Sahabat Wirausaha, ekonomi digital Indonesia sedang berada di titik yang tidak pernah kita bayangkan satu dekade lalu. Jika dulu pembayaran digital masih dianggap barang baru, kini ia sudah menjadi nafas sehari-hari. Dari warung mie ayam di pinggir jalan, toko sembako, bengkel kecil, sampai pelaku usaha rumahan yang hanya berjualan lewat WhatsApp—semuanya mulai bergerak ke arah transaksi nontunai. Perubahan besar ini bukan sekadar tren, tapi transformasi perilaku ekonomi yang masif dan menentukan arah pertumbuhan Indonesia di masa depan.

Bank Indonesia baru-baru ini mengumumkan kabar yang membuat banyak negara menoleh. Nilai transaksi digital nasional kini telah mencapai lebih dari Rp 60.000 triliun, mencakup mobile banking, internet banking, pembayaran elektronik, hingga QRIS. Jumlah itu menjadi bagian dari nilai ekonomi dan keuangan digital Indonesia yang sudah menembus Rp 520 ribu triliun per tahun. Dalam pidato di Forum Ekonomi Keuangan Digital (FEKDI) 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di dunia.

Di tengah angka raksasa ini, muncul pertanyaan besar: apakah para pelaku UMKM sudah ikut menikmati arus digital ini, atau justru tertinggal di belakang?


Ekonomi Digital yang Melejit dan Rekor Baru Indonesia

Untuk memahami skala perubahan yang terjadi, mari kita lihat gambaran besarnya. Volume transaksi ekonomi dan keuangan digital Indonesia saat ini telah mencapai sekitar 37 miliar transaksi per tahun. BI memproyeksikan bahwa angka ini akan melonjak menjadi 147 miliar transaksi pada 2030—naik hampir empat kali lipat hanya dalam waktu lima tahun. Laju ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital paling dinamis di kawasan Asia, bahkan melampaui sejumlah negara berkembang lainnya yang pertumbuhan digitalnya mulai melambat.

Di tengah ekosistem digital ini, QRIS menjadi cerita sukses yang paling membumi. Sampai Agustus 2025, jumlah merchant QRIS telah mencapai 40,53 juta, dengan mayoritas pengguna berada di sektor UMKM. Volume transaksinya juga menembus 6 miliar transaksi, dengan nilai lebih dari Rp 579 triliun. Pencapaian ini tidak hanya menunjukkan adopsi yang luas, tetapi juga bukti bahwa pelaku usaha mikro dan kecil telah masuk dalam arus besar digitalisasi nasional.

Angka-angka ini bukan hanya indikator ekonomi, melainkan cermin perubahan budaya bisnis di seluruh Indonesia. Masyarakat sudah semakin nyaman dengan pembayaran cepat, tanpa uang tunai, tanpa ribet kembalian, dan tanpa risiko uang hilang. Dan ketika masyarakat berubah, UMKM pun harus ikut bergerak agar tetap relevan.

Baca juga: Mengenal Ragam Aplikasi Digital Untuk Menunjang Transaksi Bisnis


Apa Dampaknya Bagi UMKM?

Mungkin sebagian pelaku UMKM masih berpikir, “Transaksi Rp 60.000 triliun itu pasti dari korporasi besar. Warung kecil seperti saya dapat apa?” Justru di sinilah letak peluangnya.

Pertama, transaksi digital membuka pintu ke inklusi keuangan yang lebih luas. Bank Indonesia dan perbankan nasional kini menjadikan data transaksi sebagai salah satu alat penilaian kelayakan kredit. Artinya, jika Sahabat Wirausaha rutin menerima pembayaran digital—apakah lewat QRIS, transfer bank, e-wallet, atau aplikasi POS—jejak transaksi itu bisa menjadi bukti kredibilitas bisnis saat mengajukan pinjaman.

Untuk banyak UMKM yang tidak punya agunan seperti tanah atau bangunan, data transaksi adalah “aset baru” yang dapat menggantikan agunan fisik. Tidak sedikit bank yang mulai memberikan pinjaman berdasarkan pola transaksi, stabilitas omzet, dan frekuensi pembayaran digital. Ini peluang besar bagi UMKM yang selama ini terkunci dari pembiayaan formal.

