Sahabat wirausaha tergerak hati ingin mendirikan Usaha Sosial, Perusahaan Sosial, Organisasi Kewirausahaan Sosial, atau bahkan Wirausaha Sosial tapi tidak tahu tipe struktur kepemilikannya? Jangan khawatir karena pada pembahasan kali ini kita akan mengupas apa saja tipe-tipe kepemilikan usaha sosial. Berikut ulasannya.
Apa Itu Social Enterprises?
Hingga saat ini, banyak istilah dalam penyebutan social enterprises. Ada yang mengatakannya dengan sebutan Usaha Sosial, Perusahaan Sosial, Organisasi Kewirausahaan Sosial, atau bahkan Wirausaha Sosial. Hal senada juga berlaku untuk status legalitas.
Baca Juga: 5 Karakteristik Social Enterprise
Beberapa social enterprises ada yang memiliki badan hukum seperti yayasan atau perkumpulan, company (perseroan), atau ada juga yang berbentuk perusahaan. Dari sekian banyak pilihan itu, model yang terakhir merupakan badan hukum yang paling umum dipilih para social entrepreneur untuk mengembangkan social enterprise-nya di Indonesia.
Setelah banyak istilah, banyak macam status legitimasi, social enterprises juga memiliki fungsi pembentukan. Beberapa diantaranya seperti keterampilan bagi masyarakat (tidak mampu), penyelesaian masalah lingkungan, pelayanan kesehatan, pendidikan, narapidana, orang dengan HIV/AIDS, mantan pecandu dadah dan lainnya.
Untuk contohnya bisa kita ambil dari apa yang dilakukan oleh Yayasan Cinta Anak Bangsa dalam memberikan akses pendidikan pada lebih dari 2 juta anak-anak tidak mampu. Kemudian ada lagi Koperasi Mitra Dhuafa bersama Grameen Bank yang memberi akses layanan keuangan dasar kepada lebih dari 600 ribu masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Dan tentunya masih banyak contoh lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Kualifikasi Social Enterprises
Sampai saat ini, standar alasan pendirian social enterprises dibagi menjadi 5 yakni misi sosial, pemberdayaan, praktik bisnis etis, melakukan penanaman modal kembali, dan memiliki pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan berkelanjutan.
Baca Juga: Daftar Hal yang Wajib Dimiliki Wirausaha Sukses
1. Misi sosial
Ada alasan tersendiri kenapa misi sosial ditempatkan pada urutan pertama dalam kriteria social enterprises. Yakinlah, jika suatu organisasi memang didirikan demi mengatasi masalah sosial, sepatutnya badan tersebut secara berkala memantau capaian dampak sosial yang ditanganinya.
Biasanya, golongan yang disebut memiliki masalah sosial itu merupakan kalangan yang tidak memiliki akses atas penyelesaian masalah. Seperti misalnya kelompok marginal hingga terabaikan dari korporasi profit-oriented yang tak tersentuh campur tangan pemerintah. Jadi, ihwal ini yang menjadi pembeda antara misi sosial dengan bisnis kebanyakan.
2. Pemberdayaan
Maksud dari pemberdayaan disini adalah (social enterprises) memiliki program penanggulangan dan peningkatan kualitas yang berjalan secara efektif dengan memberikan pendampingan secara terus menerus untuk menghindari penyimpangan.
Baca Juga: Komunikasikan Target Usaha Pada Karyawan Dengan Cara Ini
Atau jika diibaratkan social enterprises tidak boleh hanya sekedar memberi ikan, namun memberikan pengetahuan tentang penggunaan, pembuatan alat tangkap ikan yang umum di pasaran seperti pancing, jaring insang, jaring angkat dan lainnya. Jangan sampai, alat tangkap yang diberikan malah dijual demi pemenuhan kebutuhan hidup dengan alasan karena tak diberi tahu cara penggunaanya.
3. Praktik bisnis etis
Maksud praktik bisnis etis ini adalah para social enterprises menjalankan praktik bisnis yang memiliki fungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain, secara nyata, jelas, dan akuntabel.
4. Melakukan penanaman modal kembali
Ketika bisnis ini menghasilkan keuntungan, harus ada komitmen untuk tidak melakukan pembagian dividen mayoritas kepada pemilik perusahaan. Adapun batas yang diajukan adalah maksimal 49 persen dari laba yang boleh dibagikan untuk para pemilik, sehingga mayoritas tetap disimpan dalam bentuk investasi demi perluasan dampak sosial organisasi.
Baca
Juga: Jaminan (Collateral) Dalam Akses Modal UMKM
5. Memiliki pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan berkelanjutan
Social enterprises hendaknya memiliki program (produk atau jasa) yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tipe-Tipe Struktur Kepemilikan Pada Social Enterprises
Berdasarkan kepemilikannya, social enterprises dikelompokkan menjadi 3 grup seperti not for profit social enterprises (social enterprise nirlaba), community based social enterprises, dan profit for benefit social enterprises.
1. Not for Profit social Enterprises (Social Enterprise Nirlaba)
Biasanya, jenis usaha bidang sosial yang satu ini mengandalkan sukarelawan dan donasi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Dalam misinya, Organisasi Kewirausahaan Sosial ini secara aktif meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia.
Contohnya seperti Dompet Dhuafa. Tahukah jika Dompet Dhuafa lahir dari sebuah gerakan peduli yang ditujukan kepada para pembaca harian Republika. Seiring berjalannya waktu, lembaga filantropi Islam yang didirikan pada tahun 1993 ini mendapatkan sambutan jutaan pasang mata.
