Bila ada gerakan koperasi yang capaiannya menggembirakan, pasti Koperasi Kredit (Credit Union) akan masuk dalam daftar itu. Pada laman, resminya Induk Koperasi Kredit Indonesia (Inkopdit) merilis per tahun 2016 anggota individiualnya mencapai 2,7 juta orang dengan total kekayaan mencapai Rp 25 triliun. Angka itu tersusun dari primer-primer yang efektif di masyarakat berbagai daerah di Indonesia. Saya meyakini angka itu riil. Statistik yang dipublikasi secara umum itu merekam perkembangan Koperasi Kredit (Kopdit) sejak 1970. Di berbagai daerah sering juga dipakai nama generiknya, Credit Union. Kelahirannya di Indonesia berhubungan langsung secara genetik dengan Koperasi Raiffeisen, Jerman. Model Raiffeisen lahir untuk menjawab masalah kemiskinan akut di kota Flammersfield, Jerman Barat.
Doktrinnya adalah masalah kemiskinan hanya dapat diatasi oleh si miskin yang bergandeng tangan satu sama lain. Doktrin serta pendekatan itu bekerja efektif di sana lalu menyebar ke seluruh dunia dan sampailah di Indonesia. Beberapa nama inisiator awal yang masih dapat kita jumpai dan tak kenal lelah sampai sekarang misalnya Robby Tulus, Daisy Tanireja, Trisna Ansarli dan banyak tokoh sepuh lainnya.
Bersama seluruh anggota kopdit, mereka adalah para aktor yang berjasa mengembangkan praktik baik (best practice) koperasi di Tanah Air. Tentu banyak koperasi-koperasi baik lainnya di negeri ini, namun capaiannya sebagai gerakan belum semasif Credit Union.
Indonesia hari ini
Statistik umum tentang Indonesia hari ini mudah kita akses dari banyak media. Pertumbuhan ekonomi kita saat ini di angka 5,07 persen (2018). Kemudian perlu diingat pada dekade belakangan terjadi pertumbuhan kelas menengah yang signifikan.
Meski demikian, kemiskinan masih dirasakan 27,77 juta penduduk negeri ini (2017). Ketimpangan juga masih menganga, dengan Indeks Gini di angka 0,397.
Di saat bersamaan, dana desa per Desember 2017 telah tersalurkan sampai Rp 59,2 triliun. Sekarang BUMDes bermekaran bak cendawan di musim penghujan.
Artinya, akan muncul banyak titik ekonomi baru yang langsung berdampak ke masyarakat desa. Akan makin banyak dengan kebijakan pemerintahan Jokowi yang menurunkan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari 9 persen menjadi 7 persen yang efektif awal Januari lalu.
Di ruang lain, ekonomi digital terus tumbuh. Sudah ada empat start up yang masuk kategori unicorn: Bukalapak, Tokopedia, Traveloka dan Go-Jek. Ekosistem digital membuat hal itu menjadi mungkin.
We Are Social merilis ada 132,7 juta penduduk Indonesia melek internet. Itu sama dengan separuh dari jumlah penduduk negeri ini, yang mencapai 265,4 juta per Januari 2018. Dari angka itu 130 juta di antaranya aktif menggunakan platform media sosial dan 120 juta di antara mereka mengakses lewat ponsel pintar.
Di berbagai kota ekonomi kreatif tumbuh pesat. Lima tahun belakangan ini kita akrab dengan kedai kopi. Sampai-sampai Presiden Jokowi memperhatikan khusus potensi kopi Indonesia. Barista, istilah yang dulu nampak asing, sekarang kaprah didengar. Tua-muda ngopi di kedai dengan rantai nilai ekonomi yang memanjang dari hulu hingga hilir. Gaya hidup itu bertemu dengan obrolan anak muda zaman now, yakni start up. Banyak festival dan sayembara pitching ide bisnis diselenggarakan. Banyak yang berhasil, namun tak sedikit yang gagal.
