Di acara American International Toy Fair tahun 1959, Ruth Handler, salah satu dari tiga pendiri perusahaan mainan lokal Mattel Inc, duduk dengan gugup dalam gerainya. Ia berencana memamerkan rancangan produk terbaru mereka, sebuah prototipe boneka mungil dengan tubuh perempuan dewasa. Kedua rekan bisnisnya sedikit ragu dengan ide mainan progresif ini, namun Ruth yakin akan intuisinya. Ia penjual yang andal. Hampir semua produk buatan perusahaannya telah sukses ia pasarkan. Boneka ini, tentu tak akan jadi pengecualian.
Sayangnya, pengunjung yang kebanyakan adalah laki-laki, nampak tak tertarik. Namun, Ruth Handler pantang menyerah. Ia mencoba berbagai strategi pemasaran, branding, hingga customer experience agar masyarakat bersedia menerima produk yang ia namai Barbie ini. Jerih payahnya memperjuangkan si boneka dibayar kontan saat produk ini mencatat 300 ribu pcs penjualan di tahun pertamanya.
60 tahun kemudian, kesuksesan Barbie telah menjadikan Mattel Inc. salah satu perusahaan mainan yang paling ditakuti. Posisi mereka merangsek naik hingga ke nomor dua dalam kategori pendapatan perusahaan mainan tertinggi, hanya terkalahkan oleh The Lego Group. Menurut Statista.com, Barbie meraup pendapatan kotor senilai US$1,49 Miliar atau setara dengan Rp22,3 Triliun pada tahun 2022 lalu. Kombinasi ide cemerlang dan pemasaran yang tepat sasaran jadi kunci keberhasilan mereka. Simak kisah lengkapnya berikut ini.
Jeli Membaca Kebutuhan dan Problem Konsumen
Di pertengahan dekade 1950 yang suram, Ruth Handler mengusulkan ide untuk memproduksi sebuah boneka perempuan dengan figur dewasa kepada dua rekannya. Usulan ini tak diterima baik oleh mereka. Sebagai laki-laki, keduanya merasa aneh membayangkan sebuah boneka dengan bentuk tubuh molek perempuan dewasa. Maklum, kala itu, semua boneka anak perempuan rerata dibuat berdasarkan figur anak-anak, dengan tubuh datar, muka tembam, dan rambut terkepang dua.
Meski begitu, setelah beberapa kali mencatat kesuksesan dengan produk mainan seperti Uke-A-Doodle dan Cap Gun, Ruth merasa bahwa sudah saatnya mereka merambah ke mainan anak perempuan. Penyebabnya sederhana saja, ia merasa bahwa Barbara, anak perempuannya, tidak memiliki mainan yang bisa memfasilitasi imajinasi anak-anak kecil. Barbara kecil tak pernah tertarik bermain dengan boneka dan justru senang bermain pura-pura menjadi wanita dewasa dengan berbelanja, mendandani wajah, hingga memasak.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan anak lelakinya, yang punya banyak mainan untuk berimajinasi. Ada mainan truk pemadam, mobil polisi, kuda koboi, hingga roket astronot. Boneka yang dimiliki anak perempuannya hanya umum digunakan sebagai bayi mainan yang harus diberi makan dan botol susu. Dari sinilah Ruth kemudian berencana merancang sebuah boneka tiga dimensi, dengan tubuh wanita dewasa, yang bisa didandani dengan berbagai macam aksesoris.
Apa yang dilakukan Ruth adalah contoh nyata sebuah proses mengamati target pasar dan kebutuhan konsumen. Ia mencoba mengerti apa yang dibutuhkan oleh target konsumen utamanya : anak-anak kecil.
Penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan suatu bisnis umumnya ditentukan oleh kemampuan pemiliknya membaca kebiasaan dan kebutuhan pelanggan. Sebagai pengusaha, kita harus mengerti, apa yang disukai, ditakutkan, atau tidak disukai konsumen. Apa masalah mereka dan apa solusi yang bisa kita tawarkan? Menjawab pertanyaan ini, akan membantu kita memahami konsumen dan mengambil keputusan bisnis yang tepat.
