Batas omset wajib pungut PPN – Sahabat Wirausaha mungkin tahu dengan wacana kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Isu ini ramai dibahas pada akhir tahun 2024 dengan didominasi oleh suara-suara penolakan. Syukurnya, kebijakan tersebut akhirnya batal diterapkan secara menyeluruh, karena hanya diterapkan untuk barang mewah saja. Artinya, banyak barang kebutuhan sehari-hari kita, yang PPN-nya masih tetap 11%.
Dalam istilah Bahasa Inggris yang umum dipakai banyak negara, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST) yang konsep pemungutannya seperti “biaya bertransaksi” di platform tertentu, karena dipungut berdasarkan tarif atas nilai transaksi.
Contoh, Sahabat Wirausaha belanja di suatu supermarket modern dengan total nilai harga barang belanjaan adalah Rp500.000. Nah, total yang harus dibayar nanti harus ditambah dengan PPN 11% atau Rp55.000, sehingga total nilai transaksinya adalah Rp555.000.
Mengapa Suatu Negara Perlu Memungut Pajak?
Sahabat Wirausaha mungkin pernah bertanya, mengapa sih kita membutuhkan pajak? Sejak beratus-ratus tahun sebelumnya, pajak merupakan sistem terpraktis yang digunakan untuk mengumpulkan dana untuk membayar kebutuhan operasional kepemerintahan untuk menyediakan berbagai macam layanan bagi warga negara berupa barang dan jasa publik, agar dapat diakses oleh masyarakat luas, dan bukan sekelompok elit saja.
Jika dikelola dengan baik, penerimaan pajak ini akan digunakan untuk pengadaan infrastruktur, keamanan negara, serta bermacam subsidi yang ditujukan untuk mencapai pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Namun sayangnya sejarah juga membuktikan bahwa pemerintah dapat menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya dalam pengelolaan penerimaan pajak, dilihat dari menjamurnya praktek korupsi, kolusi, nepotisme, dan kronisme. Para ahli juga sering berdebat mengenai cara memberlakuan sistem pajak yang adil dan optimal.
Apakah misalnya semua orang atau institusi akan diterapkan tingkat pajak yang sama ataupun dibedakan berbeda-beda sesuai dengan pendapatan masing-masing dari mereka (seperti Pajak Penghasilan atau PPH), aset atau nilai kekayaan mereka (seperti Pajak Bumi Bangunan, Pajak Kendaraan Bermotor), atau berdasarkan nilai transaksi jual belinya (seperti PPN).
Sebagai suatu instrumen kebijakan, tarif dan skema pemungutan pajak juga dapat dibeda-bedakan berdasarkan sektor usaha tertentu. Misalnya, pemerintah ingin mendorong hilirisasi rumput laut, maka tarif pajak penghasilan badan usaha yang menghasilkan produk hasil olahan rumput laut bisa diturunkan untuk mengakselerasi pertumbuhan industrinya. Sebaliknya, pemerintah tidak ingin suatu sektor maju di Indonesia, maka tarif pajaknya pun bisa dinaikkan.
Intinya, jika digunakan dengan baik untuk menunjang kesejahteraan masyarakat dan memperlancar iklim usaha (misalnya penggunaan pajak untuk menunjang infrastruktur jalan, jembatan, layanan logistik murah, dsb), pembayaran pajak sejatinya akan kembali lagi menjadi manfaat nyata bagi kita semua para pembayar pajak, dan warga negara. Hal ini didukung oleh penelitian Wasylenko (2019) yang menemukan bahwa di Amerika Serikat pajak memiliki efek positif dalam meningkatkan pembangunan ekonomi secara regional.
Bagaimana Pemerintah Memungut PPN?
Pada artikel ini kita akan fokus pada topik PPN atau Pajak Pertambahan Nilai, yang skema pemungutannya seperti “biaya bertransaksi”. Di Indonesia, pemungutan PPN ini dilakukan oleh badan-badan usaha yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Setiap perusahaan yang sudah terdaftar sebagai PKP, itu wajib menambahkan PPN di semua dokumen transaksinya (invoice, kwitansi atau struk belanja).
Hasil dari pungutan PPN tersebut kemudian harus disetorkan oleh PKP kepada negara. Dalam mengelola transaksi, PKP perlu mengeluarkan Faktur Pajak untuk lawan transaksinya (pembeli), sebagai bukti bahwa tambahan “harga” sebesar 11% tersebut benar-benar akan dialokasikan untuk disetorkan kepada negara.
