Bisnis sosial bukanlah bisnis yang punya kinerja keuangan lebih buruk daripada bisnis komersial. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak studi, banyak bisnis sosial yang sebetunya punya kinerja yang malah jauh lebih kinclong daripada rerata bisnis komersial. Namun, bisnis sosial itu cenderung punya jangka waktu yang lebih panjang daripada bisnis komersial untuk mulai menghasilkan keuntungan. Pun, setelah keuntungan diperoleh, bisnis sosial malah mensyaratkan reinvestasi sebagian besar keuntungannya ke dalam perusahaan, agar semakin banyak penerima manfaatnya.

Dengan kondisi yang demikian, bisnis sosial membutuhkan jenis investor yang tidak sama dengan bisnis sosial. Investor bisnis sosial perlu mengakomodasi model bisnis ini ke dalam keputusannya. Di masa awal, bisnis sosial memang kerap mendapatkan investasi dari pendirinya sendiri, yang kebetulan memiliki modal untuk itu. Pada masa berikutnya, banyak bisnis sosial kemudian mendapatkan modal dari hibah dari orang atau organisasi yang bersimpati atau menyukai ide dampak sosial yang dijanjikan oleh model bisnisnya.

Belakangan, ada jenis investor baru yang terlibat dalam perkembangan bisnis sosial, yaitu mereka yang diberi label impact investor, atau investor yang cenderung pada jenis-jenis investasi yang menghasilkan dampak positif dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk masyarakat. Ada juga bisnis sosial yang dibiayai oleh investor komersial, namun kalah popularnya dengan para impact investor itu.

Investasi yang condong pada dampak positif ini memang menjanjikan. Bagaimana tidak?Kalau biasanya orang berinvestasi agar mendapatkan keuntungan maksimal, jenis investor ini tampaknya bersedia untuk mengorbankan kepentingan itu, dengan memilih untuk bersabar, menurunkan ekspektasi atas besaran hasil investasi (lantaran majoritasnya keuntungan bisnis sosial memang harus direinvestasi), demi manfaat yang lebih besar buat masyarakat.

Tapi, apakah kenyataannya memang seperti ide itu? Artikel di Social Enterprise Journal Vol. 14/2 2018 yang bertajuk Financing Social Entrepreneurship: The Role of Impact Investment in Shaping Social Enterprise in Australia (Castellas, Ormiston, dan Findlay, 2018) ingin mengetahui kenyataannya di benua kanguru tersebut. Hasilnya, tidaklah begitu menggembirakan.

Kalau ide dasar dari bisnis sosial adalah blended value, yaitu konvergensi antara dampak sosial dan kinerja finansial, tampaknya konvergensi itu belumlah benar-benar terjadi di kasus-kasus yang mereka teliti. Di kepala para investor tersebut, ada logika dampak, dan ada logika investasi. Alih-alih melihat konvergensi di antara keduanya, yang terlihat ternyata adalah dominasi logika investasi.

Hal itu sangat terlihat dari pemanfaatan ukuran-ukuran investasi komersial yang ditunjukkan di dalam laporan-laporan perusahaan sosial yang diteliti. Sementara, dalam urusan dampak sosialnya sendiri, ukuran-ukurannya jauh lebih longgar, kalau bukan malah tidak jelas. Ada cukup banyak perusahaan sosial yang bahkan sama sekali tidak mengeluarkan laporan sosial dampak sosialnya.Sebagian yang sudah melaporkan juga sekadar menulis input serta aktivitasnya belaka.Ketika diteliti lebih lanjut, jelas ada pengaruh tekanan para investor itu, dan bukan sekadar urusan bahwa mengukur dampak sosial itu lebih sulit.

Kalau hampir seluruh kasus perusahaan sosial yang diteliti telah menggunakan ukuran keuangan yang standar; hanya sangat sedikit yang telah menggunakan ukuran dampak sosial yang telah diakui oleh para pemangku kepentingan global. Social Return on Investment (SROI), yang paling popular, hanya digunakan oleh 4 perusahaan sosial. Kemudian, masing-masing 1 perusahaan sosial menggunakan laporan yang memang didesain untuk impact investing, dan yang menggunakan B Analytics Framework yang dikembangkan oleh B Lab.

Para peneliti itu menyimpulkan bahwa ternyata logika investasi komersial sangat dominan, dan bahwa ada diskoneksi antara impact investing dengan ide dasar gerakan bisnis sosial mengkhawatirkan masa depan bisnis sosial.

Alih-alih bakal menjadi kekuatan perubahan sosial, yang lebih mungkin terjadi bila kecenderungan ini berlangsung terus adalah komersialisasi perusahaan sosial, dan pada akhirnya tak ada maknanya lagi penggunaan kata ‘sosial’ di belakang ‘perusahaan’. Tanda paling penting dari komersialisasi ini adalah semakin sedikitnya investor yang bersedia berinvestasi di perusahaan sosial pada periode awal.Mereka lebih tertarik untuk menaruh modalnya di perusahaan sosial di periode lebih lanjut.Itupun mulai terdeteksi adanya investor yang meminta imbal hasil yang lebih tinggi dengan dalih bisnis sosial itu lebih berisiko.Ini jelas bukan kabar menyenangkan.


Sumber:
Artikel ini pernah dimuat di surat kabar KONTAN, pada tanggal 30 Agustus 2018.

Penulis: Zainal Abidin (Pendiri dan Direktur Utama Perusahaan Sosial WISESA) dan Jalal (Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA)