinan dan Batik) Kemenperin, hingga tahun 2021 ternyata ada sekitar 3.159 unit usaha batik di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 208 unit diantaranya merupakan industri batik skala besar dan 2.951 lainnya adalah unit industri batik skala menengah. Sementara sebanyak 1.794 unit merupakan pengusaha batik skala mikro.
Dan dari ribuan pengusaha batik skala mikro-kecil menengah itulah, Clara mengusung Bebatikan Jogja yang ternyata berawal dari situasi yang serba kebetulan.
Sumber foto: UKM Jagowan
“Jadi Bebatikan Jogja ini berdiri pada Maret 2010 atau sekitar 13 tahun lalu. Sejak awal, saya memang tidak join dengan siapapun. Bisnis ini bermula waktu kakak saya yang kerja di Bintan Resort Cakrawala bilang tengah butuh merchandise tas batik. Karena saya kan tinggal di Yogyakarta saat itu, jadi bisa cari produk batik dengan mudah dan langsung deal untuk 1.000 tas batik,” kenang Clara.
Baca Juga: Belajar dari Pepsi, 4 Inovasi Marketing untuk UMKM yang Patut Dicoba!
Ibu satu anak berusia 36 tahun ini pun menjelaskan bahwa kondisi yang awalnya serba kebetulan itu justru membuatnya semakin terpikat pada bisnis batik. Seiring dengan berjalannya waktu, dia pun meningkatkan kemampuan diri dengan semakin mempelajari soal kain batik mulai dari filosofi hingga akhirnya benar-benar jatuh hati.
Saat disinggung tentang mengapa dirinya memilih nama Bebatikan Jogja, Clara pun sedikit tertawa. Menurutnya, ada satu cerita unik mengenai bagaimana akhirnya Clara memilih nama Bebatikan Jogja sebagai brand untuk produk batik yang dia jual di pasaran.
“Jadi waktu itu di Yogyakarta kan ada salah satu restoran yang namanya Jejamuran dan populer banget. Restoran itu jual berbagai makanan yang dibuat dari olahan jamur. Saya terinspirasi sehingga menggunakan nama Bebatikan Jogja. Harapannya brand ini akan menjual berbagai hal yang terbuat dari kain batik tidak hanya baju, tapi juga tas, pakaian jadi bahkan souvenir,” jelasnya panjang lebar.
Tentu dengan perjalanan yang sudah mencapai 13 tahun, alumni Universitas Gadjah Mada dari jurusan Teknik Industri ini pun tak menampik jika Bebatikan Jogja sempat mengalami masa pasang surut. Apalagi tiga tahun usai berdiri, Clara yang memutuskan tinggal di Tangerang Selatan sejak tahun 2013 harus melakukan adaptasi untuk bisnisnya.
Seperti apa? Simak terus lanjutan ceritanya.
Jatuh Bangun Omzet, Bebatikan Jogja Tetap Bertahan
Seperti kebanyakan bisnis yang dijalankan secara tunggal, Clara memang dituntut untuk selalu kreatif dalam menjalankan usahanya. Dirinya bahkan tidak menutup peluang untuk bekerja sama dengan pihak lain. Hanya saja supaya tidak mengkhianati branding Bebatikan Jogja itu sendiri, Clara memiliki cara yang bisa dibilang unik.
“Kalau diibaratkan, Bebatikan Jogja ini memang seperti minimarket gitu ya. Kami juga memasarkan produk-produk dari pihak lain yang sudah bekerjasama, tapi tetap berbahan dasar kain batik. Namun tetap, produk yang dibuat oleh penjahit kami sendiri tetap harus ditonjolkan,” lanjut Clara.
Untuk menjalankan roda bisnisnya, Clara ternyata memilih konsep reseller yang ternyata juga membuatnya tahu seperti apa produk batik yang sedang diminati, dan tengah jadi tren di pasaran hingga saat ini. Menariknya, Clara menjalankan Bebatikan Jogja sembari di sela-sela kesibukannya di bidang sektor pertambangan.