Baca Juga: Implikasi Masuknya Investor Ekuitas
Pada hari pertama terkumpul dana sebesar Rp.425.000, dan pada akhir tahun pertama berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp.300 juta rupiah. 26 Tahun kemudian (tahun 2019), dana yang berhasil dikumpulkan oleh Dompet Dhuafa sebanyak Rp.387,58 miliar dengan tingkat penyaluran sebesar 93,26 persen dengan rata-rata pertumbuhan donatur 54,25 persen pada tiga tahun terakhir.
Sedangkan penerima manfaat Dompet Dhuafa sejak tahun 1993 hingga 2019 atau setelah 26 tahun berdiri mencapai 21,7 juta jiwa. Dalam penyalurannya, donatur amat menyenangi metode pembayaran banking channel dengan persentase 48,2 persen, 16,8 persen dari e-commerce 21,4 persen digital payment, stand counter sebesar 13,6 persen.
2. Community Based Social Enterprises
Selanjutnya adalah model social enterprises yang memiliki prinsip kolaborasi antar komunitas atau community based social enterprises. Biasanya manfaat yang mereka berikan seperti layanan informasi tentang pasar, bantuan teknis / penyuluhan, daya tawar kolektif, pembelian massal, akses ke produk dan layanan, akses ke pasar eksternal untuk produk dan layanan.
Contoh yang bisa kita ambil seperti yang dilakukan Malabar Kopi. Awalnya, kelompok tani Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rahayu Tani yang dipimpin Supriatna Danuri, Pangalengan Jawa Barat pada 1992 ini hanyalah bergerak di bidang hortikultura.
Baca Juga: 10 Wirausaha Sosial Nasional yang Menginspirasi
Seiring berjalannya waktu atau tepatnya pada tahun 2001, anggota kelompok tani ini bersepakat untuk memfokuskan diri pada produksi tanaman kopi. Bagi individu yang kontra, mereka memutuskan angkat kaki karena belum melihat manfaat ekonomi dari tanaman kopi.
Namun ketika melihatnya langsung hasil yang didapatkan dengan mata kepala sendiri, jumlah kelompok tani terus saja bertambah. Kondisi ini membuat PT Perhutani untuk memberikan Hak Kelola Hutan Pangkuan Desa seluas 60 hektare dengan pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat pada tahun 2009. Belum menikmati hasil maksimal, di lokasi malah terjadi gempa yang mengakibatkan ekonomi petani kopi menjadi terpuruk. Bantuan pun berdatangan.
Beberapa diantaranya seperti bantuan sapi, domba, hingga kelinci yang hasilnya digulirkan kembali kepada petani kopi yang juga sama-sama membutuhkan. Dari sinilah titik awal Kopi Malabar Indonesia bangkit yang secara fungsi sebagai perusahaan pemasaran, sedangkan penggerak utama perkebunan ialah kelompok tani.
Setelah kejadian itu, diupayakan pendirian pembangunan kantor kopi Malabar, pengembangan lahan kebun kopi, pengadaan kendaraan operasional, warung sembako, gedung pelatihan, pabrik pengolahan hilir, gudang kopi dan ruang sortir, trading Kopi, pelatihan serta penyediaan sarana produksi tanaman kopi dan masih banyak lagi.
Baca Juga: 10 Wirausaha Sosial Global yang Menginspirasi
3. Profit for Benefit Social Enterprises
Untuk jenis yang terakhir ini, kami menilai usahanya amat mandiri (secara finansial) karena menjalankan bisnis secara kompeten. Meskipun seperti itu organisasi ini memiliki misi utama yang bersifat sosial dan mampu memberdayakan individu-individu yang kurang beruntung.
Contoh yang bisa kita ambil adalah kehadiran Kopi Tuli (Koptul) di Krukut, Depok. Menurut bidangnya, model bisnis ini sama saja dengan bisnis kafe lain pada umumnya. Namun Kopi Tuli sangat kental dengan misi sosial karena warung ini memiliki misi untuk memperjuangkan kesetaraan bagi kalangan disabilitas.
Bayangkan, seluruh pegawai kopi tuli yang menyandang disabilitas berusaha menyampaikan pesan kepada dunia bahwa mereka juga sama dengan individu lain karena dapat bekerja dan berkarya. Jika duduk di kedai kopi ini akan ada interaksi bagi konsumen dengan kaum tuli. Mulai dari memesan kopi sampai membayar pesanan di kasir.
Baca Juga: 10 Wirausaha Inovatif yang Ramah Lingkungan
Tak hanya itu, pada kemasan gelas Kopi Tuli juga tertera bahasa isyarat. Alhasil, setiap pengunjung bisa langsung mempelajari dasar bahasa isyarat. Termasuk para staf juga bersedia mengajari setiap pelanggannya yang ingin belajar bahasa isyarat.
Setelah membaca artikel diatas, sudah saatnya kita memikirkan bagaimana caranya harus mendirikan kewirausahaan sosial. Karena hasilnya juga tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Selain itu, dengan mendirikan kewirausahaan sosial, kita jadi turut menyelesaikan satu dari jutaan masalah sosial dan ekonomi dari bangsa ini.
Sahabat wirausaha bisa memilih satu dari 3 kepemilikan dari social enterprises yang disebutkan diatas seperti not for profit social enterprises (social enterprise nirlaba), community based social enterprises dan profit for benefit social enterprises.
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk
bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan
komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.
Referensi:
https://www.dbs.com/iwov-resources/pdf/id/Profit%2...