Shot of architectural model on the table in the office

Ketika membaca kisah seorang remaja bernama Abil (19) yang mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setiap hari Jumat untuk menyuarakan pentingnya kelestarian lingkungan, kita sebagai bagian dari “masyarakat” harusnya tersadar bahwa ternyata bumi yang kita tinggali ini tidak baik - baik saja. Namun, muncul pertanyaan menggelitik, sebenarnya untuk siapa sih yang harus diselamatkan kok sampai generasi muda kita harus khawatir? Sudah seberapa parah memangnya sampai bumi perlu diselamatkan? Atau jangan - jangan sebenarnya yang butuh bumi diselamatkan ya kita ini sebagai manusia, karena kalau tidak ada bumi, kita mau tinggal di mana?

Kalau kita lihat dari data, bumi kita ini semakin panas dibandingkan beberapa abad lalu. Terjadi perubahan iklim yang bisa dilihat dari kenaikan suhu rata - rata 1,5 derajat celcius diperkirakan akan terjadi hanya pada dua dekade mendatang padahal targetnya adalah 1,4 derajat celcius pada 2100 (IPCC, 2021). Perlu adanya upaya pengurangan emisi yang ambisius untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Namun, faktanya pada tahun 2020 saja kita sudah menggunduli 12,2 juta hektar ruang hijau yang tadinya terlindungi pohon. Kondisi yang sama mirisnya juga terjadi di Indonesia di mana hanya 18% dari 67 juta ton sampah per tahun yang dikelola atau diolah Kembali. Pertanyaan selanjutnya adalah mulai dari mana upaya untuk memperbaiki kondisi ini?

Kita bisa mulai dengan memperbaiki dengan membangun kepedulian dari seluruh agen ekonomi baik konsumen maupun produsen. Perilaku konsumen yang sudah mulai peduli tentu akan sia – sia jika produk yang dijual di pasaran masih belum menunjukkan kepedulian. Untuk itu, perlu adanya praktik baik dari para pelaku usaha untuk mewujudkan keseimbangan pasar. Praktik baik yang dimaksud adalah penerapan prinsip bisnis lestari. Bisnis lestari adalah bisnis yang sirkuler (memanfaatkan limbah usaha sehingga tidak mencemari lingkungan), inklusif (memberikan kesempatan kepada siapa saja tanpa memandang apapun kecuali kapabilitas) dan tahan banting (dapat bertahan di kondisi penuh risiko).

Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, biaya yang harus ditanggung akibat perubahan iklim antara 2,5 – 7% dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Di Indonesia, jumlah pelaku usaha ada sekitar 64 juta di mana 63,9 juta atau 99% merupakan usaha skala mikro (omset di bawah 2 miliar per tahun). Memang benar jika perusahaan besar dampak lingkungannya juga besar namun bayangkan jika pelaku usaha sudah mulai menerapkan prinsip bisnis lestari sejak usahanya masih mikro maka ketika usahanya menjadi besar tidak akan menimbulkan dampak lingkungan yang buruk. Apalagi dengan komposisi usaha di Indonesia yang didominasi oleh skala usaha mikro, maka faktor pengalinya akan memberi dampak positif yang besar bagi perekonomian jika penerapan praktik bisnis lestari juga terjadi pada usaha mikro.

Pemerintah Indonesia juga sudah sadar akan pentingnya bisnis lestari dengan menerbitkan aturan terkait seperti Peraturan OJK No. 51/2017 yang mewajibkan perusahaan publik untuk Menyusun laporan keberlanjutan bisnis yang sesuai dengan prinsip bisnis lestari. Surat Edaran Kepala LKPP No. 16 Tahun 2020 tentang penetapan produk hijau atau hasil industri hijau belanja pemerintah didorong untuk lebih mengutamakan pemasok yang menerapkan bisnis lestari. Identifikasi bahwa suatu bisnis adalah bisnis lestari dilakukan dengan ekolabel tipe 1, 2 dan 3. Namun, untuk mendapatkan ekolabel tersebut dibutuhkan biaya tambahan bagi sebuah bisnis.

Pihak ketiga khususnya pemerintah perlu memfasilitasi sertifikasi tersebut baik dari sisi pendampingan oleh fasilitator dan/atau subsidi biaya karena akan mendorong semakin banyak pelaku bisnis yang benar – benar dapat divalidasi penerapan praktik bisnis lestari. Harapannya, jika sebuah bisnis sudah memiliki sertifikasi tersebut, peluang mendapatkan lebih banyak proyek dari pihak ketiga akan semakin besar.

Langkah awal seperti ini perlu kita ambil supaya nanti generasi muda kita tidak perlu khawatir, karena dunianya akan kita jaga bersama kelestariannya. Jangan sampai generasi di masa depan malah menyangka bahwa busa limbah perusahaan tekstil di sungai adalah bayangan awan darat yang indah sehingga layak menjadi spot foto. Salam lestari!

Sumber:

  1. https://correspondentsoftheworld.com/story/i-am-not-the-indonesian-greta-thunberg-tl-id
  2. https://climateknowledgeportal.worldbank.org/country/indonesia