Lalu, perusahaan seperti apa sih yang wajib bertindak sebagai PKP? Apakah setiap pelaku usaha di Indonesia – baik itu usaha perseorangan, CV, PT, Yayasan, Koperasi, atau BUMDes – wajib menjadi PKP dan menjadi agen pemungut PPN bagi negara? Jawabannya adalah, tidak.
Di Indonesia, hanya pelaku usaha yang omsetnya sudah melebihi batas omset 4.8 miliar rupiah per tahun saja yang wajib daftar Pengusaha Kena Pajak (pemungut PPN). Jadi, kalau omset bisnis Sahabat Wirausaha adalah Rp2 miliar per tahun, maka belum wajib kok untuk jadi PKP. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah batas omset Rp4,8 miliar tersebut sudah sesuai? Apakah sudah selaras dengan misi pemerintah untuk mendorong UMKM Naik Kelas?
Mempertanyakan Kesesuaian Batas Omset Wajib jadi PKP Rp4,8 miliar per tahun dengan Misi UKM Naik Kelas
Beberapa pihak, khususnya pelaku UKM memandang batas omset ini para UKM terlalu kecil dan sudah tidak sesuai lagi dengan kriteria UMKM yang baru berdasarkan PP No.7/2021, dimana kriteria omset Usaha Kecil itu adalah Rp2 - 15 miliar per tahunnya. Aturan batas PKP di angka Rp4.8 miliar per tahun ditentukan dengan PMK 197/2013, dimana pada saat itu kriteria UMKM masih mengacu pada UU No.20/2008, dimana kriteria Usaha Kecil saat itu adalah yang omsetnya sekitar Rp300 juta s.d Rp2.5 miliar rupiah per tahun.
Jadi, ketika regulasi PMK 197 tersebut dibuat, usaha dengan omset Rp4,8 miliar per tahun adalah tergolong Usaha Menengah (sesuai UU No.20/2008), sementara berdasarkan kriteria terbaru (sesuai PP No.7/2021), masih tergolong Usaha Kecil.
Berdasarkan data dari Kemenkop UKM RI (2019), dilaporkan bahwa Indonesia hanya memiliki 44.728 Usaha Menengah atau hanya 0.06% dari total unit Usaha, dan hanya 0.01% Usaha Besar. Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, rasio Usaha Menengah di Malaysia adalah 1.74%, di Uni Eropa 0,8%, dan Korea Selatan 5.4% (gabungan Usaha Kecil dan Menengah). Artinya, Indonesia masih sangat perlu mengakselerasi pertumbuhan Usaha Kecil, agar bisa naik kelas menjadi Usaha Menengah, bukan?
Kembali ke konteks regulasi, dapat dikatakan bahwa saat ini, PMK 197/2013 yang menjadi acuan batas omset wajib PKP di Rp4,8 miliar per tahun, sudah tidak sinkron dengan PP No.7/2021 yang mengatur soal kriteria omset UMKM yang baru.
Dengan tidak sinkronnya kedua peraturan ini, usaha kecil menjadi jadi sulit naik ke skala menengah, yang salah satunya juga karena riweuhnya proses pemungutan PPN yang harus mereka jalani akibat tambahan beban administrasi pengurusan faktur pajak setiap bertransaksi dan tentu juga urusan pelaporannya.
Akhirnya, kondisi ini malah menyebabkan banyak pelaku usaha memecah PT mereka dengan membuat perusahaan sejenis, ketika omset mereka sudah menyentuh di kisaran angka 4 miliar rupiah pertahun. Ya, akhirnya, jumlah unit usahanya memang meningkat, tapi skalanya tetap kecil melulu.
Fenomena ini adalah indikasi bahwa sistem perpajakan (pemungutan PPN) yang diterapkan dan berpengaruh langsung kepada UKM saat ini, malah memberikan disinsentif bagi mereka untuk ‘naik kelas’. Sejatinya, UKM justru didorong agar dapat lebih termotivasi dan bisa menjadi benih-benih dari perusahaan formal yang besar kelak. Ketidaksinkronan regulasi diatas pada ujungnya akan mematikan potensi pertumbuhan aktivitas ekonomi yang dimulai dengan semakim banyaknya para UKM yang ‘naik kelas’ tersebut.
