Pernah dengar istilah wirausaha sosial? Kalau bicara bisnis, tentunya sangat lumrah apabila di pikiran Sahabat Wirausaha akan muncul kata "profit" atau "laba". Tapi, ada lho pelaku bisnis yang tujuan bisnisnya bukan sekedar untuk mencari profit. Bagi wirausaha sosial, profit bukanlah tujuan akhir kegiatan bisnisnya, melainkan sebagai alat untuk menjamin kemandirian dan keberlanjutan misi pendampingan sosial ekonomi bagi komunitas tertentu dan/atau misi perbaikan lingkungan yang ingin mereka lakukan.

Di kancah diskusi global, mereka disebut dengan istilah Social Entrepreneur dan bisnisnya disebut Social Enterprise. Wirausaha Sosial itu seperti kombinasi superhero dalam jubah pengusaha. Mereka ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik lewat bisnis mereka. Keren ya! Berikut contoh tiga Wirausaha Sosial di Indonesia yang berhasil berkembang melewati masa kritis bisnis di 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun usia bisnisnya.


Du'Anyam: Memberdayakan Perempuan Melalui Kerajinan Tangan

Didirikan pada tahun 2014, Du'Anyam didirikan oleh Azalea Ayuningtyas, Hanna Keraf, dan Melia Winata pada tahun 2014 dengan misi untuk memberdayakan perempuan di daerah pedesaan wilayah timur Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui kerajinan anyaman. Dengan mencipta peluang ekonomi bagi para Ibu, Du'anyam berharap bisa turut memberi dampak pada perbaikan nutrisi anak-anak NTT yang rentan kekurangan gizi, dan tentunya perbaikan pendidikannya pula.

Sumber foto: angin.id

NTT dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, dan tentunya lebih miskin dengan kesempatan. Du'Anyam dengan sengaja memilih lokasi tersebut untuk memberi kesempatan kepada para perempuan di desa-desa terpencil di Flores, NTT, dengan keyakinan bahwa memberdayakan ekonomi perempuan akan berdampak pada perbaikan gizi dan pendidikan anak-anak mereka. Selain itu melalui pelatihan dan keterampilan yang diberikan Du’Anyam, para perempuan desa menjadi lebih mandiri dan percaya diri.

Seperti yang dilansir dari website resminya duanyam.com, Du Anyam yang bernama resmi PT Karya Dua Anyam, telah memberdayakan 1600+ penganyam perempuan yang berada di 54+ desa yang tersebar di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua dengan tiga pilar utama: Memberdayakan Perempuan, Mempromosikan Budaya, dan Meningkatkan Kesejahteraan

Baca Juga: Tips Ikut Pelatihan Bisnis untuk UMKM, Upgrade Diri Buat Bisnis Naik Kelas


Javara: Melestarikan Kekayaan Kuliner Nusantara

Javara didirikan oleh Helianti Hilman pada tahun 2008 dengan tujuan untuk melestarikan dan mempromosikan kekayaan pangan khas lokal nusantara, yang ditumbuhkan dari metode pertanian tradisional, kaya dengan kearifan lokal, dan secara hakikatnya memang organik. Genetically Modified Organism (GMO), pestisida dan pupuk kimia, jelas tidak digunakan pada metode pertanian tradisional yang Ia lihat.

Setiap desa memiliki karakter tanah dan metode dan ritual pertaniannya sendiri-sendiri, sehingga menghasilkan kekayaan keragaman pangan hingga lebih dari 7000 varian beras, yang sebenarnya merupakan warisan pangan tradisional asli nusantara. Namun sayangnya, keragaman tersebut justru dibatasi pada era orde baru dengan Kebijakan Intensifikasi Pertanian yang mengharuskan petani untuk menanam varian beras tertentu dengan pestisida dan pupuk tertentu pula.