Rancang Prototipe Produk Untuk Pengalaman Pelanggan
Untuk meyakinkan kedua rekan bisnisnya bahwa ide ini punya ceruk pasar yang tepat, Ruth harus membuat contoh produk. Sebuah prototipe bisa membuktikan bahwa boneka ini tak seaneh yang mereka pikirkan. Beruntung, saat tengah berlibur di Jerman, Ruth melihat boneka Lilli Dolls yang persis dengan apa yang ia bayangkan. Dari sini, ia membuat prorotipe Barbie dan memperlihatkannya pada calon konsumen agar dapat melihat fungsi boneka tersebut.
Lagi-lagi, kita bisa mencontoh apa yang Ruth lakukan. Sebagai pebisnis, yang ia lakukan adalah membangun customer experience—pengalaman pelanggan—dengan menyuguhkan prototipe produk dan membiarkan pelanggan serta calon investor mencobanya. Bisnis kecil bisa meniru strategi ini dengan membuat sampel terlebih dulu sebelum memasarkan produk terbaru dan menyuguhkan produk sampel kepada pelanggan untuk dicoba.
Jangan Lupakan Siapa Target Pasar Kita, Gunakan Direct Marketing
Sayangnya, meskipun prototipe yang ia buat nyaris sempurna, pasar tetap tak tergoyahkan. Ruth belum mau menyerah. Seorang psikoanalis asal Vienna, Dr Ernst Dichter, menerangkan pada Ruth kesalahan terbesarnya : Ruth memasarkan boneka ini kepada para orangtua. Padahal, sasaran konsumennya adalah anak-anak.
Mattel Inc. pun segera mengubah strategi pemasarannya. Mereka mengirimkan prototipe ke toko-toko mainan agar anak-anak bisa melihat dan memainkannya langsung. Mereka juga mengiklankan boneka Barbie di televisi pada jam-jam kartun dan acara anak ditayangkan. Dengan cara apapun, Mattel Inc. berusaha langsung memasarkan Barbie ke depan wajah anak-anak perempuan. Hal ini mendorong popularitas Barbie, dan permintaan pasar untuk produk ini langsung melonjak.
Strategi ini dinamakan Direct Marketing, di mana produsen memasarkan produk secara langsung, terang-terangan, ke target pasar mereka. Di Indonesia, kita bisa jumpai praktik ini saat penjual mainan di bis dan kereta umum menaruh dagangan mereka langsung di pangkuan anak-anak. Orangtua tentu resah, namun anak kecil akan memegang dan mencoba memainkan barang tadi, sebelum kemudian merengek minta dibelikan. Suka atau tidak, seringkali strategi ini berhasil meraih penjualan.
Fokus Pada Kualitas dan Inovasi Produk
Setelah berhasil mempromosikan Barbie ke khalayak Amerika Serikat, Mattel Inc. terus meningkatkan kualitas produknya. Barbie pertama punya konsep sederhana, tinggi semampai dengan kostum dress musim panas dan senyum menawan. Setelahnya, Mattel Inc. melengkapi Barbie dengan cat kuku merah, tas tangan, dan jepit rambut. Di tahun 1961, mereka bahkan meluncurkan boneka pasangan Barbie : Ken Carson.
Tak berhenti di situ, dari tahun ke tahun, mereka juga memproduksi berbagai kostum untuk Barbie. Mulai dari kostum polisi wanita, baju pesta, baju kerja lengkap dengan tas kantornya, hingga kostum pemain bola dan peselancar wanita. Saat zaman menjadi lebih maju, Barbie juga mengeluarkan varian boneka dengan model wanita dari seluruh bagian dunia, mulai dari wanita kulit hitam, wanita Latin, hingga Asia. Inovasi ini menjadikan boneka Barbie lebih relatable saat dipasarkan secara global.
Di zaman modern, Mattel Inc. berhasil mengamankan kerjasama dengan perusahaan kartun ternama, Disney. Berkat kerjasama ini, Mattel Inc. mendapat lisensi untuk memproduksi Barbie Princess yang kinerjanya sangat baik di pasaran. Hanya saja, mereka tetap memastikan bahwa boneka ini tidak kehilangan identitasnya sebagai representasi imajinasi anak perempuan.
Bagi UMKM, inovasi yang dilakukan bisa saja berupa menu dan varian terbaru, yang diluncurkan secara rutin. Strategi ini sangat efektif untuk menghindari kejenuhan pasar. Namun, jangan sampai identitas produk yang unik tersingkir. Pastikan kualitas produk tetap terjaga dan inovasi yang dilakukan tidak menghilangkan jati diri brand kita.
