Dianarestu - Reyna Blouse Latte

Sumber: dianarestu.com

Sukses Bangun Bisnis Fashion, Brand Identity - Industri fashion di Indonesia mengalami perkembangan signifikan dalam lima belas tahun terakhir, ditandai dengan hadirnya para designer muda dan karya-karyanya yang menjadikan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim terbesar di dunia. Pangsa pasar konsumen yang besar merupakan salah satu faktor yang mendorong geliat bisnis ini bertumbuh.

Peluang ini yang juga yang menjadikan brand Diana Restu mendapat tempat tersendiri di hati konsumen dan berkembang hingga seperti sekarang. Brand fashion yang didirikan oleh Diana Restuning Tias ini telah berkiprah selama delapan tahun dan produknya selalu terjual ribuan buah setiap bulannya.

Apa saja yang dilakukan Diana untuk mengembangkan Diana Restu? Mari simak perjalanan bisnisnya pada cerita inspirasi berikut.


Ketertarikan dengan Fashion Jadi Awal Terjun ke Dunia Bisnis

Diana sudah memiliki ketertarikan yang besar terhadap bisnis fashion sejak dirinya masih duduk di bangku kuliah. Pengalaman pertamanya merintis bisnis fashion dirasakan ketika ia dan teman kuliahnya merintis Syandana pada tahun 2012. “Saat itu belum ada Instagram, jadi kita menawarkan produk melalui aplikasi BBM (Blackberry Messenger) dan Facebook ke konsumen. Produk yang kita jual saat itu adalah pakaian dan celana,” cerita Diana.

Selain cukup menjanjikan, Diana juga senang menjalani bisnis tersebut karena sesuai dengan passion dan ketertarikannya terhadap bisnis fashion. Namun pasca menyelesaikan studi, bisnis tersebut terhenti. Pasalnya, keduanya langsung diterima bekerja dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Walaupun telah bekerja di perusahaan swasta dengan gaji yang terbilang lumayan, mimpi Diana untuk memiliki bisnis sendiri tidaklah pupus. Sekitar tahun 2014, Diana berinisiatif mendirikan brand sendiri. Saat itu ia tengah bekerja sebagai salah satu karyawan bagian purchasing di salah satu perusahaan swasta yang beroperasi di Sudirman.

“Saat itu aku masih single, terus mikirin kalau nanti udah berkeluarga ingin punya pendapatan sendiri. Pas zaman kerja itu kepikiran, kalau perjalanan ke kantor itu macet banget. Apalagi kantor aku di Sudirman Jakarta. Kalau aku udah berkeluarga, gimana ya? Sampe rumah pasti bakalan capek. Jadi, aku memutuskan pengen bangun bisnis sendiri. Itu awal pemikiranku,” Kisah Diana.

Tidak membutuhkan waktu lama baginya memikirkan nama brand, karena nama yang ia pilih sebagai brand produknya adalah berasal dari namanya sendiri, Diana Restu. “Orang nyangkanya aku desainer, karena namaku mirip desainer, padahal bukan. Waktu itu kepikiran memilih nama itu karena udah terbiasa menggunakan nama Diana Restu sebagai nama akunku di perusahaan tempat kerja dulu,” Tuturnya.

Awal mula mendirikan Diana Restu, ia mengelola semuanya seorang diri, mulai dari hunting produk, pemasaran, hingga mengirimkan produk ke konsumen. Ia menjalani semua prosesnya seorang diri dengan suka cita.

Setelah bisnis sudah cukup stabil berjalan dengan omset yang lumayan, Diana memutuskan resign dari pekerjaannya. “Waktu itu, kalau dari segi omset, Diana Restu udah mencukupi. Udah setara dengan gaji yang aku dapetin, jadi merasa lebih aman. Walaupun memang pendapatan bisnis itu lebih fluktuatif, beda dengan kita kerja di perusahaan,” paparnya. Sejak saat itu, ia fokus membesarkan brand Diana Restu.