Sumber foto: javara.co.id

Kondisi inilah yang memunculkan tekad bagi seorang Helianti Hilman untuk kembali mempopulerkan varian beras warisan tradisi petani lokal kita, dengan membangun Brand Javara. Berdasarkan informasi dari website-nya Javara.co.id, Javara yang bernama resmi PT Kampung Kearifan Indonesia ini telah mencegah kepunahan dan melestarikan lebih dari 500 varian pangan lokal, melibatkan lebih dari 18.000 petani, merawat kesehatan lahan lebih dari 3700 hektar, bermitra dengan 7000 seniman pangan, dan mencetak transaksi lebih dari Rp290 miliar (sejak 2009), melalui optimasi pasar domestik dan pasar global, karena produk Javara telah dipasarkan ke lebih dari 30 negara.


Waste4Change: Mengubah Limbah Menjadi Berkah

Muhammad Bijaksana Junerosano mendirikan Waste4Change di tahun 2014 karena keprihatinannya terhadap kondisi pengelolaan sampah di Indonesia yang kurang efektif dan berdampak negatif pada lingkungan. Beliau melihat bahwa sampah hanya diangkut dan ditumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, banyak jenis sampah sebenarnya masih bisa diolah menjadi produk yang bermanfaat, sehingga tak perlu dikirim ke TPA. Waste4Change, yang bernama resmi PT Wasteforchange Alam Indonesia, berdiri untuk menawarkan layanan pengelolaan limbah yang mencakup pemilahan, pengangkutan, dan daur ulang.

Ada 3 unit bisnis yang mereka jalankan, yaitu Jasa Konsultasi (consulting), recycling, dan Responsible Waste Management untuk perumahan maupun perkantoran yang ingin agar sampahnya tidak hanya diangkut dan ditumpuk ke TPA, melainkan dikelola untuk didaur ulang maupun diproses untuk hasilkan produk baru (seperti pupuk cair dan ternak maggot dari sampah organik). Melalui akun media sosial mereka (instagram @waste4change) yang memiliki lebih dari 200 ribu followers, mereka juga aktif melakukan edukasi publik dan kampanye penyadaran kepada masyarakat tentang cara yang lebih baik dalam mengelola sampah.

Seperti yang dilansir dari website resminya waste4change.com, Waste4Change telah dipercaya oleh 218 klien komersial (perkantoran, bisnis), 3.450 klien residensial (perumahan), menyelesaikan 212 proyek dan telah menangani sekitar 80.000 ton sampah domestik dalam kurun waktu berjalan pada 10 tahun terakhir.

Sumber: waste4change

Ketiga usaha sosial yang keren ini, hanyalah sedikit contoh dari kian berkembangnya semangat wirausaha ke arah Social Entrepreneurship (SE) ini. Tidak hanya di bidang usaha makanan, kerajinan dan dekorasi, dan jasa pengolahan sampah, ada pula SE yang bergerak di bidang keuangan seperti YCAB Ventures, Amartha Fintek, Kitabisa.com, BMT Beringharjo, dan Koperasi Mitra Dhuafa.

Di bidang pakaian dan aksesoris ada SukkhaCitta, KaryaNusantara.co.id, Lokasoka, Sahawood, Salam Rancage, dan lebih banyak lagi. Adapula startup yang getol menarasikan dan mengukur dampak sosialnya seperti Gojek, Grab, dan KoinWorks. Kami sendiri, di UKMIndonesia.id juga mengelola aktivitas kami dengan pola ini, dimana konten-konten yang disajikan disesuaikan dengan kebutuhan komunitas UMKM yang ingin naik kelas. Melalui kolaborasi dengan berbagai mitra, kami juga turut menghadirkan ragam kesempatan pengembangan bisnis secara gratis untuk komunitas terkurasi yang kami kelola.

Intinya, praktik bisnis berpola SE ini adalah contoh pemanfaatan kapitalisme untuk misi kebaikan, hal ini karena profit tetap dibutuhkan sebagai penjamin keberlanjutan layanan organisasi bisnis. Namun, pemaknaan atas profit tersebut lebih sebagai sarana untuk memperluas jangkauan misi sosial dan lingkungannya.

