Sertifikasi Halal - Setelah diundangkan sejak 2014, UU Jaminan Produk Halal masih mengalami berbagai kendala pelaksanaan. Salah satunya adalah ketidaksiapan rantai pasok pendukung industri halal di sisi hulu. Hal ini krusial, karena aneka bahan dasar pangan yang digunakan banyak pelaku usaha skala mikro, belum kantongi Sertifikat Halal (SH). Kondisi itu membuat banyak pelaku usaha tak dapat penuhi persyaratan. 

Sebut saja Bu Nanik, seorang produsen kripik jamur dan abon daging. Dalam usahanya ia gunakan tepung buatan kelompok tani yang belum bersertifikat halal. Daging untuk abonnya pun dibeli dari pasar terdekat. Menurut tukang daging langganannya, disembelih secara Islam, meski Rumah Potong Hewan-nya belum bersertifikat halal.  

Bu Nanik ingin punya SH agar produknya dipercaya mitra toko atau distributor. Pemerintah setempat sudah mendorongnya untuk mengurus, sembari sampaikan ancaman sanksi. Apabila sampai Oktober 2024 nanti belum memiliki SH, akan ada sanksi berupa peringatan tertulis, penarikan produk dari peredaran, hingga denda sampai dengan Rp2 miliar. Sanksi itu akan berlaku bagi Bu Nanik dan Pelaku Usaha Mikro Kecil lainnya, yang menghasilkan produk makanan dan minuman; bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman; dan produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.


Prosedur “Nanggung” Pernyataan Mandiri Halal

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sudah lakukan langkah pendukung. Diantaranya mengembangkan sistem Registrasi Halal online, SiHalal, namanya. Lalu melatih lebih dari 70.000 Pendamping Proses Produk Halal (PPH), dan menyediakan skema pendaftaran self declare atau pernyataan mandiri untuk usaha mikro. Sesuai amanah UU Cipta Kerja klaster Jaminan Produk Halal (Pasal 48), usaha mikro wajib bersertifikat halal melalui Pernyataan Mandiri yang standar halalnya ditentukan BPJPH. 

Tetapi, prosedur BPJPH untuk skema self declare tetap butuh verifikasi dan validasi dari Komite Fatwa. Jika informasi yang diunggah sesuai kenyataan, produk Bu Nanik, pasti gagal raih SH self declare. Sehingga, “saran umum” pendamping PPH adalah agar mengisi dengan informasi yang sesuai dengan standar BPJPH, walau tak sesuai dengan praktik nyatanya. 

Pendamping PPH berkepentingan agar Bu Nanik dan lainnya, peroleh SH, hal ini karena honorarium mereka dihitung per SH yang berhasil terbit. Bu Nanik juga berkepentingan,  karena jika beliau benar-benar mengganti bahan daging dari RPH dengan SH, biaya produksinya bisa naik, produknya akan kurang kompetitif. 

Di di sisi lain, rendahnya literasi digital membuat pendamping PPH “malas mendampingi” secara sungguh-sungguh. Bagi mereka, mengerjakan sendiri terasa lebih hemat waktu daripada menjelaskan dan memperbaiki salah mengisi formulir online jika dilakukan sendiri oleh pelaku usaha. Bahkan ada yang sampai membuatkan email, akun OSS, serta NIB-nya dulu, lalu dibuatkan akun SiHalal-nya. Di kasus ekstrim, pendamping bahkan “menyandera” username dan password tersebut agar  “ditebus” oleh pemiliknya. 

Jelas tidak semua pendamping seperti itu, namun, preseden ini sudah sejatinya menjadi teguran keras bagi berbagai pihak, khususnya pemerintah.


Rantai Pasok Halal Belum Siap

Masih soal UU Cipta Kerja, klaster Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM (Pasal 85), memberi mandat untuk bebaskan biaya Perizinan Berusaha kepada Usaha Mikro. Adapun kriteria usaha mikro berdasar PP No. 7 Tahun 2021 adalah yang omsetnya maksimal Rp. 2 miliar/ tahun. Data Kemenkop UKM (publikasi 2021), menunjukkan rata-rata omset mereka hanya sekitar Rp. 99 juta/ tahun.