Putuskan Bikin Brand Sendiri Setelah Permintaan Konsumen Terus Meningkat

Awalnya, Diana membeli produk dari salah satu pusat belanja grosir di Jakarta. Ia sering mencari model-model pakaian yang lagi tren, lalu menawarkannya kepada pelanggan. Namun seiring berjalannya waktu, bisnis terus berkembang dan pelanggan semakin bertambah. Kerap kali, pelanggan meminta warna tertentu yang jumlahnya justru terbatas dari distributor.

“Aku ambil barangnya langsung dari Thamrin City. Aku punya toko langganan sendiri dan aku beli produknya secara grosir, ada baju dan celana. Masalahnya, kalau ambil dari penjual, aku gak bisa kontrol modelnya. Aku hanya bisa pilih apa yang lagi tersedia dan ditawarkan,” jelas Diana.

Keterbatasan itu akhirnya membuat Diana berpikir untuk memproduksi pakaian sendiri agar produk yang ia tawarkan lebih sesuai dengan selera dirinya dan konsumen. Itulah alasan yang melatari brand Diana Restu memproduksi pakaian sendiri hingga saat ini.

Latar Diana yang pernah berkarir di perusahaan nasional barangkali menjadi inspirasi yang memberi warna pada identitas Diana Restu. Mulai dari outfit yang diproduksi mengusung tema casual, kantoran, dan formal. Penampilan Diana yang mengenakan hijab juga menginspirasinya untuk memproduksi pakaian-pakaian yang cenderung tertutup, seperti atasan tangan panjang, tunik, dan celana panjang. Diana memilih identitas ini karena sesuai dengan taste-nya, yang memang cenderung dengan gaya tersebut.

Awalnya, Diana menawarkan produk-produknya untuk perempuan yang berhijab. Namun seiring berjalannya waktu, konsumen yang tidak menggunakan hijab pun memilih produknya. Kesan formal dan casual pada brand Diana Restu inilah yang sudah melekat dengan cukup kuat di benak konsumen. Alhasil, tanpa repot-repot menawarkan beragam promo dan diskon, pelanggan tetap mencari dan membeli produknya.


Resep Bisnis Sukses: Bangun Kekompakan dan Komunikasi Efektif dengan Tim

Membesarkan bisnis tidak bisa dilakukan sendiri. Semakin besar bisnis, semakin kompleks mengelolanya sehingga Diana membutuhkan bantuan orang lain dalam mengatur urusan-urusan bisnisnya. Diana merekrut tujuh orang karyawan yang terdiri dari admin Whatsapp, admin website, fashion designer, content creator, digital marketing, quality control, dan keuangan.

Diana merasa sangat perlu membangun tim bisnis yang solid agar semua orang merasa nyaman dan bekerja produktif. “Walaupun sebagai owner brand ini, bukan berarti aku lepas proses bisnisnya begitu saja meski udah punya karyawan. Aku tetap bantu turun tangan ketika ada tim yang kesusahan menjalankan pekerjaan. Aku akan kasih masukan dan arahan, terus mereka tambah-tambahin sendiri. Jadi membangun tim dengan kekeluargaan,” terang Diana.

Ia menjelaskan bahwa kunci agar tim bisnisnya solid adalah dengan membangun kekeluargaan dengan karyawan. Namun ia mengingatkan agar keakraban dengan karyawan dibangun dengan batasan-batasan tertentu agar karyawan tidak bersikap seenaknya.

Kerja sama dengan tim yang solid ini kerap terjadi dalam berbagai hal. Sebagai contoh, Diana kerap melibatkan para desainer, customer service, dan tim lainnya untuk melakukan brain storming sebelum membuat rencana produksi.

Diana juga kerap mendelegasikan dan memonitor pekerjaan karyawan secara rutin. Sebagai contoh, ia meminta karyawan yang bertugas di bagian penjualan untuk mencatat semua produk yang laku terjual. Melalui data penjualan itu, Diana mengetahui produk apa yang demand-nya paling besar dan warna apa yang paling laku terjual.