Berdasarkan Buku Profit untuk Misi Sosial (2020), perkembangan hasil kajian British Council dan PLUS (Understanding the State and Profile of Social Enterprises in Indonesia, 2022), dan diskusi di konteks gerakan kewirausahaan sosial di tanah air, berikut adalah beberapa kriteria yang perlu dimiliki oleh suatu organisasi bisnis untuk menjadi sebuah Wirausaha Sosial:

  1. Memiliki produk atau layanan yang dijual.
  2. Memiliki misi sosial yang dipublikasikan, umumnya, dilengkapi dengan theory of change atau kerangka pemikiran yang menjelaskan bagaimana kegiatan bisnisnya dapat menciptakan dampak positif bagi kehidupan sosial dan lingkungan.
  3. Memiliki komunitas marginal (underserved) tertentu yang dilibatkan dan/atau diberdayakan ke dalam rantai nilai operasional bisnisnya.
  4. Memiliki komitmen untuk menggunakan mayoritas profit bisnis untuk pengembangan usaha beserta dampak sosial lingkungannya. Sehingga, hanya minoritas profit yang didistribusikan sebagai deviden kepada para pemilik sahamnya.
  5. Memiliki daftar indikator dampak sosial lingkungan yang menjadi target pemantauan kinerja perusahaan atau organisasi, selain indikator kinerja keuangan.

Baca Juga: Layanan Program Bantuan Hukum Gratis untuk UMKM, Ketahui Cara Mengaksesnya


Pelaku Kewirausahaan Sosial di Indonesia belum Mendapatkan Pengakuan Resmi

Di tahun 2019 British Council memperkirakan terdapat 342.000 wirausaha sosial yang telah berdiri di Indonesia. Jumlah mereka terus tumbuh dan banyak yang sudah membawa dampak positif buat masyarakat. Namun sayangnya, mereka belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Sehingga Organisasi Kewirausahaan Sosial (Social Enterprise) diperlakukan sama dengan perusahaan biasa yang beroperasi untuk mengejar profit semata. Akibatnya upaya untuk mendorong percepatan perkembangan dan mendorongnya menjadi arus utama dalam praktik bisnis menjadi lebih sulit.

Pada sesi diskusi tersebut, disadari bahwa satu-satunya rekognisi negara terhadap Praktik Kewirausahaan Sosial adalah melalui Peraturan Presiden Kewirausahaan Nasional No. 2 Tahun 2022, dimana istilah Wirausaha Sosial telah disebutkan di dalamnya. Namun sayangnya, peraturan tersebut sebentar lagi juga akan kadaluarsa, karena mengikuti masa jabatan presiden saat ini.

Untuk itulah UKMIndonesia.id - bersama rekan yang tergabung di Indonesia Social Entrepreneurship Network (ISEN) aktif mengadvokasi agar pemerintah dapat memfasilitasi pencatatan resmi Organisasi Kewirausahaan Sosial ini. Salah satunya melalui diskusi antara pemangku kepentingan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 16-18 Mei 2024 di Bogor.

Tujuan diadakannya acara tersebut adalah untuk memberikan input bagi Ditjen AHU yang berencana menyusun sebuah Peraturan Menteri Hukum dan HAM sebagai kerangka hukum untuk melakukan Pencatatan Perseroan Terbatas (PT) yang bergerak di Bidang Kewirausahaan Sosial dalam Sistem AHU Online.

Dari judul acara tersebut, dapat dipahami bahwa jajaran pemerintah belum memiliki pemahaman yang utuh tentang entitas wirausaha sosial. Hal ini karena bentuk Badan Hukum dari Organisasi Kewirausahaan Sosial di Indonesia bukan hanya PT. Melainkan ada pula yang berbentuk Koperasi, Perkumpulan Badan Hukum, dan bahkan Yayasan. layaknya sertifikasi atas praktek tertentu, misalnya pertanian organik, fair trade, atau halal, praktik kewirausahaan sosial dapat diakui oleh pemerintah melalui pencatatan dengan label atau sertifikasi tertentu, yang bisa diakses oleh entitas atau badan hukum apapun yang menjalankan praktek tersebut.