Artinya, pelaku usaha seperti Bu Nanik harusnya gratis. Tapi faktanya, BPJPH mewajibkan produk yang menggunakan bahan baku hewan hasil sembelihan wajib urus SH melalui skema regular, tidak bisa self declare. Skema itu bianya cukup mahal, Rp. 650.000 per jenis produk. Itu belum termasuk biaya transportasi dan akomodasi auditor yang harus dibiayai pemohon. Alhasil, Bu Nanik hanya bisa urus SH self declare untuk keripik jamurnya saja. Sementara abon daging, harus lewat jalur reguler, walaupun usahanya masih mikro.

Tak hanya biaya, Bu Nanik perlu mengganti dulu pemasok dagingnya ke yang sudah SH. Jika tidak, akan percuma, karena dipastikan tak akan lulus audit Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Padahal, mencari daging dari RPH yang sudah SH itu susah. Di Indonesia, baru sekitar 15 persen RPH terdaftar yang sudah punya SH. 

Di sisi lain, anggaran Pemerintah untuk gratiskan SH self declare sangat terbatas, kuotanya hanya 1 juta pada 2023. Jika setiap usaha mikro daftarkan 3 jenis produk, artinya hanya sekitar 335.000 pelaku usaha yang dapat dilayani. Padahal, jumlah pelaku industri makanan minuman mikro sekitar 1.7 juta unit (BPS, 2022). Jadi penasaran, nasib honor pendamping PPH yang membantu uruskan SH self declare ke 1.000.001 dan seterusnya bagaimana, ya? Apakah hak mereka akan tetap dibayar?


Nafsu Kalahkan Malaysia di Ranking SGIE, Halalkan Segala Cara?

Saya yakin semua pihak mendukung visi Indonesia menjadi Pusat Industri Halal dunia. Bagaimana tidak, sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak, kok hanya ranking 4 di ranking global berdasarkan State of Global Islamic Economy Report (SGIE Report)? Kalah dari Malaysia yang petahana 8 tahun ranking 1 global, dengan total skor Global Islamic Economic Indicator (GIEI) per laporan 2022 adalah 207.2, diikuti Arab Saudi (97.8), Uni Emirat Arab (90.2), dan Indonesia (68.5). Ranking ini memotret perkembangan ekonomi Halal di sektor keuangan, makanan minuman (mamin), pariwisata, fashion, kosmetik dan farmasi, serta media dan rekreasi.

Di sektor mamin sendiri, sebenarnya Indonesia sudah menanjak ke ranking 2, namun selisih skornya masih cukup jauh, dimana Malaysia 123.4 dan Indonesia 71.1. Untuk menaikkan skor itu, indikator yang dinilai bukan hanya soal perkembangan komitmen kebijakan terkait regulasi dan sertifikasi, tapi juga nilai ekonomi sektornya (market size), termasuk nilai ekspor produk halal. 

Jadi, caranya tidak melulu hanya dengan grasa grusu kejar target 10 juta produk bersertifikat halal pada 2024 disaat kondisi ekosistem rantai pasoknya masih belum siap. Melainkan juga bisa dengan mendalamkan dukungan untuk produk UKM unggulan dan siap ekspor, agar dapat tembus lebih banyak negara dan cetak nilai ekspor yang lebih besar. 

“Bu, persaingan untuk dapat omset tuh makin susah. Eh malahan disuruh bayar ini-itu. Baru aja diancam denda karena izin edar belum kelar. Udah ada ini lagi”, curhat mereka.  

Alih-alih ancam dengan sanksi, Pemerintah perlu sempurnakan regulasi teknis dan sistem implementasinya. Sistem SiHalal tersedia tahun 2021, umumnya perlu 5-10 tahun membiasakan penggunaannya agar prima layani masyarakat. Lebih penting lagi, Pemerintah harus siapkan ekosistem rantai pasok halalnya.  Apakah adil mewajibkan rakyat mengurus SH disaat mencari daging dari RPH ber-SH saja lebih sulit dan lebih mahal?  

Pemerintah bisa pertimbangkan untuk mengubah prosedur SH self declare agar benar-benar self-declare, tanpa perlu validasi dan verifikasi Komite Fatwa. Namun, pemerintah perlu siapkan logo yang sedikit berbeda khusus untuk SH self declare, misalnya maksimal berlaku 5 tahun dan wajib ditingkatkan ke SH reguler setelahnya.  

Opsi lain, kembalikan urusan sertifikasi halal sebagai urusan voluntary, alias sukarela. Setelah rantai pasok halal siap, dapat dinaikkan menjadi mandatory. Jangan wajibkan setiap anak pandai berenang, sebelum kita cukupkan ketersediaan kolam dan pelatihnya.