Sehingga tak jarang kita mendengar pelaku UKM berkata, “Kok, kami yang kecil-kecil ini dipajakan mulu, sih? Yang ngemplang pajak gede-gede gak diapa-apain tuh?”.
Dilema Pemerintah yang “Butuh Uang” Versus UKM yang Juga “Butuh Uang (Modal)”
Nah, berhubung pemerintah juga membutuhkan peningkatan penerimaan pajak setiap tahunnya, maka berbagai sektor digenjot untuk bisa memenuhi target. Menurut mereka peningkatan pendapatan pajak ini mutlak dibutuhkan untuk bisa mengakomodasi peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi setiap tahunnya. Salah satu kebijakan pajak yang sempat menjadi isu hangat adalah waktu pemerintah akan menaikan PPN menjadi 12 persen dan menuai kontroversi yang didominasi oleh suara kontra dari masyarakat.
Schneider (2004) menemukan bahwa ukuran ekonomi informal pada negara berkembang masih sangat besar sekali. Beberapa diantaranya bahkan memiliki persentase sektor informal yang mencapai lebih dari 50 persen dari keseluruhan ekonomi suatu negara, seperti Indonesia yang mana sektor informasi masih di kisaran 59%, dimana pelaku UMKM menjadi penyerap sekitar 97% dari tenaga kerja di tanah air. Mungkin, para pembuat kebijakan melihat sektor informal yang erat kaitannya dengan aktivitas UKM ini sebagai potensi yang belum dioptimalkan.
Namun nyatanya, isu perpajakan ini malah menjadi hambatan utama dalam proses formalisasi UKM untuk naik kelas. Laporan World Bank (2007) mengamini kenyataan ini dengan ditemukannya beberapa fakta di lapangan didasarkan survei yang mereka lakukan bekerjasama dengan PricewaterhouseCoopers (PWC).
Sekitar 90 persen perusahaan yang mereka wawancara di berbagai negara memasukkan sistem perpajakan ke dalam lima hambatan utama dalam berbisnis. Alasan utamanya terkait dengan besaran pajak, prosedur, administrasi dan peraturan yang rumit serta tingkat pajak yang mereka anggap cukup tinggi.
Studi mereka juga menemukan bahwa beban perpajakan ini dirasakan oleh para pelaku UKM di sektor informal lebih besar ketimbang perusahaan besar formal lainnya. Sebagai contoh 67 persen usaha kecil di Pakistan menganggap regulasi pajak menjadi masalah terbesar mereka.
Di Bulgaria, usaha kecil juga menganggak bahwa beban pajak menjadi penghambat utama mereka untuk mencari dana investasi. Sebuah survey di Ukraina menununukkan satu dari empat penghambat perkembangan kewirausahaan adalah terkait dengan sistem perpajakan di negara mereka.
Tingkat pajak yang tinggi, berbagai macam pajak yang harus mereka bayar, serta regulasi dan sistem pelaporan yang berubah-ubah menjadi momok dari para pegiat UKM tersebut. Hal ini kemungkinan besar akan menyebabkan kepatuhan pajak dari sektor informal yang berisikan para UKM tersebut menjadi rendah.
Beban pajak ini juga semakin diperparah dengan akses kredit bagi para UKM yang terbatas. Sudah umum diketahui bahwa UKM secara relatif lebih sulit dalam mendapatkan pembiayaan eksternal dibandingkan dengan perusahaan besar (Beck et al., 2008). International Finance Corporation (IFC) memperkirakan bahwa 40% UKM formal, yang setara dengan 65 juta perusahaan, memiliki kebutuhan pembiayaan yang tidak terpenuhi sebesar 5.2 triliun US dolar setiap tahun, jumlah yang setara dengan 1.4 kali dari total kredit yang saat ini diberikan kepada UKM secara global. Selain itu, sekitar setengah dari UKM formal tidak memiliki akses ke kredit formal, dan kesenjangan pembiayaan ini menjadi semakin besar jika perusahaan informal turut diperhitungkan.