Gaya hidup itu kawin mawin dengan apa yang Rhenald Kasali sebut sebagai esteem economy. Bukan hanya makan di kafe, namun makan sekaligus up date foto di Instagram.
Tak ketinggalan, beberapa BUMDes mencobanya dan membuat aneka spot wisata lokal menjadi lebih instagramable. Alhasil, ramai.
The abundance era
Indonesia tengah berubah, kalimat itu muncul di banyak seminar. Orang bilang kita memasuki zaman disrupsi.
Pelaku-pelaku bisnis mapan terdisrupsi oleh para pelaku baru. Mulai dari layanan transportasi, agen travel, mall sampai hotel. Disrupsi memang erat kaitannya dengan teknologi, salah satunya. Namun itu hanya gejala. Justru sebabnya karena kita tengah memasuki the era of abundance, sebuah era keberlimpahan.
Bentuk-bentuk ekonomi baru seperti ekonomi digital, ekonomi kreatif, esteem economy, sharing economy, collaborative economy menemukan momen lahirnya.
Apa yang harusnya berbayar, dapat kita nikmati secara freemium, sebutlah e-mail yang menyediakan 30 Gigabyte per akunnya.
Semua media sosial juga cuma-cuma. Banyak tutorial berbagai bidang dapat kita akses gratis di Youtube. Berbagai informasi juga viral di grup-grup Whatsapp. Masyarakat sedang berlimpah ruah.
Bagi yang kreatif dan memiliki talen bisnis, kelimpahruahan itu menjadi ladang bisnis. Sebutlah bisnis online yang membuat penjual dan pembeli sama-sama termanjakan.
Belum lagi peluang menjadi dropship dengan hanya bermodalkan akun media sosial. Nyaris gratis.
Tak hanya nongkrong dan ngopi, sebagian berkreasi lewat working space. Di ruang itu kolaborasi antar pihak dibangun. Tak sedikit start up lahir dari sana.
Ide dibagi dan diinkubasi, mereka saling coaching dan menyemangati satu sama lain. Modal tak lagi jadi kendala. Venture Capital bejibun menawarkan investasi. Atau mereka pasang gagasannya di peer to peer platform, sebutlah KitaBisa.com.
Ide sosial, ide bisnis atau proyek sebesar membuat pesawat R80 pun ditempel di sana. Platform itu membuat masyarakat bisa berpartisipasi memodali suatu ide. Mantranya, kolaborasi!
Koperasi (kredit) kini
Sayangnya, di tengah hirup-pikuk keberlimpahan itu, nyaris koperasi tak terdengar suaranya. Saat beberapa start up secara kreatif beri solusi di sektor pertanian dengan iGrow, iPangan dan aneka platform lainnya, Koperasi Unit Desa (KUD) atau Koperasi Petani (Koptan) masih gunakan cara yang sama. Ya, cara era 80-an.
Orang-orang tua mungkin akan beri khotbah pentingnya belanja di pasar. Namun, anak-anak muda kreatif itu membuat platform belanja pasar lewat ponselnya.
Banyak platform start up lokal di bidang itu yang secara efektif membuat pasar tetap terdengar kumandange, gemuruhnya. Boleh jadi ramalan Ronggowarsito soal itu perlu dikoreksi.
Di luar sana anak muda gemrudug (ramai) mencoba ini-itu. Lagi-lagi, koperasi absen. Seolah-olah hiruk-pikuk itu berada "di luar sana" dan bukannya "di dalam sini".
Di sebuah diskusi grup Whatsapp, saya melempar argumen, boleh jadi karena ekosistem koperasi cenderung tertutup sehingga abai respons perubahan besar itu.
Lantas apakah koperasi kredit (kopdit) yang secara arsitektural kokoh juga mengalami hal yang sama?
