Free photo high angle hands holding smartphones

Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki, meminta pengusaha kecil dan menengah lokal untuk waspada akan inovasi teranyar aplikasi TikTok, yang disebut Project S. Menurutnya, kehadiran Project S TikTok Shop akan berdampak negatif terhadap kegiatan jual-beli UMKM di platform tersebut, lantaran produk asal negara asing akan lebih mudah masuk ke Indonesia. Akibatnya, produk UMKM lokal bisa jadi kalah saing. Kekhawatiran ini diungkapkannya pada Selasa (11/7) lalu.

“Saya lihat Project S TikTok ini, itu perlu kita waspadai. Karena ini betul-betul, TikTok ini menggabungkan antara media sosial dengan e-commerce,” ujar Teten, seperti yang dilansir dari Detik.com. Tak cuma itu, muncul pula desas-desus bahwa inovasi terbaru aplikasi ini merupakan cara perusahaan pengelolanya untuk mengoleksi data produk yang paling diminati konsumen di suatu negara secara mudah. Data ini nantinya dicurigai akan digunakan untuk memproduksi barang-barang tersebut di Cina, untuk kemudian dijual lewat harga yang lebih murah dari data pasaran yang ada.

Benarkah program tersebut merupakan ancaman bagi UMKM lokal? Cara apa yang bisa kita lakukan untuk terus bersaing di perdagangan digital yang terus berkembang saat ini? Simak ulasan lengkap berikut untuk tahu jawabannya.


Project S TikTok, Fitur Belanja Terbaru yang Uji Coba di Inggris

Beberapa minggu belakangan, warga Inggris pengguna TikTok Shop mulai melihat fitur belanja baru di layar aplikasi mereka. Fitur ini disebut Trendy Beat dan fungsinya adalah menampilkan penawaran produk-produk yang tengah populer dalam bentuk video pendek. Rumornya, barang-barang yang diiklankan tersebut berasal dari China dan diperdagangkan oleh perusahaan yang terdaftar di Singapura. Dikutip dari Financial Times, TikTok tengah melakukan uji coba fitur tersebut di Inggris sebagai salah satu langkah menyusun kembali strategi perdagangan daring mereka.

Meski begitu, pihak TikTok membantah tudingan bahwa mereka akan segera meluncurkan fitur yang sama di Indonesia. TikTok mengklaim bahwa program yang menjadi perbincangan tidak ada di Indonesia. Mereka juga membantah adanya bisnis lintas-batas (cross-border) di TikTok Shop Indonesia.

“Kami ingin mengklarifikasi bahwa inisiatif e-commerce yang tercantum di dalam artikel di atas tidak tersedia di Indonesia,” kutip CNN Indonesia dari keterangan resmi TikTok Indonesia pada Jumat(14/7) lalu. Perusahaan multinasional ini juga meyakinkan masyarakat bahwa mereka punya komitmen untuk memberdayakan UMKM dan pedagang lokal di Indonesia kedepannya.


Lemahnya Daya Saing Produk UMKM Lokal dan Bahaya Yang Mengintainya

Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki, sebelumnya menyatakan bahwa saat ini sudah ada 21 juta UMKM lokal yang terjun ke berbagai marketplace yang beroperasi di Indonesia. Meski begitu, rata-rata diantaranya tetap kalah dalam persaingan menghadapi barang-barang impor yang turut masuk ke dalam e-commerce. Sebelumnya, hal ini sudah terjadi saat Shopee mengizinkan pedagang dari luar negeri untuk membuka lapak di aplikasi Shopee Indonesia. Produk-produk dari negeri bambu, dengan desain lebih menarik dan harga lebih murah, berhasil mencuri hati konsumen dalam negeri.

Fakta inilah yang membuat Teten cukup khawatir akan kemungkinan bahwa algoritma TikTok yang mampu membaca kebiasaan penggunanya, akan menghasilkan data yang tak ternilai bagi perusahaan induknya asal China. Produsen di negara tersebut akan bisa memprediksi apa yang disukai dan tren apa yang sedang naik di negara kita untuk menciptakan produk yang serupa dengan harga dan ongkos kirim lebih terjangkau. Jika ini terjadi, dikhawatirkan produk UMKM lokal bisa kalah telak.

Sebenarnya, mengapa daya saing produk UMKM lokal bisa kalah kompetitif dari buatan China? Dilansir dari Tirto, salah satu faktor utamanya adalah harga jual yang lebih mahal ketimbang barang impor sejenis. Dari segi ini, menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, ada banyak hal yang jadi penyebabnya. Pertama, efisiensi biaya logistik yang masih terbilang rendah. China, sebagai negara dengan industri manufaktur yang begitu besar, mampu menekan biaya logistik sehingga lebih efisien. Tak hanya itu, biaya produksi dan tenaga kerja di China juga terbilang murah, sehingga produk yang dijual tak semahal produk lokal.

Kedua, UMKM dan produsen lokal tidak memiliki sentra lokasi produksi yang mampu memenuhi kebutuhan produksi dari hulu ke hilir di satu tempat. Sementara di negara China, pelaku industri UMKM dikumpulkan dalam satu lokasi, mulai dari pemasok bahan baku, produsen produk olahan, hingga produsen produk setengah jadi. Hasilnya, biaya transportasi yang digunakan juga lebih kecil dan efisien.

Untuk mengatasi kekurangan ini, diperlukan dukungan kuat dari pemerintah. Teten Masduki berharap Kementerian Perdagangan bisa segera merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 mengenai Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE). Revisi ini dibutuhkan agar produk UMKM tidak terganggu oleh hadirnya program dan fitur yang melegalkan perdagangan bebas di marketplace dan e-commerce Indonesia.


