
Sahabat Wirausaha, pernah bertanya-tanya gak, “kenapa sih kita sering merasa malas?”
Supaya promosi makin efektif, kita tahu bahwa penting banget untuk bikin katalog produk yang bagus, rajin promosi dengan ragam penawaran menarik, dan mesti sigap balas-balas chat calon konsumen. Tapi kok ya, mau benerin foto produk agar lebih menarik untuk dipasang di katalog aja rasanya maleeesss banget. Tak terasa, banyak urusan tertunda, yang tanpa kita sadari, menunda rezeki kita juga. Akhirnya, diri kita sendiri lah yang menjadi hambatan serius untuk produktivitas dan pertumbuhan usaha.
Jadi, yuk pelajari kenapa ya kita malas? Setelah itu, mungkin jadi makin paham bagaimana mengatasinya, dan jadi bisa mengendalikan diri kita sendiri, agar jadi manusia yang makin produktif. Berdasarkan berbagai hasil riset, ini dia beberapa alasan kemalasan. Yuk kita bahas satu per satu.
1. Persepsi biaya-upaya (effort) yang terlalu besar
Penelitian psikologi motivasi menunjukkan bahwa manusia cenderung menghindari aktivitas yang dianggap “mahal” dalam hal upaya fisik atau mental. Sebagai contoh, dalam studi oleh Ackerman dkk., ditemukan bahwa persepsi seseorang terhadap “rasa ketidaknyamanan, pengerahan upaya, waktu, dan tentunya biaya uang” - bahasa kerennya disebut “dis-utilitas” - yang muncul akibat sebuah tugas, bisa dipersepsikan secara bervariasi antar individu dan tugas. Semakin besar “persepsi dis-utilitas” yang dirasakan, semakin besar pula resistensi atau rasa enggan untuk melakukannya. Pendeknya, jadi “malas” mengerjakan tugas itu.
Hal ini berarti: ketika wirausaha merasa bahwa menjalankan suatu tugas (misalnya pembukuan, riset pasar, promosi) membutuhkan “usaha besar” dibandingkan “manfaat yang langsung bisa dirasakan”, maka muncul kecenderungan untuk menunda atau tidak menjalankannya.
2. Motivasi rendah karena “potensi” imbalan yang tak pasti
Menurut penelitian “effort-based decision‐making” oleh Renz dkk,, manusia memilih aktivitas berdasarkan ‘berapa besar upaya versus reward atau imbalannya’.
Hal ini menunjukkan bahwa saat imbalan (reward) tidak cukup menonjol atau dikalkulasi “kepastian” mendapatkannya, motivasi menurun.
Dalam konteks Wirausaha UMKM, jelas ini sangat relevan. Mengapa? Karena ketidakpastian hasil adalah kondisi yang pasti dihadapi. Apakah setelah katalog diperbaiki pasti penjualan naik? Tidak, karena masih harus dipromosikan. Apakah setelah dipromosikan jumlah kunjungan ke katalog dan pesanan pasti naik? Tidak juga, tergantung kualitas konten dan layanan chatnya. Setelah kualitas konten dan layanan chatnya juga diperbaiki, apakah pesanan atau omset pasti naik? Tidak juga. Tergantung kontennya, relevan gak sama segmen sasaran konsumennya.
Tahu sendiri kan orang marketing sekarang A-B testing mulu, coba beberapa konten untuk 1 pesan yang sama, lalu cek mana yang lebih efektif.
Intinya, wirausaha hanya bisa mengontrol keputusan terkait langkah-langkah strategis dan taktis, yang bisa dan mau dia kerjakan. Tapi, wirausaha tidak bisa mengontrol hasilnya. Contoh, kita bisa putuskan, “Ok, mari kita lebih gencarkan promosi. Perbaiki narasi promosinya, lalu persering upload ke WA Status, yang tadinya sekali sehari, jadi dua kali”. Setelah langkah itu dikerjakan, siapa yang kendalikan hasilnya? Bukan di kita kan? Karena kendali keputusannya ada di audiens alias calon konsumen yang melihat konten promosi kita.
Jadi ya, memang kalau gak berjiwa pejuang yang sabar, jadinya ya, rendah motivasi deh, akhirnya? Jadi malas.