Mengapa Pengakuan Resmi tersebut Dibutuhkan?

Berdasarkan 5 kriteria SE di atas, Organisasi Kewirausahaan Sosial memiliki jenis-jenis biaya yang tidak umum dikeluarkan oleh bisnis biasa yang berorientasi profit, seperti biaya pelatihan, advokasi dan pemberdayaan, yang menjadi bagian tak terpisah dari operasional bisnisnya (menjadi biaya operasional pengurang profit).

Komponen biaya tersebut tidak sama dengan biaya Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang diambil dari sebagian kecil laba perusahaan (ditentukan dari profit). Usaha sosial juga kurang tepat jika masuk ke dalam kategori yayasan karena model bisnis mereka berorientasi profit untuk keberlanjutan aktivitas bisnisnya dan operasional bisnisnya tidak tergantung pada sumbangan dari pihak lain, melainkan dari penjualan produk atau jasa.

Oleh karena itu, pencatatan, pelabelan, atau sertifikasi resmi yang spesifik sebagai “Usaha Sosial” dirasakan sangat perlu dihadirkan di Indonesia. Tanpa adanya pengakuan formal secara hukum bagi perusahaan-perusahaan bermisi sosial akan menimbulkan hambatan-hambatan sebagai berikut.

1. Kesulitan dalam Menjelaskan Identitas Bisnis secara Sederhana

Untuk memudahkan Sahabat Wirausaha memahami masalah ini, kami akan menggunakan analogi berikut. Misalnya Indonesia sudah mengakui identitas dan memiliki pencatatan untuk binatang yang memenuhi ciri atau kriteria sebagai seekor orang utan, yaitu memiliki dua tangan dan dua kaki, rambutnya coklat, dan memiliki struktur kepala yang mirip dengan manusia.

Suatu hari muncul seekor binatang yang mirip dengan orang utan, tapi bulunya hitam. Namun karena kemiripan ciri-ciri antara keduanya, pemerintah mencatatkan Binatang baru ini sebagai orang utan. Padahal, binatang tersebut sebetulnya adalah seekor simpanse. Perusahaan bermisi sosial atau Social Enterprise di Indonesia, dapat diibaratkan seperti simpanse itu.

Ibaratnya lagi, dalam suatu ekosistem ada banyak pemangku kepentingan seperti pedagang, kebun binatang, peneliti, content creator dan jurnalis yang sedang mencari simpanse. Namun karena tidak ada daftar resmi di Indonesia tentang simpanse yang bisa mereka rujuk, mereka jadi kesulitan untuk mengakses individu-individu simpanse. Pemerintah Indonesia hanya bisa menunjukkan daftar dan sebaran orangutan, bukan simpanse. Sedangkan di forum-forum diskusi, para simpanse harus berulang kali menjelaskan ke banyak pemangku kepentingan, bahwa mereka bukan orang utan, melainkan simpanse, dan bagaimana simpanse itu berbeda dari orang utan.

Kondisi ini akhirnya membuat Indonesia menjadi suatu belantara yang kurang mendukung bagi seekor simpanse untuk hidup, saling bertemu, dan berkembang biak. Identitas simpanse tidak diakui oleh pemerintah sehingga mereka harus menerima untuk dicatat sebagai seekor orang utan. Mudah-mudahan analogi seperti ini memudahkan Sahabat Wirausaha lebih situasi dan kesulitan yang dihadapi teman-teman wirausaha sosial di Indonesia ya!

Kembali ke konteks Organisasi Kewirausahaan Sosial, khususnya yang berbadan hukum PT, tanpa label tersebut, kinerja keuangan mereka mungkin akan dinilai sebagai suatu perusahaan yang boros. Di kasus ekstrem, dapat diduga oleh petugas pajak sebagai pelaku mengecil-ngecilkan profit untuk meminimalkan nilai pajak yang perlu dibayarkan perusahaan. Namun jika ada label tersebut, berbagai pihak akan lebih mudah mengerti, mengapa margin labanya mungkin lebih kecil dari perusahaan sejenis, mengapa ada komponen biaya-biaya pendampingan komunitas yang cukup besar dan seharusnya tidak perlu dikeluarkan (jika ingin memaksimalkan profit).

