Mompreneur - Saat ini, perempuan wirausaha memiliki peran yang luar biasa penting bagi perekonomian Indonesia. Menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah UMKM yang diasuh perempuan mencapai 37 juta unit atau 65% dari total keseluruhan UMKM di Indonesia. Pangsa pasar untuk pengusaha perempuan di Indonesia juga semakin meningkat, dengan bisnis yang dimiliki perempuan berkembang lebih cepat dibandingkan dengan bisnis yang dimiliki laki-laki.
Meski begitu, dalam berbisnis, pengusaha perempuan kerap dihadapkan pada berbagai tantangan yang lebih berat. Sebagai pengusaha, perempuan juga tetap diharapkan mengemban lebih banyak tanggung jawab, mulai dari mengurus rumah tangga, pendidikan anak, hingga keuangan keluarga. Banyak yang menyerah, namun lebih banyak lagi yang bertahan dan bahkan tumbuh berkembang. Ini kisah inspiratif tentang beberapa di antara mereka.
1. Ade Sulistyowati dan Krispy Yammy Babeh
Di awal tahun 2019, Ade dan suaminya mengalami kerugian besar saat proyek pembangunan yang mereka laksanakan mangkrak di tengah jalan. Saat suaminya memutuskan mundur dari dunia properti, wanita yang akrab dipanggil Bunda Elis ini nekat memulai bisnis keripik singkong kecil-kecilan. Bermodalkan 50 ribu rupiah mereka gunakan untuk membeli minyak goreng, gas, bumbu rasa keju dan jagung manis, serta plastik kemasan. Dari dapur rumahan yang nyaman, keripik singkong Krispy Yammy Babeh pun lahir.
Sumber foto: Tribun
Sempat dihadang pandemi dan tantangan lainnya, Bunda Elis berhasil membesarkan bisnisnya dengan satu strategi: rajin berinovasi. Ia menghadirkan varian-varian baru setiap tahunnya agar pelanggan tidak bosan. Keuntungan bisnis digunakannya untuk upgrade bentuk kemasan, dengan logo dan warna yang lebih menarik perhatian.
Di tahun 2020, Krispy Yammy Babeh mampu mengekspor produk mereka ke Jepang, Australia, hingga Kanada. Penjualan di dalam negeri pun terus meningkat dengan berpindahnya penjualan ke marketplace. Menurut Bunda Elis, dukungan suami dan anak-anaknya berperan besar dalam kesuksesan usahanya.
2. Erna Sari dan Ayam Penyet Bandung (APB)
Ayam Penyet Bandung, yang kini populer dan memiliki 5 cabang di Jabodetabek, dibangun atas kegigihan Erna Sari. Bermula dari merosotnya bisnis di bidang jual beli handphone, Erna pun menemukan ide bisnis baru di bidang kuliner. Di tengah kesibukan sebagai single mother, ia mulai memikirkan konsep yang tepat, mulai dari nama brand, pengumpulan database supplier bahan baku, hingga konsep yang ingin ditawarkan.
Erna Sari memulai bisnisnya di pinggir jalan dekat dengan toko handphone yang dulu ia jalankan. Tidak disangka, konsep cara makan khas sunda, serta rasa yang tentunya enak, membuat Ayam Penyet Bandung (APB) disukai banyak orang. Ramainya serbuan pembeli Ayam Penyet Bandung (APB) membuat Erna mulai mempekerjakan karyawan untuk membantu kala itu.
Sumber foto: Kabari News
Erna Sari bersama para pelaku usaha kuliner ayam penyet lain melakukan transaksi bersama atau sering disebut crowd purchasing. Tentunya harga bahan baku menjadi lebih murah ketika dibeli dalam wholesale atau grosir dibandingkan membeli dalam jumlah eceran. Ayam Penyet Bandung (APB) nyatanya dapat membuktikan bahwa lawan bisnis dapat menjadi rekan bisnis dengan melakukan kolaborasi.
Membaiknya kondisi bisnis Ayam Penyet Bandung, pada akhirnya, turut membawa kehidupan Erna dan anak-anaknya ke arah yang lebih baik. Meski awalnya sulit, namun kegigihan dan ketelitian dalam membaca pasar dapat membuka pintu sukses baginya.
3. Novia Candra Dewi dan Fox And Bunny
Dalam beberapa tahun terakhir, pangsa pasar kategori keperluan Ibu dan Anak terus berkembang pesat, terutama di pasar online. Peluang inilah yang kemudian dilirik dan diwujudkan menjadi bisnis oleh Novia Candra Dewi, seorang pebisnis muda asal Yogyakarta.
Fox and Bunny merupakan sebuah brand lokal yang memproduksi mainan aktivitas dan edukasi anak. Usaha ini dirintis Novia Candra Dewi, seorang pebisnis lokal sejak tahun 2016 di Kota Sleman, Yogyakarta. Saat itu, Novi yang merupakan ibu dari dua orang anak yang tengah menjalankan bisnis fesyen kecil-kecilan yang ia dirikan dua tahun sebelumnya. Saat sedang sibuk-sibuknya berbisnis, Novi sering mengalihkan perhatian anak-anak dengan membiarkan mereka bermain gadget. “Jadi istilahnya waktu itu, baby sitter anak saya itu gadget,” ujarnya.
Padahal, saat itu kedua anak Novi sedang berada di masa-masa perkembangan yang justru membutuhkan pendampingan konstan dari orangtua. Hal ini berujung pada pengalaman tak enak baginya. Sang buah hati pada akhirnya menderita gangguan pada syaraf mata di usia yang masih kurang dari dua tahun. “Dari situ saya sadar ada yang salah, dan saya harus segera mencari solusi untuk memperbaiki kesalahan saya tersebut,” papar Novi.
