Sumber gambar : Unsplash
Sejak berdiri di tahun 1999, semangat untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi generasi muda memang sudah membara di dalam Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) Foundation. Di awal kiprahnya, YCAB memiliki misi untuk memberantas kasus narkoba yang kala itu banyak menjerat anak muda. Selama lebih dari 20 tahun belakangan, organisasi non-profit ini berkiprah di Indonesia dengan memperluas fokus pada misi-misi sosial. Donasi yang mereka terima digunakan untuk membiayai 26 rumah-rumah belajar bagi remaja untuk meningkatkan keterampilan dan akses edukasi di sebelas provinsi Indonesia.
Namun, YCAB bukanlah yayasan yang hanya menggantungkan pendanaan dari donasi dan sumbangan sana-sini. Dalam perjalanannya, organisasi ini mendirikan modal ventura untuk menghasilkan profit yang kemudian digunakan dalam memotori kerja sosial yayasan. Alhasil, YCAB kemudian harus mengelola organisasinya dengan sistem dua kamar dalam satu rumah. Metode ini terbukti cukup sukses dan membuat YCAB berkembang pesat dengan banyak program pendidikan dan pendampingan microfinance. Nah, seperti apa cara mereka menjalankan sistem ini? Dan apa saja program-program YCAB untuk Indonesia?
Memutus Siklus Kemiskinan Secara Berkelanjutan
Bagi Veronica Colondam, Founder dan CEO YCAB Foundation, YCAB merupakan simbol cinta untuk membuat generasi muda lebih mandiri dalam mencapai cita-cita. Ia menjelaskan bahwa yayasan ini mulai dirintisnya sejak tahun 1999, dengan modal kepedulian sosial. Kala itu, memang sedang banyak anak-anak muda yang membuat yayasan sosial, dan Veronica adalah salah satunya. “ Jadi dulu tren-nya seperti start-up sekarang ini, tapi memang dalam bentuk yayasan, non-profit,” kenangnya.
Baca Juga : Menembus Pasar Global Melalui Pemberdayaan Potensi Lokal ala Salam Rancage
Saat ini, YCAB memiliki tiga platform kegiatan yang meliputi bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Ketiga bidang ini berfokus pada kesejahteraan hidup anak-anak di Indonesia, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Di bidang kesehatan, YCAB memiliki program Healthy Lifestyle Promotion (HeLP) untuk mengedukasi para remaja agar terhindar dari gaya hidup negatif. Dari segi ekonomi, YCAB membentuk program Hands on Operation for Entrepreneurship/Employment (HopE) yang meminjamkan modal usaha dan memberikan pelatihan bahasa asing bagi mereka yang ingin menjadi entrepreneur (Marketeers.com).
Sementara bidang pendidikan –sektor yang paling diperhatikan YCAB—organisasi ini menginisiasi House of Learning and Development (HoLD) atau yang lebih dikenal dengan rumah belajar untuk membantu anak-anak putus sekolah. Tercatat pada tahun 2010, YCAB telah menjangkau sekitar 3.5 juta remaja prasejahtera dan memberikan mereka akses pendidikan. Melalui program-program ini, Veronica optimis bahwa YCAB akan bisa mensejahterakan lebih banyak kehidupan masyarakat. Ia percaya, bahwa pendidikan adalah satu-satunya hal yang bisa memutus siklus kemiskinan serta memperkecil ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, secara berkelanjutan.
Mengelola Dana Yayasan dengan YCAB Ventures
Dalam pikiran seorang entrepreneur seperti Veronica, saat mau berusaha di bidang sosial, maka harus ada unsur pemberdayaan di dalamnya. Di awal berdirinya yayasan, 500 juta uang keluarga diletakkan di sana sebagai modal. Struktur yang dipakai saat itu memang yayasan, namun belum setahun berjalan, ternyata modal awal tersebut sudah habis untuk menjalankan program hanya dalam beberapa bulan. Diakui Veronica, bahwa biaya pembuatan program sosial itu tidak sedikit. Sehingga akhirnya, dibuatlah unit-unit usaha perusahaan untuk membiayai yayasan.