Baca Juga: Pentingnya Layanan After Sales Bagi Bisnis Jangka Panjang, Gaet Customer Loyal Hingga Naikan Reputasi Bisnis

2. Kesulitan dalam mengarahkan (funneling) Investasi atau Pengadaan Barang dan Jasa berbasis dampak ke perusahaan yang sesuai

Sahabat Wirausaha, saat ini telah berkembang sebuah tren investasi berbasis dampak atau impact driven investment. Idealnya, dalam konteks investasi pinjaman, investor bersedia menawarkan suku bunga yang lebih rendah dan jangka waktu pengembalian yang lebih lama. Sementara dalam konteks investasi ekuitas (penanaman saham), investor bersedia mentoleransi pertumbuhan profitabilitas yang moderat (tidak agresif) selama diiringi dengan pertumbuhan dampak sosial dan/atau lingkungannya.

Namun realisasinya, upaya dan biaya untuk proses kurasi cukup tinggi karena kedua belah pihak - investor dan usaha sosial harus saling mencari di belantara yang luas sehingga kesulitan untuk menemukan satu sama lain. Begitu pula dengan konteks pengadaan barang dan jasa (PBJ), dimana PBJ hijau dan/atau PBJ berbasis dampak juga tengah didorong untuk mendukung perusahaan-perusahaan yang memiliki kepedulian sosial lingkungan.

Namun, karena ketiadaan rekognisi identitas tadi, implementasi PBJ berbasis dampak ini juga mengalami kesulitan tersendiri di tataran operasionalnya. Hal ini dikarenakan sulit untuk membedakan antara perusahaan yang “benar-benar berdampak” versus perusahaan yang “mengaku berdampak”.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi investor maupun wirausaha sosial, untuk terus meningkatkan kolaborasi dan transparansi. Selain itu, dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait dalam memberikan panduan serta pengakuan resmi terhadap perusahaan yang benar-benar berdampak akan sangat membantu. Dengan langkah-langkah ini, kita bisa membangun ekosistem investasi berbasis dampak yang lebih solid, efektif, dan berkelanjutan, demi tercapainya tujuan bersama untuk menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan.

3. Hambatan Operasional terkait Standar Indikator dan Evaluasi Dampak Sosial dan Lingkungan

Salah satu ciri utama usaha sosial dibanding bisnis biasa adalah fokus kinerjanya yang bersandar pada minimal 2 dari 3 pilar utama yaitu profit (keuntungan untuk menjamin keberlanjutan operasional bisnis), people (karyawan dan komunitas mitra yang diberdayakan), dan planet (lingkungan). Apabila minimal 2 dari 3 pilar tersebut sudah dikelola optimal dengan indikator kinerja yang sesuai, maka Organisasi Kewirausahaan Sosial - layaknya perusahaan start-up atau UMKM pada umumnya - dapat bertahap membenahi pilar ke-4 yaitu Tata Kelola atau governance, yang mencakup Kode Etik, Nilai-nilai Utama dalam Budaya Perusahaan, Standar Operasional dan Prosedur, serta compliance atau kepatuhan perusahaan terkait peraturan yang berlaku, khususnya terkait perpajakan, Upah Minimum, dan asuransi wajib untuk karyawannya (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan).

Dalam praktiknya, banyak pelaku Usaha Sosial yang sudah memberikan dampak sosial ekonomi namun belum rapi dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan kinerjanya. Mayoritas hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai cara menyusun Laporan Dampak Sosial Lingkungan atau Laporan Keberlanjutan bisnisnya, juga karena keterbatasan sumber daya. Hal ini tentunya wajar, karena untuk menyusun Laporan Keberlanjutan Bisnis yang baik - misalnya yang selaras dengan Standar Laporan dari Global Reporting Initiatives (GRI) yang dirujuk oleh OJK untuk perusahaan publik - memang memerlukan kompetensi tersendiri.