Bagaimana UMKM Bisa Lebih Kompetitif Bersaing Dengan Produk Impor?

Sebenarnya, kita tahu bahwa persaingan di dunia bisnis, dalam kategori apapun, tentu tidak akan pernah ada habisnya. Apa yang bisa kita lakukan, sebagai pelaku UMKM, adalah terus mencari cara baru untuk tetap selalu unggul. Untuk menghadapi persaingan yang ketat dengan produk impor sejenis, kita bisa melakukan hal-hal ini

1. Kuatkan Segi Kualitas

Negara China unggul dalam industri manufaktur mass-production, terutama untuk produk kebutuhan sehari-hari dan fashion. Merk apapun dan tren apapun, semua bisa dihasilkan dalam jumlah banyak dengan biaya kecil di sana. Mereka juga unggul dalam segi desain yang lucu dan minimalis. Meski begitu, tak banyak dari produk-produk ini yang punya kualitas wahid. Di segi inilah UMKM bisa bersaing.

Misalnya saja, tas rotan yang dibuat Borongan di China, belum tentu punya kualitas dan daya tahan tinggi seperti yang dibuat para pengrajin di Jawa dan Bali. Karenanya, jaga kualitas produk kita agar selalu bisa memenuhi harapan pelanggan. Hal ini bisa dicapai dengan memilih pasukan bahan yang tepat dan membuat SOP produksi yang ketat. Jika bisa konsisten melakukannya, tentu kita akan meraih kepercayaan pelanggan lebih baik dibanding produk impor sejenis.

2. Lakukan Soft-Selling

Hari ini, persaingan di platform online menjadi makin ketat saat produk impor dibandrol harga yang kelewat murah. Tak hanya itu, ongkos kirim yang ditawarkan pun begitu rendah, padahal status pengiriman dari luar negeri. Jika sudah begitu, tentu susah bagi UMKM jika terus ngotot bersaing di harga. Untuk mengakali ketimpangan ini, kita punya kesempatan untuk bersaing di personal branding, dengan mengusung cerita usaha kita.

Kita bisa mempresentasikan brand kita dengan cerita atau sejarah dibaliknya, sehingga pelanggan melihat nilai tambah pada produk yang kita jual dan tertarik membeli. Inilah yang disebut mengubah cara berjualan dari hard-selling menjadi soft-selling.

Salah satu contohnya adalah Liberty Society, sebuah UKM di bidang fashion yang menggandeng para pengungsi (refugee) dari negara asing sebagai pekerja dan karyawan produksi mereka. Jika bicara harga, tentu produk mereka kalah jauh dari harga produk impor serupa. Namun, cerita mereka dalam mempekerjakan kelompok marjinal serta mengusung produksi fesyen berkelanjutan, membuat Liberty Society punya barisan pelanggan setia sendiri. Dari waktu ke waktu, cerita mereka sukses menemukan dan menarik konsumen baru.

3. Ciptakan Keunikan dan Diferensiasi Produk

Soal efisiensi logistik dan rendahnya biaya produksi, kita tentu tak bisa bersaing dengan China. Namun, kita bisa bersaing dengan diferensiasi produk. Ciptakan keunikan dan hal berbeda dari produk yang kita tawarkan. Kita bisa melakukan ini dengan berpegang pada produk khas Indonesia yang sangat jarang bisa diproduksi oleh negara lain. Misalnya, kain dan pakaian dari batik, tenun, dan kain tradisional lainnya.

Tak hanya itu, buatlah produk yang punya ciri khas dan keunikan sendiri. Jika berbisnis di bidang makanan dan minuman jadi misalnya, kita bisa fokus pada kuliner khas tanah air, seperti keripik pisang, keripik kentang, bumbu jadi, dan lain-lain. Produk-produk dengan resep dan bahan baku lokal punya kesempatan lebih baik bersaing di pasar makanan online.

Selain melakukan tiga cara di atas untuk meningkatkan daya saing, kita juga harus tetap jeli membaca kebutuhan dan keinginan pasar secara berkala. Di samping itu semua, yang paling dibutuhkan adalah dukungan pemerintah untuk menciptakan dan mengelola peraturan yang mendukung produk-produk dalam negeri. Ekosistem yang baik, akan berujung pada daya saing yang lebih baik pula. Jika berhasil diciptakan, kedepannya kita tak perlu khawatir dengan produk-produk impor yang masuk melalui berbagai macam aplikasi dan platform dagang milik negara asing. [Sonia]

Referensi:

  1. https://tirto.id/mengapa-produk-umkm-lokal-sulit-bersaing-di-marketplace-gjJG
  2. https://economy.okezone.com/read/2014/09/23/320/1043246/pemerintah-punya-cara-taklukan-produk-china
  3. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230714132953-192-973454/tiktok-buka-suara-usai-dituding-ancam-umkm-ri-lewat-project-s
  4. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230711144121-37-453260/project-s-tiktok-shop-disebut-bunuh-umkm-ri-apa-itu
  5. https://news.detik.com/berita/d-6820099/sorotan-ke-project-s-tiktok-ancam-umkm-bikin-senayan-turun-tangan/1
  6. https://tekno.kompas.com/read/2023/07/14/18020037/project-s-tiktok-dan-bahayanya-bagi-umkm-jika-masuk-indonesia?page=2
  7. https://www.voaindonesia.com/a/liberty-society-bisnis-fesyen-beretika-sambil-perjuangkan-nasib-pengungsi-asing/5843122.html