Sahabat Wirausaha, jika pada artikel Kebijakan UMKM di Era Jokowi kita sudah membahas beberapa kebijakan yang dinilai berdampak positif kepada UMKM.

Selanjutnya, kita akan membahas beberapa kebijakan Presiden Jokowi yang menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, seperti pengamat ekonomi, pebisnis, maupun masyarakat umum. Berikut daftar kebijakan UMKM di era Jokowi tersebut: 

1. Kurangnya Perlindungan dan Penguatan Posisi Tawar bagi UMKM dalam Skema Kemitraan dengan Usaha Besar

Melalui banyak peraturan dan UU dalam kebijakan UMKM di era Jokowi, pemerintah terus menggenjot kemitraan UMKM dengan BUMN dan perusahaan swasta berskala besar. Hanya saja, dalam penerapannya, dorongan melakukan kemitraan baru sebatas akses kerjasama, belum disertai pendampingan untuk memastikan kerjasama berjalan dalam skema yang mendukung akselerasi pertumbuhan bisnis UMKM. 

Contohnya, masih maraknya kemitraan dengan termin pembayaran yang lama (misalnya sampai dengan 90 hari), komisi konsinyasi yang sangat tinggi, penetapan harga sepihak dan kurang transparan, hingga minimnya informasi yang tersedia terkait prosedur seleksi atau kurasi untuk berpartisipasi pada peluang kemitraan tertentu.

2. Sempat Memaksakan Kewajiban Sertifikasi Halal pada Oktober 2024 untuk semua Produk yang Tidak Haram

Peraturan Pemerintah No.39 tahun 2021, khususnya pada Pasal 140, telah mengatur bahwa penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan dimulai dari tanggal 17 Oktober 2019 sampai dengan 17 Oktober 2024. 

Implikasi dari kebijakan UMKM di era Jokowi ini, kewajiban agar semua produk bersertifikasi halal sudah berlaku saat ini, yang artinya pemerintah dapat memberi sanksi pada pelaku usaha yang produknya belum bersertifikat halal. Namun kebijakan ini menuai banyak kritik dan akhirnya pemerintah menunda masa berlakunya ke tahun 2026. 

Kritik terjadi karena sistem pelayanan dan ekosistem pendukungnya dinilai belum siap sehingga menghambat kelancaran operasional usaha. Pemerintah melalui Peraturan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebenarnya telah menyediakan dua jalur sertifikasi, yaitu jalur swadeklarasi (self declare) yang gratis dan reguler yang berbayar karena perlu proses audit atau verifikasi. 

Namun jalur swa-deklarasi tersebut hanya tersedia bagi produk yang tidak menggunakan bahan baku dari hewan sembelihan sama sekali. Padahal, pelaku usaha mikro seperti penjual bakso, risoles, bakpao, bahkan nasi goreng menggunakan daging-dagingan dalam makanannya. 

Selain itu, sampai saat ini, masih banyak Rumah Potong Hewan yang belum memiliki sertifikasi halal sehingga untuk mendapatkan daging bersertifikat halal juga masih sulit.

3. Melakukan Relaksasi Impor yang Sebabkan Derasnya Arus Masuk Barang dari China yang Menghantam Kelancaran Bisnis UMKM

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan RI melakukan relaksasi impor dengan mengeluarkan kebijakan Permendag No.8/2024, menggantikan Permendag No.36/2023, dimana syarat Peraturan Teknis (PerTek) diduga telah dihapuskan. 

Kebijakan UMKM di era Jokowi ini kemudian menuai protes dari pelaku usaha, khususnya dari Pelaku Usaha Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) karena dianggap sebagai kebijakan yang mempermudah arus masuknya banyak produk dari China, khususnya terkait produk tekstil yang sebenarnya sudah bisa dibuat sendiri oleh Indonesia.