Maka dari itu, peraturan formal bukan hanya diperlukan untuk sekedar memberi pengakuan kepada Organisasi Kewirausahaan Sosial melainkan juga untuk menghadirkan pedoman berupa standar indikator dan metode untuk memantau, mengevaluasi, dan juga melaporkan capaian perusahaan terkait dua sampai empat pilar tadi. Adanya standar indikator evaluasi dan pelaporan tentunya akan dapat melancarkan arus informasi antara pemangku kepentingan di ekosistem kewirausahaan sosial maupun investasi berbasis dampak yang akan dapat mendukungnya.

Para pelaku kewirausahaan sosial akan dimudahkan karena adanya format atau standar indikator dan pelaporan yang diharapkan oleh pemerintah. Sementara organisasi pendukungnya juga akan dimudahkan karena akan memiliki dasar informasi terstandar yang dapat membantu proses saringan awal kurasi untuk memilih kandidat yang akan didukung.

4. Kesulitan Penyediaan Dukungan dan Insentif yang Tepat Sasaran

Dibandingkan beberapa negara lainnya, Indonesia masih berada dalam tahap awal dalam hal penyediaan dukungan dan insentif yang tepat sasaran bagi wirausaha sosial. Beberapa pemerintah telah menggunakan insentif fiskal yang secara khusus memberikan manfaat bagi perusahaan berdampak.

Misalnya, pada tahun 2016, Pemerintah Thailand mengeluarkan Royal Decree on Tax Exemption untuk memberikan manfaat pajak yang mencakup insentif finansial bukan hanya kepada Organisasi Kewirausahaan Sosial (OWS), tapi juga untuk investornya. Peraturan ini juga mencakup persyaratan bahwa OWS harus mengalokasikan 70 persen keuntungannya kepada masyarakat atau berinvestasi pada bisnis wirausaha sosial, dengan dividen pemegang saham dibatasi sebesar 30 persen dari keuntungan. Perusahaan yang berinvestasi atau menyumbang kepada wirausaha sosial juga akan diberikan pengurangan pajak penghasilan badan sebesar 100 persen, bantuan keuangan untuk memulai usaha, subsidi suku bunga, serta dukungan penelitian dan pengembangan (R&D).

Pemerintah Vietnam juga menggunakan insentif fiskal untuk mendorong pertumbuhan wirausaha sosial dengan memberikan insentif seperti sewa jangka panjang atas infrastruktur dan lahan dengan tarif istimewa atau pembebasan biaya pendaftaran yang dikenakan untuk penggunaan lahan. Perusahaan sosial dikenakan pajak penghasilan sebesar 10 persen (lebih rendah dari tarif normal), dibebaskan dari pembayaran pajak penghasilan selama empat tahun setelah mereka mulai menghasilkan penghasilan kena pajak, berhak atas pajak impor dan ekspor preferensial dan, dalam beberapa kasus, dibebaskan dari pajak pertambahan nilai.

Di Singapura, untuk semua aktor ekonomi Koperasi, tidak dikenai pajak penghasilan badan, karena model organisasi koperasi sudah dianggap menjalankan fungsi pajak (mencegah akumulasi kekayaan ke sedikit orang).

Negara lain yang cukup maju dalam mendukung Perusahaan Sosial adalah Korea Selatan yang bahkan telah membuat Undang-Undang khusus terkait Social enterprise Promotion Act (SEPA) sejak 2006, dan memasukkan Social Enterprise sebagai organisasi bisnis yang menerima Special Tax Treatment Control Act 2014, sehingga Organisasi Kewirausahaan Sosial (OWS) yang bersertifikat di Korea Selatan dapat menerima banyak dukungan pemerintah, dari manajemen dan pelatihan, biaya fasilitas, pembelian prioritas untuk badan publik, pembebasan pajak, bantuan premi asuransi sosial, pembebasan tanggung jawab ketenagakerjaan, dan pengurangan pajak bagi perusahaan afiliasi. Selain itu, OWS di Korea Selatan juga didukung dengan prioritas (jalur khusus) untuk berpartisipasi dalam pengadaan pemerintah.

