
Sawah di Indonesia tidak pernah benar-benar kosong. Tanah tetap ditanami, hasil panen tetap mengalir ke pasar, dan sektor pertanian masih menjadi penopang kebutuhan pangan nasional. Namun di balik aktivitas itu, ada persoalan yang tumbuh perlahan dan sering luput dari perhatian: regenerasi petani yang tersendat.
Pertanian Indonesia tetap berjalan, tetapi pelakunya semakin menua. Anak muda justru menjauh. Pertanyaannya bukan lagi apakah generasi muda malas bertani, melainkan apakah pertanian hari ini benar-benar diposisikan sebagai masa depan pekerjaan yang masuk akal bagi mereka.
Regenerasi Petani yang Terlihat dari Angka
Kondisi regenerasi petani dapat dilihat dengan cukup jelas dari data. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah unit usaha pertanian perorangan di Indonesia pada 2023 tercatat sekitar 29,36 juta unit. Dari jumlah tersebut, kelompok Generasi X (usia 43–58 tahun) mendominasi hingga 42,39 persen dari total petani yang terdata.
Komposisi ini menunjukkan bahwa wajah pertanian Indonesia masih didominasi generasi paruh baya hingga lanjut usia. Sementara itu, porsi petani muda relatif kecil dan belum menunjukkan pertumbuhan berarti. Jika tren ini berlanjut, tantangan pertanian ke depan tidak hanya berkaitan dengan produksi pangan, tetapi juga keberlanjutan pengetahuan, adaptasi teknologi, serta ketahanan ekonomi di wilayah pedesaan.
Anak Muda, Ketidakpastian, dan Citra Pertanian yang Tertinggal
Anggapan bahwa anak muda enggan bertani karena malas atau tidak mau bekerja keras kerap muncul dalam diskusi publik. Namun anggapan ini tidak sepenuhnya adil. Generasi muda justru tumbuh dalam budaya kerja yang kompetitif, serba cepat, dan menuntut hasil.
Yang mereka hindari bukan kerja keras, melainkan ketidakpastian ekstrem tanpa kendali. Bagi anak muda, pekerjaan tidak hanya dinilai dari besar kecilnya pendapatan, tetapi juga dari arah hidup yang ditawarkan: apakah ada kepastian arus penghasilan, ruang berkembang, dan peluang memperbaiki kualitas hidup.
Dalam persepsi yang berkembang, pertanian sering dipandang sebagai sektor dengan risiko tinggi—dipengaruhi cuaca, fluktuasi harga, hingga ketidakpastian pasar—namun dengan posisi tawar yang lemah. Di saat yang sama, pengalaman lintas generasi membentuk citra bertani sebagai “jalan terakhir”, bukan pilihan karier yang direncanakan. Pertanian kemudian ditempatkan sebagai simbol masa lalu yang ingin ditinggalkan, bukan masa depan yang ingin diraih.
Baca juga: 8 Peluang Usaha Plastik Ramah Lingkungan Dari Limbah Pertanian
Akar Masalah Ada pada Model Bisnis Pertanian
Jika ditarik lebih dalam, persoalan utamanya bukan terletak pada aktivitas bertaninya, melainkan pada model bisnis pertanian yang masih timpang. Banyak petani berada di posisi sebagai price taker. Mereka memproduksi, tetapi tidak menentukan harga. Mereka menanggung risiko produksi, tetapi menikmati margin paling tipis dalam rantai nilai.
Dalam struktur seperti ini, kerja keras tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Bagi generasi muda yang terbiasa dengan logika efisiensi dan kendali, kondisi tersebut sulit diterima. Anak muda tidak menolak kerja fisik, tetapi mempertanyakan mengapa kerja keras yang dilakukan tidak memberi kepastian dan kendali atas masa depan.
Dari Bertani ke Agribisnis: Mengubah Cara Pandang
Perubahan cara pandang menjadi kunci untuk menjembatani jarak tersebut. Pertanian yang menarik bagi generasi muda bukanlah pertanian yang romantis, melainkan pertanian yang rasional secara ekonomi. Bukan sekadar menanam dan memanen, tetapi mengelola usaha dari hulu hingga hilir.
Ketika pertanian diposisikan sebagai agribisnis, ruang partisipasi menjadi lebih luas. Ada pengolahan, pengemasan, branding, distribusi, hingga penciptaan produk bernilai tambah. Pertanian tidak lagi berhenti di sawah, tetapi terhubung dengan rantai usaha yang lebih panjang dan dinamis. Yang membuat pertanian menarik bukan alat kerjanya, melainkan kendali atas nilai yang dihasilkan.