Namun demikian, di pemberitaan lainnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membantah dugaan tersebut. Menurut beliau, Pertek sebagai syarat wajib untuk impor produk TPT masih berlaku, dan Ia tidak berkenan pelaku usaha menyalahkan kebijakan tersebut sebagai alasan jatuhnya banyak perusahaan tekstil dan produk tekstil di tanah air.

4. Kurangnya Pendampingan Teknis yang Terstruktur dan Berkelanjutan

Walaupun urusan perizinan dasar berupa Nomor Induk Berusaha sudah dimudahkan dengan adanya OSS sebagai kebijakan UMKM di era Jokowi, masih banyak pelaku usaha - khususnya yang Usaha Mikro - belum cukup cakap digital untuk menggunakan sistem OSS secara mandiri. Sehingga sebenarnya kebijakan itu sendiri tidak dapat berjalan optimal jika dijalankan tanpa disertai pendampingan teknis yang terstruktur. 

Hal serupa terjadi pada program KUR yang juga menunjukkan dampak yang sangat minim. Hasil kajian evaluasi dampak KUR dari IFG Financial Research, Economic Bulletin Issue 50 per Juli 2024, menunjukkan bahwa setiap penambahan 1% penyaluran KUR hanya berdampak pada peningkatan 0.2% Pendapatan Domestik Regional Bruto; dan juga tidak ada dampak signifikan pada peningkatan penghasilan peminjamnya. 

Dampak yang sangat rendah ini ditengarai juga disebabkan oleh ketiadaan pendampingan terstruktur bagi penerima KUR, dan masih adanya penyaluran dan pemanfaatan yang tidak tepat sasaran, dimana ditemukan KUR diterima oleh guru atau ASN dan dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif.

5. Pengesahan Kebijakan Kenaikan PPN dari 10% jadi 11%, dan menjadi 12%

Kebijakan UMKM di era Jokowi lain yang menuai kritik adalah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula 10% menjadi 11% yang mulai berlaku pada 1 April 2022, disaat perekonomian belum pulih benar dari terpaan krisis akibat pandemi Covid 19. 

Aturan ini tertuang pada penjelasan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021, tepatnya Pasal 7, ayat (1), huruf b, tarif pajak 12 persen akan berlaku paling lambat mulai 1 Januari 2025.

Terkait PPN ini, UU HPP juga tidak melakukan penyesuaian pada kriteria batas bawah omset perusahaan yang sudah diwajibkan untuk memungut PPN, yaitu Rp4,8 miliar per tahun. Artinya, walaupun pada PP No.7/2021 tentang UMKM telah menaikkan kriteria batas atas Usaha Kecil yang semula Rp2,5 miliar per tahun menjadi Rp15 miliar per tahun, batas bawah wajib daftar menjadi Perusahaan Kena Pajak (PKP) yang wajib memungut PPN tetap Rp4,8 miliar. 

Padahal dengan kriteria baru UMKM yang berlaku saat ini, perusahaan dengan omset Rp4,8 miliar masih tergolong Usaha Kecil. Adapun dulu - berdasarkan UU No.20/2008, ketika kriteria Rp4.8 miliar itu disusun - omzet Rp4.8 miliar sudah tergolong Usaha Menengah. 

Inilah yang menyebabkan beberapa asosiasi dan penggiat UMKM meminta penyesuaian batas bawah wajib PKP agar dinaikkan dari Rp4,8 miliar per tahun yang berlaku saat ini, menjadi Rp15 miliar per tahun, agar lebih selaras dengan kriteria resmi UMKM terbaru. 

Harapannya, agar arus kas dan daya saing harga Pelaku Usaha Kecil tidak perlu diberatkan dulu dengan kewajiban memungut dan membayar Pajak Pertambahan Nilai tersebut, sehingga lebih bisa fokus mengupayakan pertumbuhan bisnisnya agar bisa naik ke kelas menengah.

6. Belum Optimalnya Basis Data UMKM 

Selain itu, penyebab sulitnya pelaksanaan pendampingan yang terstruktur adalah karena buruknya basis data UMKM. Jika mengunjungi website Kemenkop UKM RI, Sahabat Wirausaha akan melihat bahwa data hasil monitoring capaian kinerja dan perkembangan UMKM tidak terbarui di setiap tahunnya. 