3. Faktor emosional dan kondisi internal yang burned out (kelelahan) dan sedang butuh recharge
Terkadang “malas” bukan karena kemalasan murni, melainkan akibat kondisi mental atau fisik yang menurun — misalnya kelelahan, stres, rasa putus-asa, bad mood, atau kurang tidur.
Sebuah artikel kesehatan menyatakan bahwa banyak orang dengan gejala depresi disalahkenali sebagai “orang malas”, padahal akar masalahnya adalah motivasi dan energi yang rendah. Dia mungkin gak malas, namun sedang gak pengen ngapa-ngapain aja. Mungkin sedang mengumpulkan energi dan harapan, karena sedang mengalami burned-out, akibat kelebihan jam kerja dan tekanan emosional beruntun.
Bagi wirausaha UMKM yang sedang mengalami ini, sebenarnya masih wajar asal dikontrol kadarnya. Mengambil jeda untuk recharge itu sangat alamiah dan manusiawi. Tapi, kalau kelamaan, gak baik juga.
Apa batasnya kelamaan atau nggak? Kita bisa merujuk pada standar normal jam kerja per minggu dan cuti per tahun yang sudah jadi norma atau bahkan di beberapa negara sudah jadi regulasi.
Normalnya kerja memang 40 jam per minggu, tapi karena wirausaha banyak mikirin semuanya, sepertinya sulit ya kalau kerja cuma 40 jam. Tapi kita bisa pasang batas, misalnya 60 jam deh seminggu. Tentukan minimal 24 jam dalam seminggu, benar-benar rehat, cukupkan tidur, quality time dengan keluarga, atau kerjakan hobi. Kalau jeda cuti, normalnya 14 hari setahun, sudah termasuk dengan cuti hari raya.
4. Kebiasaan, lingkungan, dan representasi sosial
Konsep “malas” juga dibentuk oleh bagaimana lingkungan sosial memberi makna pada sebagai sikap tersebut. Contoh saja, di beberapa wilayah tertentu, kerja dari subuh sampai jam 9, lalu istirahat santai-santai, lalu kerja lagi jam 3 sampai 6 sore, adalah kenormalan. Misalnya, di masyarakat petani tertentu.
Nah, ketika ada orang kota besar ke sana, bisa saja dia menganggap kebiasaan masyarakat tersebut sebagai “malas”, masa kerja cuma efektif 6-7 jam sehari? Break siangnya lama banget? Gak diisi dengan kegiatan apa kek gitu yang menghasilkan?
Makanya, bagi wirausaha UMKM, penting banget untuk berkomunitas untuk membuat diri kita dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki “makna produktif” dan “makna malas” yang sama, untuk menunjang tujuan peningkatan produktivitas diri.
Kondisi inilah yang membuat adanya “sekolah unggulan”, atau “inkubator bisnis elit”. Mengapa? Karena kalau orang-orang dengan target tinggi berada di lingkungan yang “umum”, mereka bisa dicap “terlalu ambisius”. Sebaliknya, mereka memberi cap ke masyarakat sekitarnya sebagai “sekumpulan pemalas”. Tabrakan persepsi ini, bisa membuat mereka sulit mendapatkan teman yang cocok, akhirnya, gak bahagia.
Jadi, coba renungkan, tentukan kamu mau jadi manusia seproduktif apa? Mau bawa bisnis sampai bisa sebesar apa? Lalu, cari dan bergabunglah ke komunitas yang sesuai. Salah satu pilihan yang bisa kamu pertimbangkan adalah dengan bergabung jadi member utama ukmindonesia.id bisa jadi lingkungan produktif bagi kamu.
5 Tips untuk Mengusir Rasa Malas bagi Wirausaha UMKM
Kita sudah membahas sebab-sebab kemalasan, sekarang mari kita rangkum tips untuk mengusir atau setidaknya, mengurangi rasa malas itu ya.
Tips 1: Tetapkan cita-cita jangka panjang yang spesifik dan “bermakna” bagi kamu
Salah satu akar malas adalah ketika “apa yang saya lakukan” terasa tidak penting atau tidak punya reward yang jelas. Sehingga, persepsi atau imajinasi atas reward tersebut perlu dibangun di pikiran dan perasaan kita. Caranya adalah dengan menggantungkan cita-cita yang spesifik, terukur, dan dapat diraih dalam jangka panjang tertentu (misalnya 5, 10, bahkan 15 tahun). Cita-cita jangka panjang dapat menambah makna pada capaian-capaian kecil di hari ini.