Baca juga: Mau Untung dari Bertani? 6 Ide Bisnis Pertanian Kekinian yang Menjanjikan
Ketika Pertanian Dipersepsikan Lambat, Padahal Masalahnya Ada di Strategi Tanam
Salah satu persepsi paling kuat yang melekat pada pertanian adalah anggapan bahwa hasilnya lama dinikmati. Persepsi ini berakar pada sistem tanam yang paling sering terlihat, yakni monokultur, terutama padi. Dalam sistem ini, petani menanam satu jenis tanaman di satu areal lahan dengan siklus panen panjang, sekitar tiga hingga empat bulan. Pola ini membuat pendapatan datang sekaligus, tetapi tidak rutin.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Kepala LPDM sekaligus Manajer Pemasaran Gapoktan, R. Bangun, menjelaskan bahwa sistem monokultur membuat pertanian kurang menarik bagi generasi muda. Bukan karena hasilnya kecil, melainkan karena arus pendapatan tidak hadir secara bulanan, sementara kebutuhan hidup terus berjalan. Kondisi tersebut mendorong sejumlah petani muda di wilayah Sleman untuk beralih ke hortikultura. Dengan menanam berbagai komoditas dalam satu lahan—masing-masing dengan waktu panen berbeda—pendapatan bisa datang lebih sering dan lebih stabil. Strategi ini memperlihatkan bahwa persoalannya bukan pada sektor pertaniannya, melainkan pada strategi tanam dan pengelolaan arus kas.
Pendekatan diversifikasi tersebut juga diperkuat oleh kebijakan daerah. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memperkenalkan program Lumbung Pangan Mataraman, yang mendorong petani membagi lahannya ke dalam beberapa jenis tanaman dengan waktu panen berbeda. Skema ini dirancang agar petani tidak lagi bergantung pada satu momentum panen, sekaligus membuka peluang pertanian dikelola dengan logika bisnis yang lebih relevan bagi generasi muda.
Ketika Pertanian Bertemu Konsumen Baru dan Teknologi
Di sisi lain, perubahan juga datang dari perilaku konsumen. Kesadaran terhadap asal-usul pangan, keberlanjutan, dan proses produksi kian menguat. Konsumen tidak lagi sekadar membeli makanan, tetapi juga memperhatikan cerita, nilai, dan dampak di balik produk.
Dalam konteks ini, pertanian memiliki modal yang kuat. Produk lokal, rantai pasok yang lebih pendek, serta transparansi produksi menjadi nilai tambah. Teknologi kemudian hadir sebagai alat bantu, bukan solusi tunggal. Digitalisasi dapat membantu efisiensi dan akses pasar, tetapi hanya berdampak signifikan jika diiringi perubahan struktur dan strategi usaha.
Baca juga: 10 Cara Mengolah Hasil Pertanian Lokal Menjadi Produk Bernilai Tambah
Peran Strategis UMKM dalam Regenerasi Pertanian
Di sinilah peran UMKM menjadi krusial. UMKM pangan, pengolahan hasil tani, hingga bisnis berbasis agribisnis dapat menjadi jembatan regenerasi. Mereka menciptakan permintaan yang lebih adil, menyerap hasil tani dengan nilai tambah, serta membuka lapangan kerja baru di sektor hilir.
Regenerasi pertanian tidak selalu harus dimulai dari sawah. Ia bisa dimulai dari dapur produksi, unit pengemasan, atau kanal distribusi digital. Ketika ekosistem ini tumbuh, pertanian tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan dunia usaha yang lebih relevan bagi generasi muda.
Pertanian Masa Depan Membutuhkan Narasi Baru
Pertanian Indonesia tidak kekurangan tanah, tidak kekurangan pasar, dan tidak kekurangan kebutuhan. Yang masih kurang adalah narasi dan struktur yang memberi masa depan. Selama pertanian ditawarkan sebagai pengorbanan, anak muda akan terus menjauh.
Namun jika pertanian diposisikan sebagai usaha yang masuk akal secara ekonomi, bermakna secara sosial, dan memberi ruang kendali, jarak itu dapat dipersempit. Mengubah pertanian menjadi menarik bukan tugas anak mudanya saja. Ia adalah kerja bersama—mengubah cara pandang, memperbaiki model bisnis, dan membangun ekosistem yang memungkinkan generasi muda melihat pertanian sebagai pilihan hidup, bukan jalan terakhir.
Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!
Follow Instagram @ukmindonesiaid biar nggak ketinggalan informasi atau program penting seputar UMKM. Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas melalui ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!
Referensi:
- Badan Pusat Statistik. (2023). Sensus Pertanian dan Profil Usaha Pertanian Perorangan.
- CNBC Indonesia. Terungkap Alasan Banyak Generasi Muda Ogah Jadi Petani. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250221125039-4-612531/terungkap-alasan-banyak-generasi-muda-ogah-jadi-petani
- Media Indonesia. Mengapa Generasi Muda Enggan Bertani: Tantangan dan Upaya Regenerasi di Sektor Pertanian Indonesia.
https://mediaindonesia.com/ekonomi/703577/mengapa-generasi-muda-enggan-bertani-tantangan-dan-upaya-regenerasi-di-sektor-pertanian-indonesia - Kumparan Bisnis. Kenapa Anak Muda Indonesia Enggan Jadi Petani. https://kumparan.com/kumparanbisnis/kenapa-anak-muda-indonesia-enggan-jadi-petani-1wMQQaQ6XHf
- Kompasiana. Generasi Hilang: Mengapa Anak Muda Enggan Bertani. https://www.kompasiana.com/emiyasurabinabrtarigan9993/675b377334777c2484442702/generasi-hilang-mengapa-anak-muda-enggan-bertani









