
Sahabat Wirausaha, setiap memasuki akhir tahun, isu harga bahan pokok selalu kembali menghantui pelaku usaha. Bagi UMKM kuliner, ritel sembako, atau produsen makanan rumahan, naiknya harga cabai, bawang, beras, minyak, dan beberapa komoditas lain bisa langsung menggerus margin. Namun 2026 membawa konteks baru. Jika sebelumnya kenaikan harga hampir selalu dikaitkan dengan cuaca ekstrem atau gangguan pasokan, kini ada faktor-faktor lain yang membuat ekonomi pangan terasa jauh lebih kompleks.
Dengan kata lain, 2026 bukan hanya lanjutan dari tren tahun-tahun sebelumnya—melainkan bab baru yang menuntut UMKM untuk membaca perubahan dengan lebih teliti. Mulai dari perubahan perilaku konsumen, meningkatnya biaya kemasan, hingga transformasi digital di sektor pangan, setiap elemen kini berkontribusi terhadap dinamika harga yang akan kita hadapi.
Tren 2024–2025: Harga yang Tidak Lagi Mudah Diprediksi
Dua tahun terakhir menunjukkan bahwa harga bahan pokok tidak hanya dipengaruhi panen dan distribusi, melainkan juga kondisi pasar global, perubahan konsumsi, serta ketidakpastian iklim. BPS mencatat bahwa inflasi pangan memiliki pola fluktuatif pada 2024 dan 2025, meski berbagai kebijakan stabilisasi telah dilakukan. Harga cabai dan bawang tetap menjadi komponen paling sensitif, sementara beras beberapa kali mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Yang menarik, fluktuasi ini semakin sulit diprediksi. Bukan hanya karena gangguan cuaca, tetapi karena pola konsumsi masyarakat berubah. Laporan NielsenIQ 2024–2025 menunjukkan bahwa semakin banyak rumah tangga mengalihkan belanja dari makanan luar ke masakan rumah atau hidangan siap saji yang lebih terjangkau. Pergeseran ini meningkatkan permintaan terhadap bahan pokok tertentu, memperketat pasokan di waktu-waktu tertentu.
Kondisi 2024–2025 juga didominasi oleh meningkatnya biaya logistik dan ketergantungan terhadap impor pada komoditas strategis seperti kedelai dan gula. Semua dinamika ini menjadi fondasi yang membentuk gambaran awal harga 2026.
Baca juga: Peluang Usaha Es Kelapa Muda 2026: Minuman Sehat yang Terus Dicari Sepanjang Tahun
2026: Bukan Sekadar Cuaca, tetapi Ekosistem Pangan yang Berubah
Biasanya, prediksi harga bahan pokok berputar di isu yang sama: cuaca, panen, distribusi. Tetapi 2026 menghadirkan sejumlah faktor baru yang membuat analisis harga menjadi lebih kompleks dan relevan untuk UMKM.
1. Perubahan Perilaku Konsumen yang Makin “Price Sensitive”
Laporan NielsenIQ menunjukkan bahwa konsumen di 2025 lebih sering membandingkan harga antar platform digital, marketplace, dan toko fisik. Perilaku ini diprediksi berlanjut hingga 2026, membuat tekanan pada UMKM untuk menjaga harga tetap kompetitif. Ketika konsumen semakin kritis terhadap perubahan harga, UMKM harus menyesuaikan strategi penjualannya, bukan hanya menerima fluktuasi biaya produksi.
2. Transparansi Harga Akibat Digitalisasi Rantai Pasok
Transformasi digital membuat informasi harga pasar jauh lebih terbuka. Dasbor harga pangan kini dapat dipantau harian melalui platform pemerintah dan swasta. Transparansi ini dapat menekan pedagang dan distributor untuk lebih kompetitif, tetapi di sisi lain membuat harga turun–naik lebih cepat mengikuti sentimen pasar.
3. Tekanan Biaya dari Kemasan dan Kepatuhan Regulasi
UMKM makanan siap saji menghadapi kenaikan biaya kemasan, terutama kemasan ramah lingkungan yang kini lebih banyak digunakan. Jika UMKM menggunakan kotak atau plastik khusus dengan standar tertentu, harga bahan kemasan bisa naik seiring meningkatnya permintaan dan bahan baku impor.
Selain itu, aturan sertifikasi halal yang berlaku penuh pada 2026 dapat menambah komponen biaya kepatuhan bagi UMKM kuliner atau produsen makanan kemasan.
4. Rantai Pasok Global yang Masih Sensitif
FAO dan Bank Dunia memperkirakan bahwa beberapa komoditas pangan global masih berada dalam kondisi ketat pada 2026. Harga gula dan kedelai berpotensi terdorong naik jika negara produsen mengalami gangguan produksi, sementara beras global dipengaruhi kebijakan ekspor negara eksportir utama.
Inilah yang membedakan 2026: harga bahan pokok tidak lagi hanya dipengaruhi faktor klasik, tetapi ekosistem pangan secara keseluruhan yang kini lebih transparan, lebih digital, lebih regulatif, dan lebih sensitif terhadap sentimen pasar.
Prediksi Harga 2026: Komoditas Mana yang Berpotensi Naik?
Jika kita menggabungkan faktor iklim, dinamika pasar global, dan perubahan perilaku konsumen, ada beberapa kelompok bahan pokok yang lebih rentan mengalami kenaikan di 2026. Berdasarkan tren 2024–2025 dan outlook dari lembaga internasional, beberapa komoditas yang berpotensi terkena tekanan harga meliputi:
- Cabai dan bawang, karena sensitif terhadap curah hujan dan pola panen.
- Beras, dengan risiko pasokan tidak optimal jika produksi domestik terpengaruh cuaca.
- Gula dan kedelai, karena ketergantungan pada impor dan sensitif terhadap harga global.
- Kemasan makanan, terutama berbahan ramah lingkungan atau berbasis impor.
Sementara itu, komoditas seperti telur ayam, daging ayam, dan minyak goreng relatif lebih stabil, meski tetap mengikuti dinamika biaya pakan dan permintaan domestik.
Prediksi ini tidak bersifat mutlak, tetapi memberi gambaran penting bagi UMKM: komoditas yang paling fluktuatif adalah yang paling perlu disiasati sejak dini.
Baca juga: Cara Warung Bertahan dan Bertumbuh Lewat Digitalisasi dan Layanan Tambahan yang Relevan
Dampak bagi UMKM: Margin Makin Ketat, Adaptasi Makin Penting
Kenaikan harga bahan baku bukan sekadar persoalan harga—melainkan persoalan kelangsungan usaha. UMKM kuliner mungkin menghadapi opsi sulit: apakah harus menaikkan harga jual dan berisiko kehilangan pelanggan, atau mempertahankan harga dan mengorbankan margin?
Sementara itu, pelaku ritel sembako harus bersiap menghadapi perubahan perilaku belanja pelanggan. Ketika harga naik, pembelian eceran meningkat sementara pembelian besar menurun. Ini memengaruhi perputaran modal dan kecepatan stok bergerak.
Dalam konteks 2026, tantangannya bukan hanya menjaga margin tetap aman, tetapi juga mempertahankan kepercayaan pelanggan dalam kondisi harga yang terus berubah. Transparansi harga, konsistensi kualitas, dan kecepatan beradaptasi menjadi strategi utama untuk menjaga usaha tetap relevan.
Strategi UMKM Menghadapi Kenaikan Harga 2026
Dengan semua dinamika baru ini, apa yang paling masuk akal untuk dilakukan UMKM?
Pertama, kelola stok secara lebih dinamis. Tidak lagi sekadar membeli dalam jumlah besar untuk mengantisipasi kenaikan harga, tetapi membaca pola harga harian dan menyesuaikan frekuensi pembelian sesuai kebutuhan usaha.
Kedua, jalin hubungan kuat dengan pemasok lokal. Informasi cepat dan harga lebih kompetitif sering datang dari relasi jangka panjang. Diversifikasi pemasok juga penting untuk menghindari ketergantungan pada satu sumber bahan baku.
Ketiga, optimalkan menu, porsi, atau ukuran produk. Banyak UMKM berhasil menjaga margin tanpa menaikkan harga secara agresif dengan menata ulang gramasi, menggunakan bahan alternatif yang lebih stabil, atau mengembangkan paket menu baru yang lebih efisien.
Keempat, gunakan data harga untuk pengambilan keputusan. Platform seperti Pusat Informasi Harga Pangan menyediakan data harian yang sangat berguna untuk menentukan kapan membeli, kapan menahan pembelian, dan kapan harus menyesuaikan harga jual.
Kelima, simulasikan dampak kenaikan harga terhadap margin. Dengan membuat beberapa skenario—misalnya kenaikan 10%, 20%, atau 30% pada bahan pokok tertentu—UMKM dapat menentukan batas aman harga jual dan strategi promosi yang relevan.
Intinya, UMKM tidak hanya perlu hemat, tetapi juga presisi dalam mengambil keputusan.
Baca juga: Peluang Bisnis Makanan Akhir Tahun: Menu yang Selalu Dicari di Musim Liburan
Penutup: Ketidakpastian Sebagai Ruang Tumbuh
Harga bahan pokok 2026 tidak bisa dibaca hanya dari satu sisi. Cuaca tetap faktor penting, tetapi kini terdapat dimensi baru yang membuat pergerakan harga lebih dinamis: perilaku konsumen yang berubah, digitalisasi harga yang makin cepat, biaya kemasan yang meningkat, serta rantai pasok global yang sensitif.
Namun bagi UMKM, ketidakpastian ini bukan alasan untuk khawatir berlebihan. Justru di tengah dinamika inilah kemampuan adaptasi menjadi keunggulan kompetitif. UMKM yang mampu melihat perubahan sebagai ruang inovasi—bukan ancaman—akan lebih siap menyambut 2026 dengan strategi yang lebih matang dan usaha yang lebih tangguh.
Jika artikel ini bermanfaat, mohon berkenan bantu kami sebarkan pengetahuan dengan membagikan tautan artikelnya, ya!
Bagi Sahabat Wirausaha yang ingin bergabung dengan Komunitas UMKM di bawah naungan kami di UKMIndonesia.id - yuk gabung dan daftar jadi anggota komunitas kami di ukmindonesia.id/registrasi. Berkomunitas bisa bantu kita lebih siap untuk naik kelas!
Referensi:
- Badan Pusat Statistik – Inflasi Pangan 2024–2025.
- Bank Indonesia – Laporan Stabilitas Pangan 2024–2025.
- NielsenIQ – Indonesia Consumer Outlook 2024–2025.
- FAO – Global Food Outlook 2025–2026.
- Bank Dunia – Commodity Market Outlook 2025.
- Google–Temasek–Bain – e-Conomy SEA Report 2024.









