Social enterprise memiliki ciri khas tersendiri yang membuatnya berbeda dengan model bisnis konvensional. Alih-alih profit sebagai tujuan utama, social enterprise lebih memprioritaskan tercapainya misi sosial.
Namun, hal ini membuat social enterprise berisiko untuk mengalami tekanan finansial yang tinggi. Tak jarang akhirnya kita mendengar social enterprise yang gulung tikar sebab tak lagi punya dana yang cukup untuk menjalankan aktivitas operasionalnya.
Baca Juga: 5 Karakteristik Social Enterprise
Lalu, bagaimana penyelesaiannya? Salah satunya adalah dengan menerapkan model bisnis yang efektif. Menurut Kim Alter, ada beberapa model bisnis social enterprise. Barangkali salah satunya bisa coba Sahabat Wirausaha gunakan. Yuk, simak ulasannya berikut ini.
Ragam Model Bisnis Social Enterprise
1. Entrepreneur Support Model
Social enterprise jenis ini menjalankan bisnis mereka dengan menjual jasa berupa bantuan pengembangan bisnis kepada kliennya, baik itu perorangan maupun perusahaan dalam bentuk firma. Klien ini pun akan menjual produk dan jasa mereka ke pasar bebas.
Tipe-tipe social enterprise yang cocok untuk menerapkan model bisnis ini adalah institusi keuangan, konsultan manajemen, jasa professional seperti akunting, firma hukum, dan teknologi.
Baca Juga: Tipe-Tipe Struktur Kepemilikan Pada Social Enterprises
Contoh:
PT. Mudah Teknologi yang berkecimpung di bidang IT, ingin membantu para UMKM untuk meningkatkan efisiensi manajemen keuangan. Perusahaan tersebut menciptakan aplikasi pencatatan keuangan yang kemudian dijual kepada UMKM.
Keuntungan dari penjualan aplikasi dan jasa tersebut dipakai untuk operasional perusahaan, seperti marketing, pengembangan inovasi (research and development) dan kampanye edukasi bagi UMKM.
2. Model Perantara Pasar (Market Intermediary Model)
Dalam model bisnis ini, social enterprise menyediakan jasa yang dapat membantu populasi targetnya menemukan market pembeli atau singkatnya menjadi perantara. Social enterprise biasanya membeli produk target populasinya atau bekerja sama sebagai mitra dalam produksi.
Hal ini kemudian membantu kesejahteraan ekonomi populasi tersebut. Untuk bisa terus menjalankan bisnis ini, social enterprise mengambil keuntungan dari margin produk setelah melakukan penambahan nilai.
Baca Juga: 10 Wirausaha Sosial Global yang Menginspirasi
Contoh salah satu social enterprise yang menerapkan model bisnis market intermediary adalah Kainnesia. Bisnis yang digagas oleh Nur Salam ini membantu para penenun dari berbagai daerah yang kesulitan untuk menjual kain tenunnya.
Hasil karya tangan para penenun ini kemudian diolah dan dikembangkan oleh Kainnesia menjadi berbagai produk fashion yang menarik dan dipasarkan dengan mengusung tema yang unik.
3. Model Pemberdayaan Pekerja (Employment Model)
Social enterprise jenis ini menyediakan lapangan kerja bagi target populasinya. Populasi yang diberikan pekerjaan umumnya memiliki hambatan tertentu dalam bersaing di dunia kerja atau kelompok yang tergolong marginal. Misalnya, mantan narapidana, orang dengan disabilitas, dan tunawisma.
Selain itu, model bisnis ini juga bergantung pada keberhasilan melatih populasi target, konsistensi mendampingi mereka, serta nilai komersial dari produk yang dihasilkan. Keuntungan dari penjualan akan diinvestasikan kembali untuk keberlangsungan social enterprise serta populasi target yang menjadi pegawainya.
Salah satu contoh social enterprise yang mengadopsi employment model ini adalah Hijab Nalacity. Hijab Nalacity didirikan oleh Hafiza Elfira untuk membantu para mantan penderita kusta bertahan hidup.
Setelah mendapatkan pengobatan, mereka yang rata-rata berasal dari kampung mengaku enggan untuk kembali ke rumahnya karena malu sebab kusta menyebabkan cacat permanen pada bagian tubuh mereka. Populasi ini cukup banyak dan mendirikan perkampungan sendiri di daerah Tangerang dengan nama Sitanala.
Baca Juga: Mereka yang Berbisnis Dengan Hati dan Berdampak Sosial
4. Upah atas Jasa (Fee-for-Service Model)
Program sosial pada model bisnis ini adalah bisnis itu sendiri. Artinya, social enterprise jenis ini membuat produk dan jasanya menjadi komersial dan target populasinya adalah pembelinya.
Umumnya, bisnis model ini diterapkan oleh rumah sakit, klinik, museum, institusi pendidikan. Uang hasil penjualan digunakan untuk mencukupi biaya operasional dalam menyediakan jasa kepada populasi target.