Untuk konteks Wirausaha UMKM, kamu bisa gantungkan cita-cita spesifik misalnya seperti ini:
- Target 1 tahun ke depan: tembus 1000 follower pertama di Instagram, omset juga tembus Rp30 juta per bulan, margin laba minimum 25%-nya.
- Target 5 tahun ke depan: follower instagram tembus 25.000, dan omset sudah tembus Rp100 juta/bulan, atau sekitar Rp1,2 miliar/tahun, margin laba stabil di sekitar 25%.
- Target 10 tahun ke depan: omset tembus Rp250 juta per bulan, margin laba stabil sekitar 25%, dan saya selaku pemilik usaha sudah punya rumah sendiri dengan luas tanah minimal 150 m2, dua lantai, 5 kamar.
Tips 2: Visualisasikan cita-cita sesuai caramu sendiri
Buatlah visualisasi cita-cita yang sesuai dengan gaya atau cara yang kamu suka. Ada orang yang suka dengan visualisasi target dengan papan informasi yang menuliskan angka detail target yang ingin diraih.
Tapi ada juga orang yang gayanya “implisit” seperti saya. Misalnya saya ingin raih target tabungan sekian miliar. Daripada menuliskan target angkanya di depan kulkas atau meja kerja, saya lebih suka menempelkan satu kata afirmasi yang saya suka, dan punya pengaruh motivasi bagi saya untuk meraih target tersebut. Kata afirmasi yang saya suka adalah “unstoppable”. Saya tulis kata itu di gantungan tas saya. Jadi, setiap kali saya baca kata itu, saya ingat bahwa saya masih jauh dari target sehingga harus terus bergerak dan berkarya sampai target itu tercapai.
Intinya, setiap orang punya caranya sendiri untuk visualisasikan cita-cita. Silakan temukan caramu, dan segeralah mulai visualisasikan cita-cita kamu!
Tips 3: Pecah cita-cita besar menjadi potongan target-target kecil yang mudah dimulai dan mudah dicapai
Misalnya kamu punya target tabungan Rp1 miliar dalam 20 tahun ke depan. Untuk raih target itu, mesti bisa nabung berapa per tahun? Jawabannya adalah Rp50 juta per tahun, atau rata-rata Rp4,17 juta per bulan.
Tapi kondisinya, sekarang kamu cuma bisa nabung Rp500ribu per bulan. Maka, kamu bisa bikin target-target kecil, misalnya dalam 1 tahun ke depan, pengen bisa nabung rutin jadi Rp1 juta per bulan; 2 tahun ke depan Rp1,5 juta, begitu seterusnya, sampai di tahun ke-10 bisa nabung Rp7,5 juta per bulan misalnya, sehingga rata-rata 20 tahunnya bisa di sekitar Rp4,2 juta per bulan tadi.
Sebagai wirausaha UMKM, target menabung itu bisa kamu kaitkan dengan target peningkatan profit atau laba bisnis kamu. Untuk penjelasan lebih lengkapnya, mending kamu nonton video edukasinya aja ya di link ini, gratis!! Atau kalau mau lebih komprehensif, akses saja paket kursus online-nya disini, sama, GRATIS juga!
Tips 4: Buat sistem self-reward jangka pendek untuk dirimu sendiri
Dari hasil riset tadi, kita jadi tahu bahwa “kemalasan” sebenarnya hanya soal selisih negatif antara persepsi atas reward (hasil) dengan persepsi atas effort (upaya). Jadi, gimana meningkatkan persepsi hasil atas suatu tugas yang membutuhkan upaya tertentu? Buat aja sendiri sistem self reward untuk diri kita sendiri! Gimana caranya?
Kalau saya, kan hobinya makan. Jadi selalu menikmati nyobain menu-menu baru atau tempat-tempat makan baru, yang mungkin saja, rada mahal. Jadi, saya sering bikin sistem self reward yang berkaitan dengan kegiatan makan yang seru. Misalnya, “ini kalau proposal project ini gol, aku mau ajak keluarga makan di restoran itu”.