Dalam konteks ini, kebijakan perpajakan yang baik justru harusnya mampu mengurangi kebutuhan UKM untuk memperoleh pembiayaan eksternal dengan membantu mereka mempertahankan proporsi pendapatan yang lebih besar. Meskipun menangani masalah pembiayaan usaha melalui kebijakan pajak bukanlah pendekatan yang lazim, strategi ini membantu pembuat kebijakan dalam mengatasi permasalahan yang sebaliknya akan membutuhkan waktu lebih lama untuk diselesaikan. Jangan sampai, akibat pemerintah yang “BU (butuh uang)” malah membuat rakyatnya, khususnya pelaku UKM yang juga BU, malah tambah sulit mengelola operasional usahanya.
Kebijakan Perpajakan Seperti Apa yang Lebih Mendukung UKM Naik Kelas?
Perpajakan adalah sebuah hal yang akan selalu terkait dengan sistem perpolitikan. Dalam merancang pajak bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK), pemerintah harus melihat lebih dari sekedar aspek teknis perpajakan untuk memastikan bahwa perubahan teknis yang diinginkan juga dapat diterapkan dalam konteks perpolitikan yang terkini.
Hal ini memerlukan analisis ekonomi-politik yang mendalam terhadap konteks lokal serta keterlibatan yang konstruktif dalam proses politik, termasuk kapasitas kepemimpinan politik dan organisasi dalam menggerakkan calon penerima manfaat serta mengatasi berbagai kepentingan-kepentingan yang sudah mengakar. Mengabaikan aktivitas di sektor informal akan menurunkan sentimen positif pajak pada seluruh perekonomian dan meningkatkan risiko akan kepatuhan pajak yang rendah.
Kepatuhan pajak di sektor formal cenderung lebih tinggi di negara-negara yang memiliki sektor informal yang relatif kecil. Studi lintas budaya tentang kepatuhan pajak menunjukkan bahwa meningkatnya kepercayaan terhadap pemerintah, pejabat resmi, dan sistem hukum secara signifikan akan meningkatkan moral para warganegara untuk membayar pajak. UMK merupakan mesin utama penciptaan lapangan kerja yang sering menjadi perhatian politik utama bagi sebagian besar pemerintah di negara berkembang.
Salah satu faktor keberhasilan negara-negara di Asia Timur adalah perhatian mereka dalam membangun sistem perpajakan yang luas dan inklusif. Hanya rezim pajak yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus memperkuat stabilitas politiklah yang berpotensi mendapatkan dukungan politik yang kuat. Oleh karena itu pemerintah seyogyanya perlu turun melihat kebawah, untuk menyeimbangkan dan mempertajam regulasi perpajakan UKM yang akan mempunyai efek kebermanfaatan yang secara luas bisa dirasakan oleh masyarakat dengan juga secara bersamaan akan menguntungkan kepentingan politik mereka.
Laporan ILO (2021) menyarankan pemberlakuan Preferential Tax Regime dalam pemberlakuan pajak terhadap para UKM. Nah Sahabat Wirausaha, Preferential Tax Regime dapat diartikan sebagai rezim Pajak Preferensial" atau "Rezim Pajak Khusus”, yang merujuk pada sistem perpajakan yang memberikan perlakuan khusus, seperti tarif pajak lebih rendah, insentif pajak, atau pengecualian pajak, kepada sektor, wilayah, atau kelompok tertentu dengan tujuan mendorong investasi, pertumbuhan ekonomi, atau aktivitas bisnis tertentu.
Di Indonesia, hal ini sudah diterapkan oleh pemerintah dalam bentuk tingkat pajak yang rendah, insentif pajak untuk UKM selama pandemi serta kemudahan sistem perpajakannya. Penerapan Presumptive Tax Regimes (Rezim pajak berdasarkan perkiraan) juga telah dilakukan di Indonesia di mana kewajiban pajak dihitung berdasarkan perkiraan atau pendekatan tidak langsung, bukan berdasarkan laporan keuangan yang rinci.
Contohnya, kebijakan tarif PPh Final untuk UMKM dengan omset di atas Rp500 juta s.d Rp4.8 miliar, diperkenankan untuk melaporkan pajak berdasarkan peredaran bruto atau omset dikali dengan tarif 0,5%. Bagi pelaku usaha perseorangan yang omsetnya masih di bawah Rp500 juta, dibebaskan dari kewajiban lapor dan bayar pajak.