Sumber foto: foxandbunny.id
Ia kemudian mencari berbagai macam referensi tentang apa saja yang bisa membantu anaknya lepas dari ketergantungan pada gadget. “Suatu ketika saya menemukan satu jenis permainan aktivitas yang sangat menarik, berasal dari kain dan aman untuk anak. Kalo di luar negeri dikenal sebagai Quiet Book,” jelasnya. Sementara di Indonesia sendiri buku jenis ini lebih dikenal dengan nama Busy Book.
Menilik masih jarangnya penjual Busy Book saat itu, Novi mulai melihat sektor ini sebagai suatu peluang bisnis yang menarik. Berawal dari hal inilah, ia kemudian mulai melayani pesanan yang masuk dari teman-teman dan kalangan terdekatnya. Tak disangka, bisnis ini kemudian berkembang pesat.
Saat ini, Fox And Bunny telah terkenal sebagai brand pelopor Busy Books di Indonesia. Branding di media sosial dan aktif di e-commerce menjadi senjata sendiri untuk menjangkau pelanggan hingga ke berbagai pulau. Tak hanya berhasil mengembangkan bisnis dengan penghasilan besar, Novia juga sukses membawa nilai edukasi ke rumah anak-anak di seluruh Indonesia, sekaligus menolong para ibu lain mengatasi masalah ketergantungan gadget pada si kecil.
4. Gina Priadini dan GoodVibes
GoodVibes merupakan merek produk perawatan kulit natural dan aromaterapi lokal yang menerapkan pendekatan berkelanjutan dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam merintis bisnis ini, Gina Priandini punya cerita sendiri yang tak terlepas dari pengalaman pribadinya. Awalnya, Gina menggunakan pengobatan alami dan home remedy berbasis essential oil (minyak esensial) untuk anaknya.
Setelah praktik ini berhasil, ia mulai bereksplorasi di produk aromaterapi dan belajar meracik produk tersebut. Usaha ini berhasil menemukan resep yang tepat untuk produk perdana GoodVibes, yaitu Tension Reliever. Di tahun 2019, Gina menjadi semakin percaya diri menawarkan produknya ke pasar yang lebih luas. Pasalnya, waktu itu pengobatan alami dan home remedy mulai menanjak di pasaran. Ia pun memutuskan keluar dari tempatnya bekerja agar bisa lebih serius dalam mengembangkan GoodVibes.
Sumber foto: Liputan 6
Dalam berbisnis, Gina Priandini memutuskan untuk menerapkan basis sustainability alias berkelanjutan, sehingga usaha yang ia jalankan berpegang pada nilai-nilai estetika sosial. Ia memastikan masyarakat lokal terlibat dalam proses perjalanan bisnisnya dan diberdayakan menjadi pekerja profesional. “Biasanya, kita mengutamakan orang-orang yang tinggal di daerah kita,” ujar Gina dalam wawancara bersama salah satu media nasional. Menurutnya, hal ini ia lakukan agar GoodVibes bisa memberikan dampak positif terlebih dulu kepada lingkungan sekitar, baik dari segi sosial maupun ekonomi.
5. Nenden Rospiani dan Restu Mande
Di tahun 2011, Nenden dan Amril, pasutri pemilik sebuah rumah makan Padang kecil di Bandung, mulai bereksperimen membuat lauk kemasan. Selama riset, Nenden menemukan bahwa rendang yang diproduksi dengan sistem vakum dan sterilisasi bisa mempunyai umur simpan lebih dari satu tahun.
Keberhasilan tersebut memotivasi Nenden dan Amril untuk memasarkan rendang dalam kemasan vakum. Produk ini dapat disimpan dalam suhu ruang, tidak perlu dimasukkan ke freezer, serta bebas dari bahan pengawet kimia dan bahan adiktif lainnya.
Sumber foto: Detik Finance
Namun, meyakinkan pasar untuk menerima inovasi baru ini bukanlah hal yang mudah. Di tahun 2011, rendang kemasan yang mereka jual di rumah makan sendiri, tidak laku. “Karena orang pengennya rendang yang fresh, segar,” ujar Nenden. Belum lagi, mereka membandrol harga dua kali lebih mahal dibandingkan rendang yang mereka pajang di rumah makan. Alhasil banyak pelanggan yang sangsi dengan kualitas rendang kemasan.
Kondisi ini tidak berlangsung lama. Beberapa tahun belakangan, pesanan via marketplace justru melonjak tinggi, bahkan saat Indonesia tengah dihantam pandemi. Kini, rendang kemasan Restu Mande tersedia di berbagai negara, mulai dari Singapura, Filipina, Amerika Serikat, Hongkong, Perancis, hingga Norwegia.
Kisah kelima womenpreneur di atas menjadi bukti nyata, bahwa kegigihan dan kepercayaan perempuan mampu merawat bisnis hingga tumbuh besar. Berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, dengan alasan dan tujuan berbisnis yang berbeda pula, mereka masing-masing mampu mencapai kesuksesan lewat jalan panjang. Jika sokongan dari pemerintah lebih merata, bukan tidak mungkin wirausaha wanita Indonesia bisa cepat naik kelas, bukan?
Referensi :
- https://ukmjagowan.id/
- https://ukmindonesia.id/baca-deskripsi-posts/restu-mande-pelopor-rendang-kemasan-beromzet-8-miliar-per-tahun
- https://ukmindonesia.id/baca-deskripsi-posts/good-vibes-