Baca Juga: Manfaat dan Kebijakan Pemberdayaan Perempuan Bagi Usaha
Little did she know, bahwa untuk mencapai profit ternyata butuh waktu bertahun-tahun. Namun, Veronica tidak menyerah, ia tetap ingin mengembangkan program wirausaha sosial agar menjadi penyokong kegiatan yayasan secara berkelanjutan. “Di sini, mindset-nya adalah sustainability,” ujar Veronica. Prinsipnya, apapun yang ingin dibuat, kita tetap harus berpikir agar hal ini tetap menjadi keberlanjutan (sustain). Setelah melakukan riset, akhirnya YCAB memutuskan untuk masuk ke bidang pemberdayaan ekonomi untuk para keluarga yang anaknya yang putus sekolah. Pasalnya, masalah putus sekolah ternyata jauh lebih mengakar daripada yang mereka kira.
“Anak-anak ini,” ujar Veronica “Sudah masuk ke rumah belajar, tapi tetap putus juga,”. Saat dicari penyebabnya, ternyata banyak anak-anak masyarakat miskin putus sekolah bukan sekadar perkara biaya pendidikan. Sebab, pemerintah pun sudah lama memiliki program penggratisan biaya sekolah untuk kalangan yang sulit secara ekonomi. Tapi, ada ongkos yang diperlukan untuk berangkat sekolah. "Mereka butuh uang transportasi, uang makan, dan uang jajan agar bisa belajar dengan baik," jelas Veronica.
Karenanya, kemudian dibentuklah modal ventura, dengan nama YCAB Ventures. Inilah yang berkenaan dan dekat sekali dengan pelayanan di konsep bisnis ultra mikro (UMi). Lewat YCAB Ventures, diberikan pinjaman lunak untuk modal bisnis para ibu rumah tangga kalangan menengah ke bawah, agar anaknya tidak putus sekolah. “Kita berdayakan para perempuan, ibu-ibu dari anak-anak yang mengikuti program YCAB, anaknya diberdayakan lewat pendidikan, sementara ibunya diberdayakan lewat ekonomi,” jelas Veronica. Sederhananya, YCAB menggunakan micro financing dengan modal ventura sebagai alat, untuk memutus kemiskinan lewat pendidikan. "Small size, deep impact," tegasnya.
Baca Juga: Memberdayakan Karyawan Dengan Berbagai Kepemilikan
Di tahun 2010, lewat program pemerintah dan maraknya yayasan, angka putus sekolah di jenjang SMA sempat turun dari angka 11% ke 2%. Melihat bahwa sudah tidak relevan mengurus putus sekolah, YCAB menaikkan level ke tingkat universitas. Mereka sudah mengirim 2 batch beasiswa, anak dari ibu-ibu pekerja UMI yang tadi. Semua alumni tentunya terkoneksi lewat program yayasan. Di bawah satu atap, YCAB membuat semacam social enterprise. Meski strukturnya di Indonesia belum ada, tapi masih menjadi cita-cita kedepannya.
YCAB akhirnya memotret lembaga social enterprise ini dengan konsep yayasan yang memiliki modal ventura. “Ibarat rumah, ada dua kamar,” jelas Veronica. “Di mana satu kamar melakukan program yang memang harus sesuai dengan aturan OJK, karena ada unsur investasi, sementara kamar satunya ada unsur pendidikan,”. Dengan begini, ada kemerdekaan dan keadilan pendidikan, serta ada kemerdekaan dan keadilan ekonomi yang tergabung dalam program yayasan.
Menjalankan Program Selama Pandemi
Selama pandemi, tempat belajar berubah jadi ruang kelas digital. Diakui Veronica, ternyata budget yang harus dikeluarkan menjadi lebih murah dan jangkauan murid justru menjadi lebih besar. Lewat online, selama pandemi YCAB mampu menjangkau 80 ribu murid. Kebanyakan malah program untuk remaja putri dan anak-anak. “Harapan kedepannya, kita bisa menjangkau lebih banyak individu di Indonesia dengan lebih cepat, lewat teknologi digital,” ujar Veronica. Meskipun dunia bisnis sedang susah, YCAB dan unit usahanya bersyukur masih bisa bertahan. Dan justru karena kepepet, tim pendidikan jadi lebih kreatif. Banyak kelas-kelas dan program baru yang ditelurkan. Menurut Veronica, sekaranglah saatnya kita berdampak karena cara masyarakat berinteraksi dengan cepat berubah menjadi digital. Ruang online menjadi lebih ramai, lebih mudah terjangkau, dan lebih kreatif. “Ini seperti berdansa dalam nestapa,” pungkasnya.