Ia juga mempelajari dan mengikuti warna yang sedang tren saat ini, misalnya warna-warna seperti lime (kuning kehijauan), magenta, dan fuschia. “Warna itu ada trennya juga. Tren itu coba kita ikutin selama masih sesuai dengan identitas Diana Restu. Kita udah punya market, jadi udah tau market kita seleranya apa. Nggak selalu bisa disamakan dengan tren,” tuturnya.

Untuk pengelolaan keuangan, Diana menyerahkannya pada bagian keuangan. Selain memberikan laporan keuangan perusahaan bulanan, bagian ini juga memberikan saran dan nasehat keuangan kepada Diana.

“Jelang hari raya, permintaan pakaian biasanya lebih tinggi dibanding bulan lainnya. Aku akan nanya dulu ke finance kondisi cash flow-nya apakah aman. Pada masa lebaran, pengeluaran kita untuk produksi akan lebih tinggi. Kalau cash flow aman, aku akan ambil keputusan untuk produksi lebih,” papar Diana.


Andalkan Strategi Digital Marketing

Diana menggunakan media digital untuk memasarkan produk kepada konsumen. Ia menggunakan Instagram sebagai media pemasaran dan membangun branding, serta WhatsApp dan Website sebagai media penjualan. Diana juga menggunakan platform Shopee untuk penjualan, tetapi hanya untuk produk stok lama. Sementara untuk barang terbaru, pemesanannya melalui website dan WhatsApp.

Melalui saluran digital ini saja, ada ribuan produk Diana Restu yang laku terjual setiap bulannya. Diana menjelaskan tidak terlalu fokus menawarkan produk secara offline, meskipun sesekali pernah mengikuti pameran.

Untuk proses penjualan dan media sosial saat ini banyak dilakukan melalui Instagram. Ia menceritakan jika ada banyak hal yang bisa dipelajari dari proses marketing melalui platform ini. “Kalau di Instagram, sekarang ada reels yang baru. Proses peningkatan reach (jangkauan pemirsa) dari reels memakan waktu, tidak seperti di feed dan story. Itu kita terus pantau mana yang reach-nya paling tinggi. Melalui data insight Instagram kita bisa tahu apa yang disukai konsumen,” Papar Diana.

“Kita lakukan banyak uji coba disitu. Ternyata, yang paling pengaruh itu soal mix and match pakaian. Misalnya soal warna, kalau kita gak pikirin matang-matang, reach-nya gak terlalu banyak. Mix and match warna dan model yang pas akan bikin konten kita semakin digemari follower.”

Selain itu, Diana juga ingin merambah dunia Tiktok karena media sosial itu digadang-gadang menjadi salah satu platform nomor satu untuk promosi produk fashion. “Ini akan jadi PR buat aku dan tim ke depannya. Kalau Tiktok user-nya kebanyakan Gen Z, beda dengan segmen konsumen Diana Restu. Ini ke depannya pengen kita garap lebih serius. Kita harus beradaptasi dengan tren pemasaran yang berkembang sekarang,” Terang Diana.


Bangun Hubungan Baik dengan Pelanggan

Seiring dengan berjalannya waktu, Diana mendapatkan banyak pelanggan tetap. Semakin banyak pelanggan yang suka dengan produk-produk Diana dan menjadi follower brand-nya di media sosial. Bagi Diana membangun hubungan dengan pelanggan itu perlu sekali dilakukan sehingga interaksi yang terjadi tidak sebatas jual beli saja.

Diana melakukan beberapa hal untuk membangun kedekatan dengan konsumen, salah satunya dengan menjawab pertanyaan dan menanggapi komentar dari konsumen di media sosial untuk membangun kedekatan itu.

Di masa mendatang, Diana juga ingin membuat program yang ditujukan untuk pelanggan loyalitasnya seperti mengadakan gathering dan memberikan promo-promo menarik.


Cari Konveksi yang Cocok, Tantangan Industri Fashion

Bisnis tidak selamanya berjalan mulus dan lancar, tantangan akan datang pada fase-fase tertentu. Tidak terkecuali hal yang pernah dialami oleh Diana saat memutuskan produksi sendiri. Ia pernah menghadapi masalah yang membuatnya merasa down selama berhari-hari. Masalah itu datang dari CMT (Cut-Make-Trim) atau jasa makloon yang ia ajak bekerja sama.

