Ketika sebuah permasalahan ekonomi, sosial, atau lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat sudah ditemukan detail pemecahannya melalui mekanisme pasar, sesungguhnya ide bisnis sosial sudah bisa dinyatakan terformulasikan dengan baik. Masalahnya kemudian adalah bagaimana ide tersebut disokong oleh beragam sumberdaya yang diperlukan.

Salah satu bentuk sumberdaya yang banyak dicari oleh mereka yang mendirikan bisnis sosial—sama dengan bisnis pada umumnya—adalah sumberdaya finansial. Para pebisnis sosial memang ada yang memulai dengan skala yang sangat kecil, sehingga menggunakan sumberdaya finansial yang minimal. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, memulai memberikan kredit mikro dengan uangnya sendiri. Namun, ada banyak pula pebisnis sosial yang idenya tak bisa dimulai dengan sumberdaya finansial yang kecil.

Di berbagai negara yang sudah mengetahui manfaat bisnis sosial, pemerintahnya menyediakan dana tersebut. Proporsi tertentu dari keuntungan BUMN di Tiongkok setiap tahunnya telah digunakan oleh pemerintahnya untuk membiayai pendirian bisnis sosial di sana. Pemerintah Inggris dan Kanada juga memiliki anggaran untuk membantu berbagai perusahaan sosial, bukan saja pada saat pendirian, namun pada fase-fase berikutnya. Data dari penelitian Fergus Lyon dan Rob Baldock (2014) mengungkapkan bahwa di Inggris pembiayaan perusahaan sosial dari pemerintah adalah yang terbesar dibandingkan dari yang lain.

Bagaimana kalau pemerintah suatu negara—seperti di Indonesia—belum menyadari pentingnya bisnis sosial sehingga tak memiliki anggaran khusus untuk itu? Pilihan berikutnya jatuh pada perusahaan, termasuk BUMN. Di Indonesia, BUMN sudah sejak lama memiliki Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), yang besarannya ditentukan dari keuntungan tahun sebelumnya. Melalui program tersebut, banyak organisasi bisa mendapatkan hibah (lewat Bina Lingkungan) atau pinjaman dana bergulir (lewat Program Kemitraan). Ini bisa dijadikan salah satu kemungkinan pembiayaan.

Perusahaan swasta di Indonesia juga memiliki anggaran yang bisa dipergunakan untuk itu. Kalau suatu organisasi bisa menunjukkan bagaimana pemecahan suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat bisa dilaksanakan secara berkelanjutan dan tidak terus menerus menggantungkan diri dari donasi pihak lain, maka peluang untuk menarik sumberdaya perusahaan swasta akan sangat besar. Selama ini, banyak perusahaan swasta yang mengeluhkan ketergantungan dari organisasi mitranya terhadap donasi. Bisnis sosial sangat bisa menyelesaikan keluhan tersebut dengan menunjukkan rencana kemandirian keuangannya, di samping memastikan bagaimana dampak positifnya bisa dibuat terus membesar.

Donor dan LSM adalah sumber pendanaan yang berikutnya. Sudah banyak donor yang kini tertarik untuk menyokong pendirian bisnis sosial di Indonesia. Alasannya pun persis sama dengan perusahaan: mereka ingin mekanisme penyelesaian masalah yang tidak tergantung dari sokongan dana eksternal secara terus-menerus. Banyak LSM yang juga kini melihat pentingnya memiliki kemandirian keuangan dan agenda, sehingga membuat sayap bisnisnya sendiri, atau bahkan mentransformasikan diri menjadi perusahaan sosial. Buat LSM seperti ini, masuknya ide bisnis sosial yang sesuai dengan visi dan misi mereka tentu akan disambut dengan gembira.

Terakhir, masyarakat umum juga sangat mungkin untuk menjadi sumber pembiayaan bisnis sosial. Potensi donasi masyarakat sudah terbukti sangat besar. Lembaga Charities Aid Foundation pernah menyatakan bahwa donasi warga AS adalah sebesar 1,7% dari PDB mereka, sementara warga Inggris sekitar 0,7%. Lembaga itu menyatakan bahwa perilaku donasi Indonesia adalah mirip dengan warga AS (Pristine, 2015). Kalau dihitung 1% dari PDB Indonesia saja, maka di tahun 2014 ada potensi sebesar Rp105,4 triliun. Tentu ini adalah jumlah yang sangat besar untuk bisa dimanfaatkan.

Masalahnya kemudian terletak pada bagaimana potensi tersebut diwujudkan. Selama ini, donasi dari masyarakat sangatlah terkait dengan alasan-alasan keagamaan, dan harus diakui bahwa yang disebut sebagai alasan keagamaan tersebut sangatlah sempit. Masyarakat Indonesia juga sangat terbiasa melihat uangnya ‘hilang’ dan tidak terlampau peduli dengan dampak yang dihasilkan oleh uang yang didonasikan itu. Feel good factor masih menjadi alasan utama donasi, belum sampai pada logika impact investing. Karenanya, kunci pembuka pendanaan bisnis sosial yang terbesar di Indonesia sesungguhnya ada pada kemampuan membuat masyarakat menjadi peduli atas beragam masalah yang selama ini dianggap tidak terkait dengan domain agama, serta lebih peduli pada dampak donasi yang dilakukannya.


Sumber:

Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 10 Desember 2015.

Penulis: Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)