Membangun Bisnis dan Program yang Berkelanjutan
Di masa kini, Veronica sadar bahwa harus lebih mengedepankan sisi sustainable dari bisnis itu sendiri, dibandingkan profit. Wirausaha sosial, dari permukaan, mungkin terlihat sangat seimbang antara misi dan bisnisnya. Namun, sebenarnya Veronica juga mementingkan cuan agar program-program kemanusiaan dapat terus berjalan. Di sini, penting juga keahlian untuk mengelola jaringan sosial yang sudah dimiliki yayasan. “Kemampuan untuk manage stakeholder, bukan hanya shareholder, dimana sektor usaha kita berbeda,” ujarnya. Memanage jaringan sosial itu sangat penting.
Selain menyekolahkan dan memberi pelatihan, YCAB juga kerap memberi pendampingan kepada para siswa dan mahasiswa yang ingin memulai usaha, untuk membantu ekonomi keluarga. Tak jarang, mereka juga dilatih tentang bagaimana melakukan promosi dan memasarkan produk dalam skala mikro. Namun, tentu untuk bisa tumbuh dan bertahan, kita butuh produk unggulan yang menarik, inovatif, dan punya narasi yang kuat. “Tidak sekadar cerita, melainkan juga kisah nyata yang melatarbelakangi,” tutur Veronica.
Misalnya saja, dari pengalamannya di Rumah Belajar Batik, angkatan pertamanya diisi oleh anak-anak yang luntang lantung di jalanan dan putus sekolah. "Ini kejadian 3-4 tahun yang lalu, dan sudah ada wajib belajar 12 tahun. Tapi, mindset kebanyakan anak dan orangtua di berbagai daerah, belajar 9 tahun itu cukup," papar Veronica. Namun secara hukum, usia SMA yang adalah 16 – 18 tahun merupakan usia tanggung. Jika dipekerjakan, akan masuk kategori child labour. Karenanya, anak-anak ini kemudian diminta belajar batik ramai-ramai, yang ternyata adalah pekerjaan gotong royong. “Setelah lulus 4 bulan, sudah belajar desain, kita kenalkan dengan digital marketing, dan disinilah momen pentingnya, kita memutus supply chain,” ujar Veronica.
Baca Juga: Apa itu Sociopreneur?
Supply chain yang dimaksudnya adalah perputaran barang yang terjadi dalam perdagangan batik, di mana saat batik sudah masuk toko, harganya akan menjadi selangit, di atas satu juta rupiah. Padahal, toko membeli dari pengrajin batik mungkin hanya dengan harga 100 ribu- 200 ribu rupiah. “Kita potong jalur ini supaya tidak memakai cara tradisional yang melibatkan toko, melainkan pembatik langsung menjual ke digital market. Baik itu lewat Facebook atau platform online,” jelas Veronica.
Salah satu alumni angkatan pertama tersebut, Agung, saat ini masih berjualan batik dengan omzet 40 juta hingga 50 juta rupiah per bulannya. Tak hanya itu, Agung juga mempekerjakan sekitar 40 karyawan, yang hampir semuanya adalah saudara, tetangga, atau kerabat dekatnya. Ia membuat rumah batik secara online, dengan mengandalkan platform digital, sementara produksi batik masih dilakukan di rumahnya. Saat berjualan, ia mengedepankan narasi dan membawa latar belakangnya sebagai cerita untuk menarik minat pelanggan. Agung adalah salah satu contoh, bahwa saat anak-anak muda diajarkan melek digital, mereka yang putus sekolah sekalipun bisa menjadi sukses. Lebih dari itu, ia bahkan berdaya untuk orang-orang di sekitarnya. Inilah yang disebut dengan sustainable business, dengan dampak sosial yang nyata.
“Perspektifnya tidak hanya berjualan, melainkan juga mengubah mindset untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat, sosial, dan lingkungan. Bahkan juga terhadap masa depan bangsa,” tutup Veronica dengan bangga.
Mau tahu lebih lengkapnya? Yuk tonton webinarnya bertajuk´”Berbisnis Dengan Hati dan Berdampak Sosial” yang bisa diakses melalui link ini
Referensi lainnya :
https://www.ycabfoundation.org/who-we-are/about-ycab-foundation/