“Dulu aku pernah ada kejadian salah potong ukuran. Saat itu jumlah yang diproduksi masih ratusan buah, belum ribuan seperti sekarang. Akibatnya aku rugi puluhan juta. Bagi aku, jumlah uang sebesar itu dulu masih besar. Pengalaman itu bikin aku benar-benar down. Untungnya semua sudah terlewati,” kenang Diana.

Kejadian itu memberinya pelajaran untuk lebih berhati-hati memilih jasa makloon. Menyeleksi vendor konveksi yang benar-benar tepat itu sungguh penting bagi bisnis fashion agar bisa memproduksi sesuai standar. “Sebagus-bagusnya CMT, kita gak bisa pakai hanya satu vendor. Jadi kita cari beberapa vendor yang kualitasnya masuk dengan brand kita. Sekarang kita sudah Kerjasama dengan 3 CMT. Prosesnya cukup panjang sampai kita benar-benar dapetin vendor yang pas,” jelas Diana.

Tidak hanya itu, Diana juga pernah mengalami kejadian yang cukup meresahkannya saat memutuskan berinovasi dengan kain printing. Ia sudah mengeluarkan biaya yang relatif besar untuk mencetak kain dan membayar designer. Namun kendala ditemukan saat proses penjahitan yang menyebabkan ratusan pakaian menjadi produk gagal.

“Ternyata dengan berinovasi, ada trouble dan tantangan. Solusinya baru diketahui setelah kejadian. Printing itu ada dua, konveksional dan digital. Kalau cetak kain dengan proses digital cacatnya lebih besar, tapi menghasilkan warna yang lebih bagus. Kain printing serat kainnya berbeda, maka ukuran jarumnya harus disesuaikan dengan yang lebih kecil. Meja untuk menjahitnya harus halus, nggak boleh ada serat-serat kayu. Kuku penjahit nggak boleh panjang, harus pendek. Pengalaman itu jadi masukan buat aku meluncurkan produk signature lainnya tahun ini.”


Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Sebagai pelaku usaha yang sudah delapan tahun menggeluti bisnis, membuat Diana berteman dengan banyak pelaku usaha yang menekuni bisnis fashion. Melalui pertemuan itu, ia sering bertukar cerita dan mendengarkan pengalaman mereka.

“Aku kenal beberapa owner brand fashion lain, ternyata mereka semua pernah mengalami masalah salah potong dan produksi signature yang gagal. Ternyata aku gak sendirian, owner brand lainnya juga alami hal serupa. Bisnis di dunia fashion tantangannya seperti itu. Jangan merasa kita kerja sendirian. Brand-brand yang sudah besar sekali pun mengalami masalah yang sama, bahkan mungkin lebih besar lagi. Mereka juga melewati kerikil-kerikil yang sama,” Tutur Diana.

Salah satu keuntungan memiliki komunitas bisnis yang terdiri dari sesama pelaku usaha adalah memperoleh dukungan dan menjalin peluang kolaborasi. Meski sama-sama bergerak di industri fashion, Diana tidak pernah menganggap brand lain sebagai kompetitor.

“Semakin ke sini, aku pribadi tidak merasa bahwa brand lain itu pesaing. Lebih baik kita fokus mengembangkan brand sendiri. Aku sangat support brand-brand baru, kebetulan aku kenal beberapa dari mereka. Malah aku berpikir gimana agar berkolaborasi sama mereka, bukan menjadi makin bersaing. Aku pribadi nggak pernah anggap mereka kompetitor. Kalau brand yang lebih besar aku melihatnya sebagai inspirasi, kalau ke brand yang baru aku support mereka. Kalau malah ngurusin brand lain, kita malah nggak naik-naik,” Terang Diana.

Selain itu, Diana juga mengingatkan bahwa keluarga adalah support system terbesar. “Dalam kondisi apapun, jangan lupa untuk sedekah dengan orang-orang terdekat kita, terutama orang tua dan kerabat dekat,” Tambahnya.

Referensi: Wawancara dengan Diana Restuning Tias bersama Tokotalk