
Industri fashion selama ini dikenal sebagai sektor yang bergerak cepat. Model berganti, tren datang dan pergi, sementara lemari pakaian semakin penuh oleh baju yang jarang dipakai. Di sisi lain, bagi pelaku UMKM fashion, kondisi ini kerap menimbulkan tantangan: stok menumpuk, produk cepat terasa usang, dan persaingan harga semakin ketat.
Namun di tengah tekanan tersebut, muncul peluang yang justru semakin relevan: bisnis fashion sirkular. Bukan sekadar tren global atau isu lingkungan, melainkan pendekatan bisnis yang membuat pakaian dipakai lebih lama, bernilai lebih panjang, dan menghasilkan pendapatan dari berbagai tahap siklusnya. Di tingkat UMKM, praktik ini paling nyata terlihat melalui jahit ulang, permak, dan sewa pakaian—tiga model usaha yang kini semakin diminati konsumen.
Ketika Cara Konsumen Berpakaian Mulai Berubah
Perubahan perilaku konsumen menjadi salah satu pendorong utama berkembangnya bisnis fashion sirkular. Banyak orang tidak lagi membeli pakaian semata karena tren, tetapi mulai mempertimbangkan fungsi, keawetan, dan fleksibilitas penggunaan. Kenaikan harga pakaian baru juga membuat konsumen lebih selektif dalam berbelanja.
Dalam konteks ini, jasa permak kembali diminati karena membantu pakaian lama tetap layak pakai. Jahit ulang menarik perhatian karena menawarkan produk yang unik dan berbeda. Sementara sewa pakaian menjadi solusi praktis bagi konsumen yang ingin tampil rapi atau spesial tanpa harus memiliki baju baru.
Bagi UMKM fashion, perubahan ini bukan ancaman, melainkan celah pasar yang semakin terbuka.
Baca juga: Bisnis Kuliner Sirkular: Cara UMKM F&B Mengurangi Makanan Terbuang dan Menambah Pendapatan
Fashion sebagai Sektor yang Alami untuk Bisnis Sirkular
Tidak semua sektor usaha mudah menerapkan prinsip sirkular. Namun fashion memiliki keunggulan alami. Pakaian adalah produk yang bisa diperbaiki, disesuaikan, diubah bentuknya, bahkan dipindahtangankan berkali-kali. Nilainya tidak langsung habis setelah satu kali pakai.
UMKM fashion—mulai dari penjahit rumahan, brand lokal, hingga usaha konveksi kecil—sebenarnya sudah lama menjalankan praktik-praktik ini, meski tidak selalu menyebutnya sebagai bisnis sirkular. Tantangannya adalah mengemas praktik tersebut menjadi model usaha yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Ketika pakaian diperbaiki, dijahit ulang, atau disewakan kembali, siklus pakainya menjadi lebih panjang dan secara langsung menunda pakaian tersebut menjadi limbah.
Bisnis Fashion Sirkular Versi UMKM
Dalam konteks UMKM Indonesia, bisnis fashion sirkular tidak menuntut teknologi tinggi atau modal besar. Yang dibutuhkan justru keahlian lokal, ketelitian, dan pemahaman terhadap kebutuhan pasar. Tiga model berikut menjadi pintu masuk yang paling realistis bagi UMKM fashion.
1. Jahit Ulang: Dari Pakaian Lama Menjadi Produk Baru
Jahit ulang adalah praktik mengubah pakaian lama atau sisa produksi menjadi produk baru dengan identitas yang berbeda. Di sinilah kreativitas UMKM fashion berperan besar. Kemeja lama bisa dijahit ulang menjadi outer, gaun yang jarang dipakai dapat dirombak menjadi dua produk berbeda, atau sisa kain produksi disulap menjadi aksesori bernilai jual.
Bagi konsumen, produk hasil jahit ulang menarik karena sifatnya unik dan terbatas. Tidak ada dua produk yang benar-benar sama. Bagi UMKM, jahit ulang membuka peluang margin yang lebih sehat karena bahan bakunya berasal dari stok lama atau pakaian yang sudah tidak terpakai.
Model ini cocok bagi UMKM yang memiliki kekuatan desain dan keterampilan teknis. Jahit ulang bukan bisnis berbasis volume besar, melainkan bisnis berbasis nilai—di mana cerita, kreativitas, dan diferensiasi menjadi daya tarik utama.
2. Permak: Jasa Klasik yang Kembali Naik Kelas
Berbeda dengan jahit ulang, permak tidak mengubah identitas pakaian. Fokusnya adalah penyesuaian ukuran, kenyamanan, dan fungsi agar pakaian bisa digunakan lebih lama. Meski sering dianggap sederhana, jasa permak justru memiliki potensi bisnis yang stabil.
Dalam beberapa tahun terakhir, jasa permak kembali diminati seiring meningkatnya harga pakaian baru. Banyak konsumen memilih memperbaiki atau menyesuaikan baju lama daripada membeli yang baru. Bagi UMKM, permak menawarkan keunggulan berupa repeat order dan aliran pendapatan yang relatif konsisten.
Permak juga memiliki hambatan masuk yang rendah. Banyak penjahit rumahan sudah memiliki keahlian ini. Tantangannya adalah bagaimana mengemas jasa permak secara lebih profesional—baik dari sisi pelayanan, kecepatan pengerjaan, maupun cara mengomunikasikan nilainya kepada konsumen.