Namun dalam perkembangannya regulasi UMKM yang ada itu harus perlu juga mengakomodasi perkembangan dan dinamika kondisi riil yang benar-benar terjadi di sektor UMKM. Pendekatan ini sering digunakan untuk usaha kecil dan sektor informal yang sulit diawasi oleh administrasi pajak. Namun didalam sistem ini, simplifikasi dari metode perhitungan dan pelaporan pajak perlu diberikan perhatian lebih di Indonesia.
Proses riil yang terjadi di lapangan perlu diteliti secara lebih mendalam melalui survei dan wawancara untuk menemukan berbagai bottleneck, hambatan dan kompleksitas yang dirasakan oleh para pelaku UKM. Hal ini karena, masih banyak pelaku UMKM yang merasa bahwa proses pembayaran pajak masih ribet. Aplikasi digital untuk kemudahan pelaporan dan bayar pajak, juga masih dianggap kurang user friendly.
Apapun Kebijakan Perpajakan, Kuncinya pada Insentif Formalisasi UMKM
Terkait dengan perpajakan yang dikenakan pada UMKM, database UKM di sektor informal juga perlu untuk dibangun. Salah satu caranya adalah dengan memberikan insentif bagi para UKM ini untuk melegalkan atau mengikuti prosedur perolehan sertifikat/lisensi yang dapat berguna bagi mereka untuk mengembangkan bisnisnya.
Proses formalisasi ini dapat menjadi dasar kepercayaan bagi perusahaan formal atau lembaga pemerintah dalam berbisnis dengan para UKM tersebut. Selain itu, pemerintah dapat pula mengkaitkan penyaluran ragam program berdasarkan status formalisasi usaha ini. Saat ini, ditengarai, masih banyak penerima KUR yang bahkan belum punya NIB. Ke depan, sejatinya hal ini dapat lebih ditertibkan, untuk memperjelas insentif bagi UMKM yang sudah formal, dengan yang tidak.
Berdasarkan banyak studi banyak para UKM di negara berkembang memiliki pemerintah sebagai klien besar mereka. Hal ini juga akan menguntungkan pemerintah dengan mendapatkan data basis pajak UKM. Indonesia sampai saat ini masih belum memiliki Road Map kebijakan UMKM yang disusun berdasarkan basis data yang akurat. Akibatnya, banyak kebijakan yang diambil dalam konteks pengambilan keputusan yang latah, walhasil, banyak yang tumpang tindih atau tidak sinkron.
Saat ini, bahkan basis data yang ada saja masih jauh dari kata handal, akibat tingkat akurasi data yang rendah. Data yang sering dipublikasikan pemerintah saat ini lebih ke bersifat estimasi statistik, bukanlah basis data pelaku usaha by name by address.
Hal ini menjadi PR semua pemangku kepentingan: Pemerintah yang benar-benar perhatian dengan para pelaku UKM; Pelaku UKM yang berusaha terus mengkomunikasikan permasalahan-permasalahan mereka di berbagai corong sosial media; serta para netijen yang perlu mendukung agara para UKM ini dapat berkontribusi lebih optimal ke perekonomian ibu pertiwi yang kita cintai.
“Ah elo mah cuma ngomong doank, setiap hari kerjaannya pasti mager terus. Eh jangan salah, di jaman sosmed ini, biar kita semua pun mager, suara dan tulisan kita semua yang terus bergema setiap saat bisa jadi akan membawa perubahan besar, menghancurkan ketidakperdulian dan menggerakkan pemerintah.”
Daftar Pustaka
- Beck, Thorsten, Asli Demirgüç-Kunt, and Vojislav Maksimovic. "Financing patterns around the world: Are small firms different?." Journal of financial economics 89.3 (2008): 467-487.
- Engelschalk, Michael. "Designing a tax system for micro and small businesses: guide for practitioners." (2007).
- Marchese, Marco. Preferential tax regimes for MSMEs: Operational aspects, impact evidence and policy implications. No. 33. ILO Working Paper, 2021.
- Schneider, Friedrich, and Robert Klinglmair. "Shadow economies around the world: what do we know?." Available at SSRN 518526 (2004).
- Tanzi, Mr Vito, and Mr Howell H. Zee. Tax policy for developing countries. International Monetary Fund, 2001
- Wasylenko, Michael. "Taxation and economic development: The state of the economic literature." Handbook on Taxation. Routledge, 2019. 309-328.