Baca Juga: Perlu Waspada! Kenali Modus Hoax dan Penipuan yang Mengintai UMKM


Langkah Taktis yang Diperlukan untuk Mendorong Perkembangan Organisasi Kewirausahaan Sosial di Indonesia

Pada sesi diskusi tersebut, telah disadari bahwa satu-satunya rekognisi negara terhadap Kewirausahaan Sosial hanya melalui Perpres Kewirausahaan Nasional No. 2 Tahun 2022 yang sebentar lagi akan kadaluarsa pada Oktober tahun ini. Jika Perpres ini dibiarkan kadaluarsa tanpa perpanjangan atau penggantian dengan regulasi baru, maka akan ada tantangan baru, meliputi:

  1. Kehilangan dasar awal Dukungan Resmi: Wirausaha sosial akan kehilangan kerangka dukungan resmi yang telah diatur dalam Perpres ini. Hal ini dapat mengurangi legitimasi dan bantuan yang diterima oleh wirausaha sosial dari pemerintah.
  2. Ketiadaan dasar regulasi induk untuk mendasari aktivitas penyusunan regulasi operasional wirausaha sosial di tataran Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI atau kementerian lainnya.  Tanpa dasar regulasi induk yang jelas dan operasional, target penyusunan kebijakan untuk menyediakan pencatatan atau sertifikasi resmi bagi Organisasi Kewirausahaan Sosial akan sulit untuk diwujudkan, karena kegiatan-kegiatan yang sudah berjalan dapat terhenti atau tidak mendapatkan pendanaan APBN yang diperlukan.

Sehingga, untuk menjamin keberlanjutan advokasi kebijakan untuk memberikan rekognisi dan pedoman operasional kepada praktisi kewirausahaan sosial di tanah air, dibutuhkan langkah taktis untuk mengantisipasi potensi hambatan tersebut, adapun beberapa langkah taktis yang dapat diambil antara lain sebagai berikut:

  1. Menyusun naskah akademik yang mengevaluasi implementasi Perpres tersebut sebagai dasar bagi pemerintah berikutnya untuk melakukan perpanjangan atau perbaikan pada peraturan tersebut.
  2. Melakukan audiensi untuk mempresentasikan naskah akademik tersebut kepada tim sinkronisasi dan transisi pemerintahan baru yang telah terpilih.
  3. Memfasilitasi serial forum diskusi untuk pengembangan Self Governing Organization. Dimana Asosiasi Kewirausahaan Sosial atau badan otonom di bawah asosiasi yang sudah ada (seperti KADIN Indonesia) dapat diposisikan untuk berperan sebagai mitra resmi pemerintah dalam mengakselerasi perkembangan kewirausahaan sosial di Indonesia. Salah satunya dengan mendorong asosiasi (misalnya KADIN Indonesia) untuk mengembangkan prosedur untuk mengeluarkan label atau sertifikasi Organisasi Kewirausahaan Sosial, sehingga pemerintah cukup memberi pengakuan resmi terhadap Sertifikasi yang dikeluarkan oleh KADIN tersebut.  

Kalau kamu juga percaya bahwa Indonesia butuh lebih banyak bisnis bermisi sosial lingkungan, yuk dukung agenda advokasi Organisasi Kewirausahaan Sosial ini dengan membagikan artikel ini. Kalau bukan kita yang aktif mendorong perbaikan kebijakan di tanah air, siapa lagi?

Jika tulisan ini bermanfaat, silahkan di-share ke rekan-rekan Sahabat Wirausaha. Follow juga Instagram @ukmindonesia.id untuk update terus informasi seputar UMKM.

Referensi:

  1. Policies to enable business innovation for inclusive and sustainable development (unescap.org)
  2. Social Enterprise and Taxation Policy: A Systematic Literature Review | Palil | BESTUUR (uns.ac.id)
  3. Paparan para narasumber pada Acara Diskusi Pencatatan Wirausaha Sosial - Kemenkumham RI, 16 - 18 Mei 2024 dapat disini.