Kedua, transaksi digital memperluas jangkauan pasar. UMKM yang menerima pembayaran digital lebih mudah melakukan penjualan jarak jauh, menerima pesanan via online, hingga mengelola pembukuan secara otomatis. Efisiensi ini mempercepat rotasi modal dan membuat usaha lebih cepat berkembang.

Ketiga, digitalisasi meningkatkan kepercayaan konsumen. Banyak pelanggan sekarang lebih nyaman berbelanja di tempat yang menyediakan opsi pembayaran digital—karena lebih cepat, aman, dan mudah dilacak. Bagi UMKM, kepercayaan adalah mata uang penting dalam persaingan bisnis.


Ledakan Transaksi Digital Membawa Risiko Baru

Di balik pertumbuhan yang memukau, Bank Indonesia dan OJK memberi peringatan penting: semakin besar ekosistem digital, semakin besar pula potensi ancaman keamanannya. Kasus penipuan digital, pembajakan rekening, phishing, pengambilalihan akun, hingga penyalahgunaan rekening untuk judi online meningkat seiring meningkatnya transaksi digital.

Perry Warjiyo menegaskan bahwa keamanan siber kini menjadi prioritas utama. BI memperkuat standar keamanan QRIS, mengembangkan integrasi API terbuka melalui SNAP, dan memperketat perlindungan konsumen. OJK, di sisi lain, meningkatkan pengawasan terhadap fintech dan bank digital yang menangani jutaan transaksi setiap hari.

Untuk UMKM, risiko ini bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Banyak kasus penipuan terjadi bukan karena sistem yang lemah, tetapi karena kurangnya literasi digital. Pelaku usaha sering ceroboh membagikan kode OTP, menekan tautan mencurigakan, atau tidak memeriksa kebenaran permintaan pembayaran. Digitalisasi harus disertai dengan disiplin menjaga keamanan akun agar usaha tetap berjalan dengan aman.

Baca juga: 5 Media Transaksi Digital untuk Naik Kelas, Berbisnis Semakin Mudah! 


Saatnya UMKM Berhenti Menjadi Penonton

Sahabat Wirausaha, digitalisasi bukan sekadar mengikuti tren. Ia adalah fondasi baru bagi keberlanjutan usaha. Transaksi digital bukan hanya soal cara menerima pembayaran, tetapi cara memperkuat posisi bisnis di era ekonomi modern.

Ketika transaksi digital sudah mencapai Rp 60.000 triliun, ketika 40 juta UMKM sudah terhubung dengan QRIS, dan ketika masyarakat makin nyaman bertransaksi tanpa uang tunai—UMKM yang tetap bertahan di cara lama berisiko ditinggalkan. Peluang tidak menunggu mereka yang pasif.

UMKM harus mulai melihat transaksi digital sebagai investasi: investasi dalam akses pembiayaan, efisiensi operasional, kepercayaan pelanggan, dan daya saing jangka panjang. Indonesia sedang melesat menuju era ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Pertanyaannya sekarang adalah: bisnismu ikut melesat atau justru tertinggal jauh di belakang?

Baca juga: 10 Tips Aman Transaksi Online Agar Tidak Tertipu Oleh Oknum Pembeli

Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!

Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas kami di ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!

Referensi:

  1. Bank Indonesia – Pidato Gubernur BI Perry Warjiyo, FEKDI & IFSE 2025.

  2. Infobank News (2025) – Data QRIS 40,53 juta merchant, 6 miliar transaksi, nilai Rp 579 triliun.

  3. Kumparan (2025) – Nilai ekonomi dan keuangan digital Indonesia Rp 520 ribu triliun.

  4. Google–Temasek–Bain, e-Conomy SEA 2024 – Posisi Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

  5. OJK – Laporan Literasi Keuangan Digital 2024–2025.

  6. BI – Statistik Sistem Pembayaran, 2024–2025.