Data struktur UMKM terakhir diperbarui tahun 2019, data realisasi Kredit Usaha Rakyat hanya terisi sampai tahun 2020, data kontribusi ekspor UMKM terhadap total ekspor hanya terisi sampai tahun 2019. Padahal, sekarang sudah di penghujung tahun 2024. Kemenkop UKM RI juga belum juga selesai melakukan pendataan semesta pelaku UMKM by name by address. 

Ini adalah bukti bahwa dalam 10 tahun terakhir dalam kebijakan UMKM di era Jokowi, belum ada perbaikan signifikan pada manajemen basis data UMKM. Akibatnya, banyak kebijakan dan program tidak dibangun dari hasil analisis data mendalam, yang akhirnya tidak menghasilkan dampak positif yang signifikan pula.

8. Belum Optimalnya Kerjasama Perdagangan Internasional untuk Dorong Ekspor Produk UMKM  

Selama 10 tahun belakangan pula, kebijakan UMKM di era Jokowi mengesahkan banyak perjanjian kerjasama dagang luar negeri demi memudahkan kegiatan ekspor dan impor. Sebagai bagian dari berbagai perjanjian dagang internasional, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), RCEP, IA CEPA (Australia), Indonesia punya beberapa komitmen. Diantaranya adalah memberikan akses pasar lebih besar ke negara mitra dagang, mengurangi tarif impor, hingga menekan hambatan perdagangan di luar masalah tarif. 

Seringnya, memudahkan produk asing masuk ke negara kita, perlu menjadi “tawaran manfaat” yang perlu diberikan agar negara mitra dagang tersebut juga memberi kemudahan ekspor produk kita ke negara mereka. Namun, kepiawaian negosiasi perjanjian perdagangan dan perencanaan jadwal pelaksanaannya, sejatinya dapat ditingkatkan agar penerapan kebijakan yang pro perdagangan bebas ini tidak mengancam bisnis UMKM di tanah air. 

Secara paralel, sejatinya dukungan kepada pelaku industri pengolahan tanah air - termasuk pelaku yang di skala UMKM - perlu dikerahkan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif, agar daya saing produk lokal semakin kuat untuk bertanding di “ring” yang sama dengan produk-produk asing. Namun sayangnya, dukungan terstruktur tersebut dianggap belum ada bagi UMKM; atau setidaknya, belum ter-orkestrasi dengan baik.

9. Minimnya Pengawasan Terhadap Produk Impor Ilegal di Ecommerce

Isu ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah, padahal keberadaan barang impor ilegal yang dijual dengan harga murah bisa berdampak negatif bagi produk UMKM di ecommerce. 

Dilansir dari beritasatu.com, Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) menjelaskan jika kurangnya pengawasan menjadi alasan utama mengapa produk impor ilegal dapat dengan mudah memasuki pasar domestik. Penjualan produk impor ilegal di ecommerce dapat merugikan produk-produk dalam negeri. 

Lebih lanjut, terungkap jika produk impor ilegal ini masuk melalui Pulau Batam dan Sorong, Papua. Produk ini masuk dengan biaya pengiriman yang sangat rendah, yaitu sekitar US$500 per kontainer atau setara dengan US$ 0,001 per barang. Padahal jika melalui jalur resmi, biaya pengiriman bisa mencapai US$ 6 hingga US$ 8 per kilogram.

Menurut Indonesia for Global Justice, pemanfaatan FTA untuk dorong kinerja ekspor masih sangat rendah dan cenderung fokus ke impor. Teten Masduki, selaku Menkop UKM pun sempat mengeluhkan hal ini. 