Baca Juga: Tips Seasonal Marketing, Strategi Memaksimalkan Penjualan Menggunakan Kalender
Sumber foto: UKM Jagowan
Apakah hal itu tidak membuat Clara kesulitan dalam menjaga keberlangsungan Bebatikan Jogja yang masih tetap memusatkan lokasi produksi di Yogyakarta?
“Sejauh ini Bebatikan Jogja sudah punya dua tempat workshop yang semuanya memang ada di Yogyakarta. Kami sudah punya penjahit di sana sejak awal berdiri tahun 2010. Ketika pindah ke Tangerang Selatan, sempat terpikir ingin cari penjahit di Jakarta tapi ternyata upah kerjanya lebih mahal. Jadi sekarang ini Jakarta memang jadi gudangnya Bebatikan Jogja saja,” papar Clara.
Demi memaksimalkan omset bisnis, Clara menggunakan strategi memanfaatkan momentum. Di mana produksi Bebatikan Jogja akan semakin digenjot ketika mendekati hari raya umat beragama entah Imlek, Natal, serta tentunya Lebaran.
Baca Juga: Omnichannel Marketing Platform
Namun, seperti halnya kebanyakan bisnis yang sudah berjalan bertahun-tahun, Clara juga sempat mengalami momen yang membuat hatinya risau.
“Ada lah cerita-cerita yang bikin sedih saat menjalankan bisnis. Saya dulu pernah diajak join sama teman untuk membuat produk batik dengan branding yang berbeda, sempat ikut mencoba juga. Tapi ternyata teman saya ini tujuannya cuma cari cuan semata, jadi ketika tahu omzet jualan produk batik ini naik-turun, beliau langsung menyerah,” paparnya.
Tak hanya sekali, Clara pun sempat merasakan imbas pandemi COVID-19 yang memang memberikan pukulan telak bagi banyak pengusaha mikro seperti dirinya. Bahkan dirinya menjelaskan kalau Bebatikan Jogja hingga sekarang masih dalam proses recovery usaha. Diuntungkan dengan bahan baku batik yang memang sejak dulu relatif mahal, Bebatikan Jogja melakukan sejumlah adaptasi agar bertahan.
“Penghasilan hingga saat ini belum bisa 100% kembali seperti saat sebelum pandemi sih, tapi semakin ke sini sudah ada perbaikan lah. Dulu baju batik untuk kantor itu jadi penjualan terbesar dari Bebatikan Jogja, tapi ketika sistem WFH (Work From Home) dijalankan, langsung anjlok. Kami mencoba langsung mengalihkan produk ke piyama batik yang membuat kami bertahan sampai punya 50-an reseller di seluruh Indonesia,” cerita Clara panjang lebar.
Dengan wabah corona yang semakin terkendali, Clara pun melakukan penyesuaian dalam menjalankan bisnisnya. Dia yang dulu seringkali berjualan secara offline, saat ini menyadari jika bisnis online juga makin menjanjikan untuk Bebatikan Jogja.
Singgung Produk Batik Impor, Bebatikan Jogja Pertahankan Kualitas
Strategi bisnis online ini ternyata cocok dijalankan oleh Clara di sela-sela kesibukannya. Tak perlu ambil pusing meskipun produksinya di Yogyakarta, Bebatikan Jogja melirik konsep jualan live streaming di media sosial yang mampu meningkatkan omzet bisnis.
Demi merambah lini online ini, dirinya sampai mempekerjakan pegawai khusus di bagian customer service mulai dari bagian admin media sosial hingga admin yang fokus pada pembuatan konten jualan alias content creator. Tak heran kalau akhirnya Bebatikan Jogja yang awalnya berjualan di Facebook, sudah merambah ranah Instagram dan beralih ke platform lainnya.