Boleh jadi ya, boleh jadi tidak. Sebagian koperasi kredit mulai kembangkan teknologi finansial untuk layani anggota. Yang dulunya offline dan manual sekarang mulai online dan otomatis.
Mengikuti tren perbankan yang go online, respons cepat itu patut diapresiasi. Pasalnya, masyarakat desa pun sekarang sudah akrab dengan ponsel pintar gegara harganya yang murah.
Cepat dan pasti akan terjadi, seluruh masyarakat kita akan ke arah cashless society. Tetangga kita, India, telah membuktikannya.
Ekosistem ramah anak muda
Namun, apakah cukup kopdit dengan agenda go online itu? Tentu, tidak! Dengan sumber daya yang berlimpah itu (abundance) yang sampai triliunan rupiah, kopdit idealnya melakukan banyak investasi di anak muda. Bukan sekadar merekrut anggota muda sebanyak-banyaknya, melainkan juga membangun ekosistem koperasi yang ramah anak muda.
Kopdit perlu masuk ke modus-modus sosial-ekonomi baru seperti working space, start up business, sharing economy, esteem economy, dan seterusnya. Skema pemekaran atau spin off yang sedang digadang-gadang salah satunya harus ke arah sana.
Kopdit harus mengembangkan Koperasi Pekerja (Worker Coop) sektor kreatif yang berisikan anak-anak muda. Dampaknya, lapangan kerja baru terbuka. Dan, di negeri lain, itulah yang dilakukan Credit Union di sana.
Di zaman ini kopdit tak bisa lagi berperilaku seperti Kopdit era 70 atau 80-an. Doktrin no one left behind adalah benar, bagaimana pelayanan pada kelompok marginal harus diutamakan. Namun, membangun daya lestari sekaligus daya ungkit bagi masa depan juga harus diupayakan.
Pada konteks ini, barulah saya memahami mengapa Robby Tulus memberi atensi lebih pada anak muda saat Youth Summit Pemuda Koperasi se-Asia Pasifik di Bali dua tahun silam. Saat itu, saya justru mendebat keras sedemikian rupa. Ternyata saya mulai sadari, insight beliau tepat.
Banyak koperasiwan di tanah air resah dengan bagaimana nasib koperasi saat ini dan mendatang. Ya, ditinggal anak muda.
Survei Litbang Kompas (2015) perlu kita simak ulang. Ada 74,3 persen responden mengatakan koperasi mampu sejahterakan anggota. Namun ironisnya, 83 persen responden bukanlah anggota koperasi.
Survei itu dilakukan di 12 kota besar di Indonesia, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Bali, Banjarmasin, Makassar, Pontianak dan Manado. Perlu kita ingat, di kota itulah banyak anak-anak muda melahirkan karya kreatif.
Pembaruan koperasi di Indonesia tak bisa mengharap pada pihak lain, termasuk pemerintah. Namun, tentu saja pantas kiranya bila kita berharap kepada gerakan koperasi kredit.
Koperasi Kredit Abundance harus mulai bangun ekosistem perkoperasian yang ramah bagi anak-anak muda.
Bila pada 2016 ada 914 primer kopdit di Indonesia, maka harus ada 10 persen atau 90 Koperasi Pekerja sektor kreatif yang dilahirkan oleh gerakan ini. Sehingga sebagai anak muda saya akan bangga mengatakan bahwa saya anggota Credit Union Cikalmas di Purwokerto. Yang nama dan kekayaan saya juga tercantum di statistik triliunan rupiah itu.
Sumber:
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Anak Muda, Koperasi, dan The Abundance Era", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/03/06/221200926/anak-muda-koperasi-dan-the-abundance-era. (6 Maret 2018)
Foto: Ilustrasi anak muda (ThinkStock//ferlistockphoto)
Penulis: Firdaus Putra, HC (Direktur Kopkun Institut, Peneliti LSP2I)
Editor : Erlangga Djumena