Menurutnya, serbuan produk asing di Indonesia merupakan buah dari longgarnya aturan masuk produk impor.  Barang dari luar negeri bisa dengan masuk dengan mudah via e-commerce. Sementara kinerja ekspor kita - khususnya yang dikontribusikan dari UMKM - masih cenderung stagnan di sekitar 15.4% dari total nilai ekspor non-migas. Padahal, negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Thailand, berhasil mencapai tingkat kontribusi ekspor UMKM yang lebih tinggi, yaitu 20% dan 29%.

***

Sekian ulasan singkat dari UKMINDONESIA.ID terkait kebijakan UMKM di era Jokowi. Tentunya ada yang baik, namun masih cukup banyak pula catatan untuk perbaikan berikutnya. Semoga pemerintah yang baru dapat melakukan perbaikan kebijakan agar semakin mendukung dan memberi kemudahan bagi pelaku usaha yang tekun dan mau kerja keras untuk naik kelas dan kembangkan bisnisnya. 

Oh ya, kalau menurut kamu gimana? Kebijakan apa yang sudah baik di era Jokowi? Kebijakan apa juga yang dirasa memberatkan? Silakan bagikan opini kami di kolom komentar artikel ini, ya.

Kalau artikel ini bermanfaat, mohon bantuannya juga untuk bagikan ke kolega atau jaringan kamu, ya! Semakin tersebar, semoga suara dan aspirasi kebijakan ini dapat didengar oleh pemangku kebijakan sehingga apa yang kita cita-citakan dapat diwujudkan agar lebih banyak pelaku UMKM yang sukses #naikkelasbeneran.

Sumber Foto: antara.com

Referensi: 

  1. https://www.metrotvnews.com/read/KRXC5xgy-10-tahun-polugri-ri-penguatan-diplomasi-ekonomi-melalui-perdagangan-dan-investasi 
  2. https://www.antaranews.com/berita/1142651/mantan-mendag-tiga-tahun-15-perjanjian-perdagangan-ditandatangani 
  3. https://igj.or.id/2018/01/31/igj-kerja-sama-perdagangan-bebas-desak-produk-lokal-indonesia/ 
  4. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190304151435-4-58763/ia-cepa-resmi-diteken-ke-mana-jokowi-dan-pm-australia 
  5. https://www.liputan6.com/bisnis/read/5600552/syarat-barang-impor-makin-longgar-produk-indonesia-bakal-kalah-saing 
  6. https://bisnis.tempo.co/read/1918858/teten-masduki-protes-aturan-impor-terlalu-longgar-dibanding-ekspor-kirim-pisang-ke-luar-negeri-butuh-21-sertifik 
  7. https://www.hukumonline.com/berita/a/sisi-gelap-uu-cipta-kerja-dan-uu-p2sk-terhadap-koperasi-umkm-lt65dcffb1792a9/ 
  8. https://www.hukumonline.com/berita/a/sejumlah-catatan-negatif-terkait-uu-cipta-kerja-lt60bf37f248a66/ 
  9. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5203615/ada-uu-cipta-kerja-apa-dampa 
  10. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/24/uu-cipta-kerja-sah-masyarakat-desa-dan-buruh-semakin-resah 
  11. https://setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_luncurkan_gerakan_kemitraan_inklusif_untuk_umkm_naik_kelas 
  12. https://www.antaranews.com/berita/3669699/inadata-kemitraan-pemerintah-swasta-majukan-umkm 
  13. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/05/23/kemitraan-umkm-masih-rendah 
  14. https://www.bkpm.go.id/id/info/siaran-pers/tutup-tahun-2023-tujuh-juta-nib-terbit-melalui-oss 
  15. https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/perkembangan-kebijakan-pemerintah-terhadap-umkm-di-indonesia 
  16. https://www.liputan6.com/bisnis/read/5502640/umkm-bakal-tembus-833-juta-pelaku-di-2024?page=2 
  17. https://puskarsa.uma.ac.id/2024/07/22/kebijakan-pemerintah-dalam-mendukung-usaha-mikro-kecil-dan-menengah-umkm/ 
  18. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/09/19/banyak-umkm-belum-dapat-izin-berusaha-sistem-oss-dinilai-belum-efektif