3. Sewa Pakaian: Memakai Tanpa Harus Memiliki
Model sewa pakaian semakin relevan di tengah gaya hidup yang fleksibel. Untuk acara tertentu, kebutuhan kerja, atau keperluan konten, banyak konsumen tidak lagi ingin membeli pakaian yang hanya dipakai satu atau dua kali.
Bagi UMKM fashion, sewa pakaian membuka peluang pendapatan berulang dari satu produk yang sama. Gaun, jas, atau busana kerja dapat menghasilkan pemasukan berkali-kali selama dikelola dengan baik.
Namun model ini menuntut kedisiplinan yang lebih tinggi, terutama dalam perawatan, manajemen stok, dan membangun kepercayaan pelanggan. UMKM yang ingin masuk ke bisnis sewa perlu memastikan kualitas produk tetap terjaga dan sistem peminjaman berjalan jelas. Meski tantangannya lebih besar, potensi nilai jangka panjangnya juga signifikan.
Baca juga: 9 Strategi Praktis Agar Bisnis Sewa Gaun Pesta Selalu Diminati
Di Mana Letak Daya Tarik Pasarnya?
Ketiga model ini—jahit ulang, permak, dan sewa pakaian—menjawab kebutuhan konsumen yang berbeda. Jahit ulang menarik bagi mereka yang mencari keunikan dan diferensiasi. Permak diminati konsumen yang ingin berhemat sekaligus memperpanjang umur pakaian. Sementara sewa pakaian dipilih oleh konsumen yang mengutamakan fungsi dan fleksibilitas.
Bagi UMKM fashion, kombinasi model ini memungkinkan usaha tidak hanya bergantung pada penjualan produk baru. Pendapatan dapat berasal dari jasa, produk bernilai tambah, serta pemanfaatan ulang stok yang sudah ada.
Apakah Bisnis Fashion Sirkular Justru Mengurangi Pendapatan UMKM?
Kekhawatiran yang wajar dari pelaku usaha fashion adalah anggapan bahwa jika pakaian dipakai lebih lama, dijahit ulang, atau disewakan, maka penjualan produk baru akan menurun. Kekhawatiran ini masuk akal, mengingat fashion bukanlah kebutuhan harian seperti makanan.
Namun dalam praktiknya, bisnis fashion sirkular tidak menghilangkan kebutuhan beli, melainkan mengubah pola pendapatan UMKM. Penjualan pakaian baru tetap ada, tetapi tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pemasukan. Di sela siklus beli yang relatif jarang, UMKM memperoleh pendapatan dari jasa permak, jahit ulang, maupun sewa pakaian.
Pendekatan ini justru membantu menstabilkan arus kas. Ketika penjualan produk melambat, jasa tetap berjalan. Ketika stok lama sulit terjual, jahit ulang memberi jalan keluar. Ketika konsumen belum ingin membeli, sewa menjadi alternatif. Dengan demikian, UMKM tidak sepenuhnya bergantung pada momen penjualan tertentu.
Dalam konteks ini, bisnis fashion sirkular bukan tentang membuat konsumen berhenti membeli pakaian, tetapi tentang memastikan UMKM tetap memperoleh pendapatan di antara jeda pembelian tersebut. Bagi usaha kecil, kestabilan semacam ini sering kali lebih penting daripada lonjakan penjualan sesaat.
Baca juga: Bisnis Sewa Paling Laris di Indonesia 2025: Dari Alat Berat hingga Outfit Wisuda
Tantangan yang Perlu Disadari UMKM Fashion
Masuk ke bisnis fashion sirkular bukan tanpa tantangan. Mindset bahwa usaha fashion harus selalu menjual produk baru masih cukup kuat. Selain itu, pengelolaan kualitas menjadi krusial, terutama untuk model sewa pakaian dan jahit ulang.
UMKM juga perlu lebih rapi dalam manajemen stok dan pencatatan. Tanpa sistem sederhana yang konsisten, potensi sirkular sulit berkembang secara optimal. Namun dibandingkan ekspansi produksi besar-besaran, tantangan ini relatif lebih terkendali dan bisa diatasi secara bertahap.
Apakah Semua UMKM Fashion Harus Menerapkannya?
Tidak semua UMKM fashion perlu menjalankan ketiga model sekaligus. Pendekatan yang paling sehat justru adalah memilih satu model yang paling sesuai dengan kapasitas usaha. Penjahit rumahan bisa memulai dari permak. Brand kreatif dapat fokus pada jahit ulang. UMKM dengan koleksi busana khusus bisa menjajaki sewa pakaian.
Bisnis fashion sirkular bukan soal mengikuti tren, melainkan soal menentukan strategi yang paling masuk akal bagi masing-masing usaha.
Pada akhirnya, bisnis fashion sirkular menunjukkan bahwa pakaian tidak harus berakhir di lemari atau tempat sampah setelah satu siklus pakai. Melalui jahit ulang, permak, dan sewa pakaian, UMKM fashion memiliki peluang untuk memperpanjang nilai produknya sekaligus membuka sumber pendapatan baru. Di tengah persaingan industri yang semakin padat, usaha yang mampu membuat produknya bertahan lebih lama sering kali menjadi usaha yang lebih tahan menghadapi perubahan. Setiap pakaian yang dijahit ulang, dipermak, atau disewakan kembali bukan hanya menciptakan nilai ekonomi baru, tetapi juga secara nyata mengurangi jumlah pakaian yang berakhir sebagai limbah.
Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!
Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas kami di ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!