“Saya memang sengaja belajar digital marketing demi keberlangsungan Bebatikan Jogja. Bersyukur sekali berdampak ke penghasilan yang hingga saat ini, omzet ada di kisaran 50 juta rupiah. Maksimal kami pernah sampai menyentuh 100 hingga 150 juta rupiah dalam satu bulan,” ungkap Clara bangga.
Sumber foto: UKM Jagowan
Tak heran kalau dalam 13 tahun perjalannya, Bebatikan Jogja sudah memiliki banyak produk yang ditawarkan ke pasar seperti pakaian, hampers, sampai sepatu kulit yang digabungkan dengan kain tenun batik.
Baca Juga: Strategi Psikologi Marketing, 7 Trik Jualan Tanpa Jualan Harga
Demi menjaga kestabilan produksi, Bebatikan Jogja sudah memiliki sekitar tujuh hingga delapan team penjahit di Yogyakarta yang masing-masing diketuai oleh satu orang yang langsung berkoordinasi dengannya. Kelompok-kelompok penjahit inilah yang akhirnya membantu Clara saat permintaan produk tengah meningkat.
“Batik buat saya itu adalah cara saya untuk melestarikan kebudayaan Indonesia. Namun seiring saya menjalankan Bebatikan Jogja, saya akhirnya sadar kalau kain batik juga mampu memberikan penghidupan untuk orang lain,” tambah Clara setelah jeda berbicara sejenak.
Rasa cinta yang cukup tinggi pada batik ini memang cukup menarik. Mengingat bagaimana dirinya mengawali usaha secara kebetulan, kini Clara ingin membuat seluruh karyawannya sejahtera lewat Bebatikan Jogja. Tak semata mengumpulkan keuntungan belaka, Clara pun mengupayakan semaksimal mungkin untuk menghasilkan produk-produk batik berkualitas tinggi.
“Kita semua tentu tahu kalau harga produk batik ini relatif pricey. Padahal banyak cerita di tingkat pembatik, bayaran mereka itu kadang kecil-kecil dan tidak sesuai. Apalagi saat pandemi banyak pengrajin batik yang bangkrut, saya ingin Bebatikan Jogja tetap membuat mereka bertahan tanpa menurunkan kualitas. Ya, meskipun memang orderannya tidak bisa langsung banyak,” cerita Clara.
Dirinya pun menyinggung dengan produk-produk batik impor yang menurutnya justru menghancurkan harga dan kualitas bisnis batik di Indonesia. Baginya, batik-batik impor itu tidak layak disebut dengan batik apalagi disejajarkan dengan kain batik tulis tradisional yang butuh waktu hingga satu bulan untuk proses produksi.
“Ke depannya saya memang ingin lebih banyak belajar dalam bisnis. Juga mau memaksimalkan jualan di komunitas online yang memang selama ini belum pernah. Meskipun beda kota, saya tetap melakukan monitoring online mulai dari review kondisi perusahaan, mencari peluang yang ada sampai mengamati interaksi di media sosial,” ungkap Clara mantap.
Tak hanya itu, dia juga akan semakin memperbanyak kerjasama dengan berbagai pelaku usaha kecil lain hingga menawarkan produk ke instansi-instansi pemerintah mulai dari Kemenparekraf hingga Kominfo. Tak berhenti di situ, Clara juga akan meningkatkan kualitas dirinya demi Bebatikan Jogja lewat cara mengikuti pelatihan-pelatihan bisnis online yang ternyata membantunya memperluas jejaring.
“Buat saya kunci utama dalam menjalankan bisnis terutama di bidang fashion ini tetap bertahan dalam waktu lama ya, follow your passion. Bisnis itu kan cocok-cocokan. Tapi kalau kalian suka sama bisnis itu seperti saya yang jatuh cinta dengan batik, di saat terpuruk pun masih akan tetap semangat untuk bangkit lagi. Intinya, jangan pernah menyerah dan cari kesempatan di berbagai peluang,” tutupnya.
Jika Sahabat Wirausaha merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman lainnya. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini.