https://images.tokopedia.net/img/cache/1200/BgtCLw/2021/1/28/93361fac-60a4-4241-ac74-2b86afa446f5.jpg?ect=4g

Sumber gambar : Tokopedia

Produk hasil olahan kulit selalu punya tempat sendiri di mata konsumen. Desain kulit yang terkesan elegan dan tahan banting, membuatnya menarik untuk digunakan dalam kegiatan tertentu. Namun, harga produk dari kulit hewan cenderung mahal dan bahkan tidak terjangkau untuk kalangan kelas menengah. Dari sinilah, beberapa pebisnis kemudian berinisiatif membuat produk dari vegan leather, alias kulit sintetis.

Salah satunya adalah Doxology, sebuah UKM produsen tas dan pouch dari vegan leather yang dimotori oleh Chung Yi. Selain komitmennya untuk tak menggunakan kulit binatang, produk Doxology juga terkenal dengan desain yang unik dan ergonomis. Bagaimana kisah perjalanan bisnisnya? Chung Yi, Owner sekaligus Founder Doxology, membagikan ceritanya di sini.

Model Unik yang Terinspirasi Seni Origami

Mula-mula, Chung Yi mendapatkan ide untuk mendirikan Doxology saat pergi ke suatu trade show dan bag market beberapa tahun yang lalu. Saat itu, ia sudah yakin ingin membuka usaha sendiri, namun belum menemukan ide usaha yang tepat. Saat mengeksplorasi berbagai pameran, barulah ia mendapatkan ide dari karya seni yang dipamerkan untuk memulai produk berbahan dasar vegan leather, alias kulit sintetis.

Baca Juga: Menentukan Unique Selling Proposition

Hal ini berangkat dari pengamatannya bahwa pasar untuk produk kulit cukup besar, hanya saja tidak semua kalangan masyarakat bisa membelinya lantaran harga yang kelewat tinggi. Sementara dengan vegan leather, alias kulit sintetis, ia bisa menghasilkan produk dengan bahan serupa kulit hewan, dengan kualitas hampir setara, namun memiliki ongkos produksi yang lebih hemat. Hasilnya adalah produk elegan bertekstur kulit yang halus dengan harga lebih murah.

Selain itu, sejalan dengan pameran seni yang menginspirasinya, Chung Yi juga ingin desain produknya terkesan praktis, minimalis, dan ergonomis. Seorang vendor kemudian menawarkan desain yang mengadopsi konsep Origami, sebuah seni melipat kertas dari Jepang. Ia pun memilihnya sebagai desain unik yang bisa membedakan produknya dari brand-brand lain. “Desain produk kami mengusung konsep yang minimalis namun elegan, sehingga nyaman untuk dipakai beraktifitas sehari-hari,” jelas Chung Yi.

Setelah itu, ia memulai riset dan mempelajari banyak referensi guna menemukan resep produk yang tepat. Proses trial and error pun dilaluinya selama beberapa bulan. Hingga di tahun 2016, akhirnya Chung Yi meluncurkan brand Doxology dengan produk-produk yang didesain sesuai kriterianya tadi. “Puji Tuhan di awal sudah mendapatkan tanggapan masyarakat dan keuntungan yang baik,” ujar Chung Yi.

Baca Juga: Tips Melakukan Riset Pasar Bagi UMKM

Ia memilih nama Doxology lantaran arti filosofis dari kata tersebut. “Doxology merupakan himne-himne pendek yang memuja Tuhan dalam berbagai bentukNya dalam agama Kristiani,” jelasnya. Sebagai pribadi yang memang religius, Chung Yi percaya bahwa bisnis yang sedang ia kelola ini, dalam satu dan lain hal, merupakan suatu bentuk puji-pujian terhadap Tuhan.

Dalam proses produksi, Chung Yi kerap menggunakan bahan dan aksesoris yang berkualitas, dengan jahitan yang rapi. Bahan kulit sintetis diimpornya dari China. Sementara untuk proses produksi, diakui Chung Yi, membutuhkan waktu sedikit lama. Meskipun untuk setiap produk, waktu yang dibutuhkan pun berbeda-beda. “Tapi kisarannya bisa lima bulan sampai satu setengah tahun, tergantung kerumitan masing-masing produk,” ujar Chung Yi.

Salah satu produk paling awal yang diproduksi Chung Yi adalah koleksi DOXOGAMI, yang modelnya terinspirasi dari seni Origami khas Jepang. Desain tas-tas ini menarik karena desainnya yang ergonomis dan hemat tempat jika dalam perjalanan. “Tas ini bisa dibuka dan ditutup dengan praktis. Jadi kalo pas mau travelling, tasnya bisa dibuka jadi hanya seperti selembar kulit gitu,” ujarnya. Model ini pun hadir dalam beberapa warna yang menghadirkan kesan kalem dan elegan, sesuai minat pasar beberapa tahun belakangan.

Baca Juga: Membangun Brand Positioning Agar Bisnis Berkembang

Dalam waktu satu setengah tahun sejak diluncurkan, koleksi DOXOGAMI pun berevolusi ke generasi keduanya, yaitu DOXOGAMI ZIP, yang varian produknya dilengkapi dengan zipper (resleting) dan handle clip. Inovasi pun terus dilanjutkan oleh Doxology. Terakhir, mereka mengeluarkan koleksi NEW DOXOGAMI ZIP dengan kualitas kulit yang lebih tebal dan struktur produk yang lebih kokoh sehingga tak mudah rusak. Tak hanya itu, varian produk dalam koleksi terbaru ini juga dilengkapi dengan Velcro di sisi tas bagian dalam agar tas mereka menjadi tempat penyimpanan yang lebih aman.

Sebagai orang yang tekun dan sungguh-sungguh dalam menjalankan bisnis, Chung Yi juga memikirkan matang-matang persiapannya dalam segala aspek. Salah satunya adalah dalam hal legalitas. Untuk perizinan Merk Dagang, Chung Yi sudah mengurusnya sebelum peluncuran brand Doxology di tahun 2016. Begitu pula dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang dikeluarkan oleh OSS.

Baca Juga: Cara Mendorong Kreativitas Dalam Berbisnis

Mengedepankan Kualitas Produk

Semua persiapan dan kerja kerasnya berbuah manis. Sejak awal didirikan, skala produksi Doxology terus merangkak naik. Bahkan di tahun pertamanya, Doxology juga mendapatkan outright purchase dari The Goods Dept, sebuah tempat jual-beli online yang mengkurasi produk-produk lokal berkualitas asal Indonesia untuk disandingkan dan berkompetisi dengan produk-produk luar negeri.

Chung Yi juga menyatakan ia sudah memperluas jangkauan Doxology dengan menjadikannya sebuah brand internasional, yang produk-produknya sudah masuk ke e-commerce asal Amerika Serikat dan Inggris, yaitu NOT JUST A LABEL. Tak hanya itu, ia juga merambah pasar Asia lewat Manila FAME (Filipina), Public Garden and Megafash (Singapura), serta Brightspot (Jakarta). Ditambah lagi, Doxology juga termasuk salah satu brand lokal yang diundang Galeries Lafayette, sebuah department store asal Perancis, dan Metro Department Store untuk mengisi display di toko-toko retail mereka.

Baca Juga: Mengenal Ragam Standar Global Kemasan dan Label

Namun, meskipun berhasil melebarkan jangkauan sebaran produknya, bukan berarti Doxology berjalan mulus tanpa hambatan. Tantangan utama bagi Chung Yi adalah ketika ada vendor yang mengganti material-material yang digunakan Doxology sehingga tidak sesuai dengan standar yang sudah ditentukan perusahaan. Kemungkinan, mereka melakukan ini guna mendapat keuntungan yang lebih besar dan karenanya memilih material yang lebih murah. Dalam hal ini, ia pun segera meminta pertanggungjawaban pihak vendor untuk menggantinya dengan produksi baru yang sesuai dengan persetujuan order di awal.

Menurut Chung Yi, di sinilah tantangannya, di mana Chung Yi harus tahu detail bahan-bahan yang digunakan. “Dengan melihat dan memegang saja kita harus bisa membedakan tekstur dan feel dari bahannya. Karena ada saja vendor yang bisa menukar bahan-bahan yang sudah ditentukan,” paparnya.

Baca Juga: Pentingnya Berjejaring dengan Supplier dan Kriteria Pemilihannya

Dalam agenda branding produk, Chung Yi tidak terlalu sering membayar figur publik, artis, maupun influencer untuk mempromosikan produknya. “Secara branding, jika produk dan brand communication-nya baik, dengan sendirinya artis dan Key Opinion Leader akan mau memakai produk kita dan mempublikasikannya di media sosial,” jelas Chung Yi. Ia yakin, tanpa harus menggunakan strategi endorse pun, kualitas produk akan terus mengangkat nama brand-nya.

“Kita harus bisa membuat orang-orang malah merasa ketinggalan mode kalau mereka tidak menggunakan produk kita,” papar Chung Yi mantap.

Di akhir pembicaraan, Chung Yi memaparkan harapannya agar Doxology bisa memberikan dampak positif pada setiap pemakainya. Ia juga ingin Doxology menjadi brand tas lokal Indonesia yang dikenal dengan desain elegan dan praktis yang khas. Ia berharap, keunikan ini bisa jadi senjata sendiri untuk memasarkan produk di mancanegara.

Baca Juga: Langkah Aksi Membangun Brand untuk Meningkatkan Nilai dan Citra Positif Produk/Perusahaan

Saat ini, Chung Yi tengah berkiprah sebagai seorang venture architect, atau yang lebih dikenal dengan sebutan konsultan bisnis, yang membantu seorang calon entrepreneur dalam membuat ritel brand, produk, dan bisnis sendiri. Lewat keahlian dan pengalaman yang dimilikinya dalam membangun brand serta berbisnis, ia sangat terbuka untuk membantu lebih banyak calon entrepreneur yang ingin memulai bisnis mereka .

Jika merasa artikel ini bermanfaat, yuk bantu sebarkan ke teman-teman Anda. Jangan lupa untuk like, share, dan berikan komentar pada artikel ini ya Sahabat Wirausaha.