Kalau bisnis sosial diyakini sebagai bentuk yang paling canggih dalam membawa perubahan sosial yang diinginkan seluruh dunia—demikian keyakinan banyak pakar—maka salah satu ciri yang melekat dengannya adalah serba positif. Salah satunya, proses produksi maupun produknya wajib bersifat ramah ekonomi, sosial dan lingkungan.
Proses produksi yang ramah ekonomi biasanya bersifat inklusif. Artinya, sebanyak mungkin membawa peluang bisnis dan kesempatan kerja untuk orang-orang yang berada pada strata ekonomi bawah. Ini sangat penting, lantaran dunia makin dipusingkan oleh beragam masalah yang akarnya adalah ketimpangan ekonomi.Kalau mengikuti data sepanjang satu abad yang disajikan oleh Piketty (2014), ketimpangan terjadi lantaran para kapitalis mendapatkan peningkatan kesejahteraan antara 4-5% per tahun, sementara kelompok masyarakat lainnya hanya menikmati pertumbuhan 1-1,5% per tahun.Kalau ini dibiarkan, maka kesenjangan terus melebar, dan suatu saat akan menyebabkan masyarakat meledak.
Oleh karena itu, bukan saja peluang bisnis dan kesempatan kerja itu perlu diberikan kepada kelompok-kelompok menengah ke bawah, melainkan juga penting untuk dipikirkan bagaimana memastikan pertumbuhan kesejahteraannya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kekayaan pemilik modal. Fair trade atau perdagangan yang adil adalah jalan yang biasa ditempuh oleh bisnis sosial untuk dengan sengaja mengikis kesenjangan. Tentu, lebih baik lagi kalau bukan cuma adil, melainkan secara sengaja memberikan proporsi keuntungan yang lebih tinggi kepada masyarakat. Tindakan afirmatif adalah hal yang banyak dilakukan oleh para pebisnis sosial yang sukses.
Baca Juga: Cara Mengoptimalkan Kinerja Reseller
Dari sudut pandang sosial, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memastikan adanya safeguards untuk tidak membuat kondisi masyarakat menjadi lebih buruk. Bagi bisnis sosial, pantang masuk ke dalam masyarakat kemudian malahan membuat runyam. Di dalam praktik bisnis komersial kerap kita mengetahui adanya dampak negatif ketika bisnis itu masuk.Pasar swalayan menghancurkan bisnis warung-warung kecil, pembangunan pabrik menggusur masyarakat tanpa kompensasi yang adil, masuknya industri modern membawa serta prostitusi dan minuman keras, dan berbagai masalah sosial lainnya.
Bisnis sosial tak bisa demikian. Ketika hendak masuk ke masyarakat, kajian yang sangat hati-hati dan komprehensif perlu dilakukan. Bahkan, tujuan kajian tersebut bukan sekadar tidak membawa dampak sosial negatif, melainkan memang untuk membawa dampak sosial positif.Bisnis sosial harus membuat bisnis masyarakat setempat menjadi lebih maju dan masyarakat menjadi lebih guyub dan tenteram.Bahkan, apabila mungkin, bisnis sosial perlu secara aktif menghilangkan berbagai masalah sosial yang tadinya eksis di masyarakat sebelum bisnis itu masuk.
Baca Juga: Pengenalan Bentuk SOP Yang Penting Diketahui Bagi UMKM
Lingkungan yang sehat adalah prasyarat kehidupan bagi masyarakat di manapun. Oleh karena itu, bisnis sosial dalam proses produksinya wajib untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan melakukan tindakan-tindakan konservatif. Bahkan, kalau sebuah bisnis sosial masuk ke dalam sebuah lokasi yang ternyata lingkungannya sudah rusak, maka mereka perlu untuk melakukan tindakan-tindakan restoratif. Menjaga dan memperbaiki lingkungan adalah keniscayaan dalam proses produksi bisnis sosial.
Kalau proses produksinya bersifat ramah ekonomi-sosial-lingkungan, demikian pula seharusnya sifat produknya. Ia harus tidak membebani konsumen dengan pengambilan keuntungan berlebihan. Kalau produknya juga ditujukan untuk konsumen masyarakat miskin, maka subsidi silang bisa dipertimbangkan. Produk itu juga harus tidak membawa dampak sosial buruk.Tak mungkin ada bisnis sosial yang menjual rokok atau minuman keras, walau itu dinyatakan sebagai produk yang legal.Rokok diketahui telah menyebabkan lebih dari 200 ribu kematian setahun di Indonesia, sekitar 12 kali lipat kematian akibat narkoba lainnya—rokok masuk ke dalam kategori narkoba, dan diketahui menjadi gerbang penggunaan narkoba jenis lainnya—sementara minuman keras telah membawa banyak sekali tragedi ketika dikonsumsi berlebihan.Produk bisnis sosial juga wajib bersifat ramah lingkungan. Tidak polutif dan bisa didaur ulang adalah beberapa di antara cirinya.
Baca Juga: Mengenal Ragam Standar Global Kemasan dan Label
Apakah ini semua terlampau berat dipenuhi?Ketika kita berpikir dalam moda bisnis konvensional, mungkin demikian jawabannya. Tetapi, kalau kita perhatikan praktik-praktik yang sudah dijalankan oleh banyak bisnis sosial, ciri-ciri di atas itu memang melekat. Ambil saja contoh bisnis sosial kehutanan paling popular di Indonesia, yaitu yang digagas oleh Silverius Oscar Unggul.Seluruh proses produksinya telah memenuhi syarat ramah ekonomi-sosial-lingkungan yang telah dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat pengelolaan hutan berkelanjutan dari Forest Stewardship Council. Demikian juga, produk-produk yang dijual oleh bisnis sosial di bidang pertanian berkelanjutan, Javara, telah mendapatkan beragam sertifikat yang menunjukkan ciri-ciri di atas.
Mahatma Gandhi pernah menyatakan “The difference between what we are doing and what we are capable of doing would solve most of the world’s problems. ”Para pebisnis sosial melihat dengan jeli apa saja yang sebetulnya secara potensial bisa dilakukan, dan karenanya mereka menyelesaikan banyak masalah di dunia ini.
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.
Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 17 September 2015.