Membangun Emotional Branding
Dalam bukunya, Marc Gobe (2005) mengartikan Emotional Branding sebagai suatu konsep penciptaan citra merek yang bertujuan menjalin hubungan emosional yang mendalam antara brand dan konsumen melalui pendekatan-pendekatan yang kreatif dan inovatif. Ruth Handler menerapkan strategi ini dengan membangun kampanye untuk meyakinkan orangtua dan investor bahwa anak-anak perempuan butuh permainan yang mengakomodasi imajinasi mereka.
Di tahun 1959, persepsi masyarakat tentang wanita terbatas pada peran mereka sebagai ibu, sebagai istri, dan ibu rumah tangga. Sedari kecil, anak perempuan diberi mainan boneka yang mengajarkan mereka untuk menjadi ibu dan bermain masak-masakan. Pola pikir ini tidak memberi ruang bagi anak-anak perempuan untuk membayangkan diri mereka tumbuh besar dengan peran lain.
Di mata Ruth, boneka Barbie menjadi sarana bagi anak untuk membayangkan diri mereka menjadi apapun yang mereka mau. Gadis-gadis kecil bisa menjadi model, ballerina, pramugari, desainer, dokter, atlet, guru, hingga pilot dan astronaut. Mattel Inc. memproduksi aksesoris untuk semua profesi tersebut. Lewat cara ini, Ruth berhasil meyakinkan banyak orangtua bahwa anak-anak perempuannya membutuhkan boneka Barbie. Tak main-main, hanya dalam waktu sepuluh tahun, nilai penjualan Barbie menembus US$200 Miliar.
Strategi ini jelas bisa dicontoh bagi UMKM dengan brand kecil sekalipun. Sebagai contoh, kita bisa menjual cerita latar belakang produk. Tentang bagaimana kita menemukan ide bisnis dan bagaimana kita percaya bahwa produk kita bisa membantu sekaligus memecahkan masalah yang dihadapi pelanggan. Misalnya, kita memiliki ide bisnis buku untuk anak-anak yang terinspirasi dari anak kita yang mengalami kecanduan gadget. Hal ini bisa jadi cerita sendiri dan membuat orangtua lain yakin, bahwa produk kita penting bagi anak-anak, agar mereka tak kadung senang menonton gawai seharian.
Di segi penjualan, statistik dan angka bisa bicara banyak. Statista, sebuah website pengolah data terpercaya, mencatat bahwa brand value produk Barbie secara global bernilai sekitar US$700 Juta atau Rp10,5 Triliun di tahun 2023. Angka ini hampir dua kali lipat dari nilai yang mereka raih dua tahun sebelumnya. Hari ini, setiap menitnya, sekitar 164 boneka Barbie terjual di seluruh belahan dunia.
Dengan segala ketenaran dan keloyalan akan apa yang ingin direpresentasikannya, Barbie tak pernah jadi sekadar boneka. Selama lebih dari 60 tahun, ia telah menjelma sebagai ikon budaya Amerika. Dimulai dari gebrakan pasar di masa lalu, boneka Barbie berhasil berkembang dan bertahan melawan zaman. Semua berkat Ruth Handler, yang gencar menerapkan strategi bisnis yang konsisten berpusat pada prinsip “Semua Tentang Pelanggan”.
Strateginya yang sederhana bisa dengan mudah dicontoh UMKM saat ini. Mulai dari branding secara emosional, pemasaran yang tepat sasaran, hingga kejelian membaca kebutuhan target konsumen hingga menciptakan ceruk pasar sendiri.
Referensi:
- https://www.usatoday.com/story/life/2023/07/13/who-created-barbie/11746176002/
- https://shahmm.medium.com/barbie-business-strategy-emotional-branding-lessons-524a09a80bd2
- https://www.statista.com/statistics/1009126/barbie-brand-value-worldwide/
- https://mymodernmet.com/history-of-barbie-doll/
- https://www.statista.com/statistics/370361/gross-sales-of-mattel-s-barbie-brand/
- “Strategy Insights” a book by Safarova Kristina.
- “Toys That Made Us” an American documentary streaming television series created by Brian Volk-Weiss