Buat sistem self reward seperti ini bisa efektif membuat otak dan hati kita jadi lebih semangat karena jarak waktu untuk mendapatkan reward tersebut bukan 10 tahun lagi, melainkan, bisa jadi bulan depan, jika kita sungguh-sungguh kerjakan yang terbaik dan berhasil raih target jangka pendek tadi.
Ada juga orang yang cukup merasa dapat self reward dengan membuat papan prestasi pribadi. Jika ada yang tercapai, Ia gambar icon bintang disitu. Semakin banyak bintang yang tergambar, bisa bikin mereka semangat dan ada rasa bangga terhadap dirinya sendiri. Misalnya, kita layak dapat 1 bintang per 100 kenaikan follower akun media sosial bisnis kita, atau, per kenaikan omset 10%, dan sejenisnya.
Intinya, punya sistem self reward itu bisa memberi sensasi “berhasil” bisa terasa lebih cepat, sehingga perlahan tapi pasti, akan bisa meningkatkan persepsi hasil terkait upaya jangka panjang yang perlu konsisten kita kerjakan, untuk meraih cita-cita. Akibatnya, jadi lebih semangat dan rajin deh.
Tips 5: Kelola Stamina Mentalmu, Cintai Diri Sendiri dengan Memilih Lingkungan Sosial yang Positif
Setiap orang yang bekerja sebagai wirausaha tentunya harus menghadapi tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi daripada orang-orang yang bekerja sebagai pegawai. Jadi, amatlah wajar jika kita lebih rawan stres, lelah mental, dan mengidap rasa “ingin berhenti, ingin menyerah”.
Jika kamu merasakannya, ingatlah bahwa rasa itu sungguh wajar adanya, dan maknailah rasa itu bahwa kamu hanya butuh jeda sebentar untuk recharge stamina mental kamu. Ibarat stamina tubuh yang butuh rehat jika habis olahraga yang cukup berat, mental kita juga butuh rehat sejenak. Cintailah diri kita sendiri, rehatlah jika kamu memang sedang butuh.
Bagi para wirausaha UMKM, rehat pun bisa dilakukan secara produktif dengan cara menghibur diri sambil refleksi. Gimana caranya? Ngopi-ngopi di tempat yang nyaman sambil diskusi seru bersama teman yang punya semangat bertumbuh dan cita-cita juga. Punya teman diskusi yang seru diajak ngobrol reflektif itu sungguh merupakan keberkahan tersendiri.
Selain itu, bisa juga ngisi waktu luang dengan ikut webinar, pelatihan online, baca buku atau artikel ringan seputar inspirasi wirausaha lain, atau dengerin podcast-nya. Selain bisa memperkaya wawasan, melakukannya juga cukup menghibur. Acap kali, kita bisa kembali sadar bahwa yang merasa tertekan, lelah, dan ingin menyerah itu bukan hanya kita sendiri. Banyak wirausaha lain mengalaminya. Nah, kalau mereka bisa lalui itu seperti bola kasti yang melambung lebih tinggi ketika dihempas, kita juga bisa, dong? Ya, kan?
Rasa Malas bisa Dikendalikan
Mulai tahun ini kami ingin membuat minimal satu artikel evaluatif yang bisa bantu para Sahabat Wirausaha Pembaca merenung dan melakukan refleksi secara konstruktif, untuk menemukan bercak-bercak masalah pada diri maupun bisnisnya, sekaligus solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Semoga artikel ini bisa bantu kamu bisa memaknai “rasa malas” sebagai sinyal “mental lagi butuh jeda” yang bersifat sementara, bukan sebagai “karakter dalam kepribadian kita” yang cenderung bersifat permanen.
Dengan lebih memahami hal-hal yang bisa menyebabkan rasa malas mampir, semoga kamu akan bisa lebih piawai mengendalikan rasa malas yang hinggap di pikiran dan hati kamu, dan juga mampu mengatasinya dengan cara yang efektif dan produktif dengan 5 tips tadi.
Gimana, bermanfaat gak artikel ini? Jika ya, tolong bantu share atau bagikan artikel ini ke teman dan saudara kamu ya.. agar makin banyak yang orang sadar dengan cara mengatasi rasa malas dan jadi manusia yang lebih produktif!