Contoh: Universitas yang menarik biaya pendidikan kepada para mahasiswa untuk membayar biaya tenaga pengajar, perawatan gedung, dan fasilitas untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk belajar.
5. Model Subsidi Pelayanan (Service Subsidization Model)
Berbeda dengan model bisnis yang lainnya, aktivitas sosial dan aktivitas bisnis pada service subsidization model dijalankan secara terpisah. Produk yang dihasilkan dijual ke pasar eksternal dan pendapatannya digunakan untuk membiayai program sosial.
Baca Juga: HeySTARTIC, Dari Proyek Sosial Bertransformasi Menjadi Inovasi Sosial
Bila social enterprise memiliki aset, maka aset tersebut juga bisa disewakan atau dikomersialkan kepada publik. Aset fisik dapat berupa gedung, tanah, maupun peralatan. Sedangkan aset non fisik dapat berupa metodologi, brand, atau jejaring.
Keuntungan dari model bisnis ini adalah perolehan dana tambahan tidak bergantung dengan aktivitas sosial. Namun, meskipun secara struktur terpisah, pastikan aktivitas bisnis memiliki nilai yang tidak bertentangan dengan aktivitas sosial. Sebab, jika bertentangan, tentu akan merusak citra dari social enterprise itu sendiri.
Model subsidi pelayanan ini diterapkan oleh Associacao Nacional de Cooperacao Agricola (ANCA), sebuah social enterprise di Brazil yang menyediakan layanan literasi dan pendidikan kepada anak-anak, orang tua, dan para aktivis komunitas.
Setelah beberapa waktu berjalan, mereka menyadari bahwa layanan ini juga dibutuhkan oleh para pemimpin organisasi non-profit dan aktivis komunitas. ANCA pun memutuskan untuk mengembangkan training dan materi edukasi dan dikomersilkan sebagai pendapatan tambahan untuk membiayai program literasi untuk populasi target utamanya.
6. Model Penghubung Market (Market Linkage Model)
Jenis model bisnis yang satu ini hampir mirip dengan model market intermediary. Perbedaannya terletak pada peran model market linkage yang tidak memasarkan produk mitranya, melainkan hanya menghubungkan mitra pada pasar.
Baca Juga: KAHLA Tempe Crispy: Usaha Sukses Dengan Misi Sosial
Model market linkage model ini dicontohkan oleh salah satu platform penggalangan dana terbesar di Indonesia, yakni Kitabisa.com. Social enterprise yang memiliki tagline “Connecting Kindness” ini memberikan fasilitas bagi campaigner atau orang yang memulai penggalangan dana agar terhubung dengan para donatur. Dengan model ini, Kitabisa.com berhasil menggalang lebih dari 60 juta dollar AS (858 miliar rupiah) sejak 8 tahun yang lalu berdiri.
7. Model Dukungan Organisasi (Organizational Support Model)
Organizational support model menggunakan model bisnis dimana social enterprise menjual produk dan jasanya kepada publik dengan berorientasi pada profit. Keuntungan bersih yang diperoleh digunakan untuk mendanai program sosial organisasi yang dimilikinya. Model ini dikatakan sukses apabila seluruh atau sebagian besar modal program sosial didanai oleh social enterprise.
Contoh social enterprise yang menggunakan model ini adalah Para la Saud di Guatemala. Wilayah Guatemala yang sebagian besar pegunungan dengan akses jalan yang belum memadai membuat akses terhadap obat dan pelayanan kesehatan tidak merata.
Klinik di pedesaan pun kesulitan untuk beroperasi secara optimal karena terkendala dana. Para la Saud kemudian didirikan untuk menjembatani akses tersebut dengan mendirikan toko-toko obat di masing-masing desa.
Para la Saud menggunakan sistem sentralisasi dalam pengadaan obat. Pembelian stok obat dalam jumlah besar dilakukan oleh kantor pusat, kemudian didistribusikan ke 43 toko obat tersebar di berbagai desa. Keuntungan toko obat ini mencapai 20-25% yang dananya digunakan untuk membiayai klinik desa. Berkat model ini, klinik desa dapat beroperasi tanpa mengandalkan bantuan pihak eksternal.
Melalui ulasan ini, jelas bahwa social enterprise punya perbedaan signifikan dengan bisnis konvensional pada umumnya. Dalam dunia social enterprise, ada berbagai jenis model bisnis, diantaranya Entrepreneur Support Model, Market Intermediary Model, Employment Model, Fee-for-Service Model, Service Subsidization Model, Market Linkage Model, dan Organizational Support Model.
Baca Juga: 10 Wirausaha Inovatif yang Ramah Lingkungan
Dengan mengetahui definisi dan perbedaan dari model-model bisnis tersebut, diharapkan Sahabat Wirausaha dapat mempertimbangkan bisnis model mana yang cocok dan dapat berhasil untuk diterapkan dalam menjalankan social enterprise.
Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk
bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan
komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.
Referensi:
Inmarketing, Business Social Enterprise
Social Enterprise Typology, Kim Alter